Mohon tunggu...
Choirunnisaa Wardhani
Choirunnisaa Wardhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Fakultas Ilmu Keperawatan UI 2021

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Pelayanan Kesehatan yang Berbeda terhadap Pasien dengan BPJS, Inikah Bentuk Profesionalisme Seorang Perawat?

19 Desember 2022   16:30 Diperbarui: 19 Desember 2022   16:32 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesejahteraan masyarakat menjadi fokus utama berbagai pihak yang terlibat dalam institusi kesehatan. Demi mewujudkan hal tersebut, diperlukan suatu fungsi sosial yang membersamai masyarakat dari berbagai pihak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak dan merata (UU. No. 24 Tahun 2011). Oleh karena itu, dibentuk upaya dalam menjamin kesehatan masyarakat melalui Program BPJS Kesehatan. 

Dalam pelaksanaannya, terdapat banyak isu terkait tata cara pengelolaan, pelayanan dari tenaga kesehatan, dan kepuasan yang ditunjukan oleh masyarakat terkait BPJS. Tidak jarang dari mereka yang mengeluhkan bahwa adanya perbedaan pada pelayanan kesehatan terkhusus pasien dengan BPJS (Setjen DPR RI, 2018). Berikut ini saya akan membahas terkait dugaan adanya perbedaan terhadap pelayanan pasien dengan BPJS dan keterkaitannya dengan profesionalisme perawat. Hal ini bertujuan agar kita semua calon dan para tenaga kesehatan dapat kembali merefleksikan diri terhadap opini publik atas pelayanan pada pasien dengan BPJS. Di akhir pembahasan, saya juga akan memberikan hipotesis terkait penyebab kejadian ini dan solusi yang dapat dioptimalkan.

Pelayanan kesehatan khususnya dari seorang perawat mulai menjadi sorotan belakangan ini. Beberapa orang mulai menganggap bahwa profesi perawat memegang peranan yang sangat penting dalam membersamai pasien dari kondisi sehat-sakit. Saat ini, banyak orang pasti setuju bahwa perawat yang menjadi garda terdepan dalam menghadapi berbagai penyakit (Dob, 2021). Selain itu, sebagian lagi menganggap bahwa adanya kemajuan dalam pelayanan di bidang keperawatan. 

Akan tetapi, masih saja ada yang mengirimkan kritikan mereka terhadap pelayanan keperawatan yang dianggap kurang memenuhi standar. Banyak dari mereka yang mengeluhkan cara seorang perawat berperilaku biasanya sering dianggap kurang sopan, judes, dan tidak menampilkan sosok yang ramah (Hermansyah, 2019). Mereka berasumsi bahwa perawat seolah enggan mengurusi pasien yang tidak membayar biaya secara langsung alias menggunakan BPJS. 

Kualitas pelayanan yang diberikan perawat kepada pasien sudah seharusnya disesuaikan dengan standar untuk mewujudkan kepuasan pasien (Berman, et al, 2022). Faktor utama yang menjadi sorotan masyarakat adalah terkait kinerja perawat dalam melakukan tindakan dan menunjukan kepedulian. Hal ini sekurang-kurangnya sama atau melampaui harapan mereka sehingga kualitas pelayanannya dapat dianggap memadai oleh masyarakat. 

Salah satu survei telah mengungkap bahwa pasien peserta BPJS merasa bahwa kebanyakan perawat yang berinteraksi dengan pasien tidak menggunakan komunikasi terapeutik dengan baik (Librianty, 2018). Selain itu, perawat dianggap seringkali mengabaikan keluhan pasien dan lambat dalam melakukan tindakan keperawatan sehingga pelayanannya dirasa kurang maksimal. Padahal, pihak tenaga kesehatan tidak sepenuhnya bersalah atas isu-isu terkait pelayanan BPJS. Dari hasil penelitian lain, tenaga kesehatan justru merasa bahwa program BPJS jauh lebih menguntungkan masyarakat dibandingkan Nakes (Kamariyah, 2017).

Peran perawat ketika memberikan pelayanan terhadap pasien dikatakan "seolah" membedakan status sosial ekonomi, atribut personal, masalah kesehatan, dan martabat pasien sebagai seorang manusia. Dikarenakan interaksi yang cukup intens dengan pasien, akhirnya cara perawat berkomunikasi, kompetensi yang dimiliki perawat, dan kepedulian perawat menjadi sorotan mereka (Librianty, 2018). 

Perbedaan dalam pelayanan keperawatan yang sampai membuat pasien kecewa dapat menimbulkan persepsi di kalangan masyarakat karena mudahnya koneksi informasi di era saat ini. Hal ini mencerminkan suatu citra buruk dan melekat pada standar pelayanan terhadap pasien pengguna BPJS (Librianty, 2018). Akan tetapi, seharusnya tidak hanya standar pelayanan saja, melainkan juga fasilitas berupa sarana dan prasarana perlu dikembangkan dahulu. Tujuannya agar dapat saling menguntungkan dan mensejahterakan semua kalangan, termasuk perawat (Kamariyah, 2017).

Pasien kemungkinan memiliki harapan tertentu pada pelayanan keperawatan yang nyatanya masih tidak sesuai dengan pelayanan yang mereka dapatkan. Ketidakpuasan akibat pupusnya harapan tersebut yang memicu timbulnya persepsi negatif melekat pada profesi keperawatan (Jamlean & Wewra, 2021). Tentunya banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengembalikan harapan pasien pada tempatnya. Salah satunya adalah melakukan klarifikasi terhadap isu keperawatan yang terlanjur terstigmatisasi.

 Adanya perbedaan pelayanan pada pasien BPJS didasari oleh hasil keputusan berpikir kritis sesuai dengan situasi klinis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, khususnya perawat (Potter & Perry, 2021). Dalam hal ini, perawat perlu mengukur urgensi dan pendekatan terhadap pasien dengan tepat dan sesuai sehingga seolah tampak lamban. Padahal, hal ini  lagi-lagi dilakukan demi kebaikan pasien, yaitu untuk meminimalisir terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan sehingga dibutuhkan pengambilan keputusan yang teliti dan tidak tergesa-gesa.

Integritas dalam profesi keperawatan sangat penting. Hal ini perlu dipertahankan mengingat banyaknya stigma yang melunturkan implementasi nilai-nilai profesionalisme keperawatan. Nilai-nilai dalam keperawatan pada situasi ini mulai dipertanyakan, lebih khususnya pada nilai altruisme, martabat manusia, dan keadilan sosial. Sudah selayaknya seorang perawat menampilkan seluruh nilai dan komponen profesionalisme tersebut untuk menyelesaikan dilema etik dan moral selama berada di lingkungan profesi (AACN, 2008). Dalam situasi tertentu, nilai-nilai ini dapat goyah dan dimaknai negatif oleh masyarakat. 

Apabila seorang perawat sudah memenuhi pendidikannya dengan baik, sudah sepantasnya ia memperoleh ilmu yang berkaitan dengan konsep etika dan moral dalam praktik asuhan keperawatan. Seorang perawat bahkan perlu melalui pendidikan yang cukup kompleks dengan beberapa kali uji kompetensi untuk memastikan kelayakannya dalam memberikan intervensi keperawatan (Hamid, 2010). 

Ada baiknya jika masyarakat juga memberikan feedback yang positif sebagai bentuk dukungan dan motivasi perawat. Di sisi yang lain, banyak pula masyarakat yang seolah tidak mau memahami kondisi seorang tenaga keperawatan. Banyak kita jumpai berita beredar di media sosial terkait kelalaian perawat yang dipublikasikan secara sepihak tanpa persetujuan (Archer, 2019). Hal ini berarti stigma yang beredar bukan menjadi kesalahan terfokus pada individu perawat, tetapi juga oknum yang kontra terhadap profesi ini.

Perawat perlu kepercayaan terhadap hasil kinerja dirinya sendiri untuk meminimalisir terjadinya kelalaian yang merugikan kedua pihak. Perawat sudah biasa dijadikan topik stigmatisasi dalam pelayanan keperawatan khususnya terkait BPJS (Yunere & Yaslina, 2020). Hal ini sama sekali tidak perlu menjadikan kita lemah dan putus asa. Hindari apabila muncul kecemasan pada perawat atas setiap tingkah dan perilakunya yang seolah selalu berada di bawah tekanan dan pantauan (Stuart, 2013). 

Seharusnya, hal ini justru menjadi potensi dan kesempatan yang sangat baik untuk mengoptimalkan munculnya pengaruh positif dari eksistensi perawat bagi pasien. Kita harus tetap bangga menjadi seorang perawat. Ketika seorang pasien hadir, maka kita yang akan menjadi harapan bagi mereka untuk kembali sembuh seperti sedia kala. 

Semua stigma ini dapat dihadapi dengan cara menerapkan sikap bertanggung jawab dan tanggung gugat. Seorang perawat dapat lebih pasti dalam memberikan asuhan keperawatan ketika terbiasa mengimplementasikan keduanya (ICN, 2021). Kebanyakan masyarakat akan menuntut perawat untuk bersikap lebih peduli (caring) di tengah banyaknya pasien BPJS di kurun waktu yang sama (Setjen DPR RI, 2019). Hal ini hanya dapat dilakukan jika kita bertanggung jawab dalam menjalankan profesi dengan sepenuh hati dan ikhlas. Walaupun terkadang dirasa sulit, kita dapat mencoba terapi relaksasi dan koping yang sesuai agar tetap profesional selama bekerja (Stuart, 2013).

Pada intinya adalah gradasi pelayanan kesehatan yang nampak pada kasus pasien dengan BPJS dapat menjadi teguran sekaligus motivasi bagi profesi perawat. Hal ini menandakan bahwa pasien tersebut masih memegang suatu harapan yang perlu kita realisasikan agar tingkat kepuasan mereka meningkat atas pelayanan yang kita berikan. Stigma yang beredar seolah sudah pasti didengar oleh semua pasien, maka yang dapat kita lakukan adalah mematahkannya dan menumbuhkan stigma positif yang baru. Selama kita menjalankan peran kita sesuai dengan standar dan praktik keperawatan, maka tidak perlu ragu dan selalu bersungguh-sungguh dalam berniat demi keselamatan dan kesehatan pasien.

S1 Reguler - Fakultas Ilmu Keperawatan UI 2021
Profesionalisme dalam Keperawatan - Kelas C

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun