Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warung Egaliter

22 Januari 2025   10:20 Diperbarui: 22 Januari 2025   13:01 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah desa bernama Sidowareg, berdirilah sebuah warung sederhana yang dikenal dengan nama Warung Kang Juki. Meski bangunannya hanya berdinding anyaman bambu dengan lantai tanah, warung itu selalu dipenuhi suara tawa, obrolan hangat, dan aroma kopi hitam yang mengepul. Orang-orang di desa itu menyebutnya warung egaliter, karena siapa saja bisa mampir tanpa memandang status sosial.

Pagi itu, Kang Juki, pemilik warung, sedang sibuk meracik kopi untuk pelanggan setianya, Pak Trisno, seorang buruh tani, dan Bu Lasmi, yang sering menjual gorengan di pasar.

"Pak Juki, kopi hitam satu ya, tapi utang dulu. Panen kali ini belum banyak hasil," kata Pak Trisno sambil menggaruk kepala.

Kang Juki tersenyum, menuangkan kopi ke gelas. "Gampang, Pak Trisno. Rezeki nggak ke mana. Minum dulu, santai aja."

Di sudut lain, Bu Lasmi tertawa kecil. "Pak Juki ini baiknya kebangetan. Jangan-jangan kalau warungnya besar nanti, kita nggak boleh utang lagi, ya?"

Kang Juki hanya menggeleng. "Bu Lasmi, warung ini untuk semua orang. Utang pun nggak masalah asal tetap ada obrolan hangat di sini."

Warung itu memang lebih dari sekadar tempat makan. Para pelanggan datang bukan hanya untuk menyeruput kopi atau menikmati sepiring nasi jagung, tetapi juga untuk berbagi cerita. Petani, buruh, guru, hingga anak-anak sekolah duduk bersama di bangku panjang yang sama, tanpa jarak.

Suatu sore, seorang pemuda bernama Dani, lulusan SMA yang menganggur, datang ke warung dengan wajah murung. Ia memesan segelas teh hangat dan duduk di pojok, memandangi sawah di kejauhan.

"Kok diem aja, Dan? Biasanya kamu ramai ngajak debat," canda Kang Juki sambil meletakkan segelas teh di hadapannya.

Dani menghela napas. "Pak Juki, saya capek cari kerja. Kayaknya nasib saya memang nggak bakal berubah. Anak petani ya jadi petani lagi."

Kang Juki duduk di sebelahnya, menepuk pundaknya. "Denger ya, Dan. Orang boleh lahir dari mana saja, tapi masa depanmu itu hasil dari usahamu sendiri. Jangan pernah menyerah."

Dan tersenyum tipis. "Tapi saya bingung mulai dari mana, Pak."

"Mulai dari sini, dari warung ini," jawab Kang Juki. "Bantu saya, belajar melayani pelanggan, belajar ngobrol sama orang. Siapa tahu dari situ kamu dapat ide atau jaringan."

Sejak hari itu, Dani membantu Kang Juki di warung. Ia belajar cara membuat kopi, mencatat utang pelanggan, dan bahkan ikut terlibat dalam diskusi-diskusi seru yang sering terjadi di sana. Warung itu menjadi tempat bertemunya ide-ide.

Menu nasi jagung kang Juki | dok.pri
Menu nasi jagung kang Juki | dok.pri

Pernah suatu malam, seorang mahasiswa dari kota bernama Nina datang untuk penelitian. Ia terkejut melihat bagaimana warung kecil itu menjadi pusat aktivitas sosial.

"Kang Juki, warung ini unik sekali," katanya sambil menulis di buku catatannya.

"Unik gimana, Mbak Nina?" tanya Kang Juki sambil membersihkan meja.

"Semua orang di sini tampak setara. Mereka bisa ngobrol bebas, dari petani sampai anak muda, tanpa canggung," jawab Nina.

Kang Juki tertawa kecil. "Ya begitulah, Mbak. Di warung ini nggak ada yang lebih tinggi atau rendah. Semua sama, yang penting hati mereka terbuka."

Lama-kelamaan, warung itu semakin dikenal. Orang-orang dari desa tetangga mulai berdatangan, bukan hanya untuk menikmati makanan murah, tapi juga mencari inspirasi. Banyak ide-ide sederhana yang lahir di warung itu: dari kelompok tani, koperasi, hingga acara gotong royong desa.

Menikmati kopi dan rokok di warung kang Juki | dok.pri
Menikmati kopi dan rokok di warung kang Juki | dok.pri

Namun, bagi Kang Juki, keberhasilan terbesarnya bukanlah ramainya warung, melainkan perubahan yang terjadi pada orang-orang di sekitarnya. Dani, pemuda yang dulu putus asa, kini membuka bengkel kecil dengan modal hasil tabungan dan dukungan pelanggan warung.

"Pak Juki, terima kasih ya. Kalau bukan karena warung ini, mungkin saya masih menganggur," kata Dani suatu hari.

Kang Juki tersenyum hangat. "Dan, kamu sendiri yang berusaha. Warung ini cuma tempatmu mulai. Ingat, semua orang punya hak untuk maju, asalkan mau bekerja keras."

Warung Kang Juki, warung pinggir sawah yang sederhana, telah menjadi simbol kesetaraan. Di sana, tidak ada sekat antara kaya dan miskin, tua dan muda. Semua yang datang membawa cerita, dan pulang membawa harapan. Warung itu mengajarkan satu hal: bahwa setiap perjuangan bisa dimulai dari tempat sederhana, asal hati tetap besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun