Kang Juki duduk di sebelahnya, menepuk pundaknya. "Denger ya, Dan. Orang boleh lahir dari mana saja, tapi masa depanmu itu hasil dari usahamu sendiri. Jangan pernah menyerah."
Dan tersenyum tipis. "Tapi saya bingung mulai dari mana, Pak."
"Mulai dari sini, dari warung ini," jawab Kang Juki. "Bantu saya, belajar melayani pelanggan, belajar ngobrol sama orang. Siapa tahu dari situ kamu dapat ide atau jaringan."
Sejak hari itu, Dani membantu Kang Juki di warung. Ia belajar cara membuat kopi, mencatat utang pelanggan, dan bahkan ikut terlibat dalam diskusi-diskusi seru yang sering terjadi di sana. Warung itu menjadi tempat bertemunya ide-ide.
Pernah suatu malam, seorang mahasiswa dari kota bernama Nina datang untuk penelitian. Ia terkejut melihat bagaimana warung kecil itu menjadi pusat aktivitas sosial.
"Kang Juki, warung ini unik sekali," katanya sambil menulis di buku catatannya.
"Unik gimana, Mbak Nina?" tanya Kang Juki sambil membersihkan meja.
"Semua orang di sini tampak setara. Mereka bisa ngobrol bebas, dari petani sampai anak muda, tanpa canggung," jawab Nina.
Kang Juki tertawa kecil. "Ya begitulah, Mbak. Di warung ini nggak ada yang lebih tinggi atau rendah. Semua sama, yang penting hati mereka terbuka."
Lama-kelamaan, warung itu semakin dikenal. Orang-orang dari desa tetangga mulai berdatangan, bukan hanya untuk menikmati makanan murah, tapi juga mencari inspirasi. Banyak ide-ide sederhana yang lahir di warung itu: dari kelompok tani, koperasi, hingga acara gotong royong desa.