Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Jengkerut, Sang Penjaga Tradisi dan Harapan Swasembada Pangan

16 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 17 Januari 2025   11:27 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jengkerut (Garut) - www.gramedia.com

Ketika membicarakan swasembada pangan nasional, pikiran kita sering melayang pada sawah yang menghampar luas, bulir padi yang menguning, dan sederet program pemerintah yang penuh jargon. Tapi, ada satu sudut kecil yang sering terlupakan: makanan tradisional. Ya, makanan tradisional, termasuk si kecil yang sering diremehkan bernama jengkerut alias garut. Jika Anda berpikir ini hanya sekadar bahan pangan kuno, tunggu dulu---kita akan melihat bagaimana jengkerut bisa menjadi "pahlawan kecil" dalam perjuangan swasembada pangan kita.

Dari Akar hingga Piring: Jengkerut dan Sejarahnya

Garut (Maranta arundinacea) adalah tanaman umbi-umbian yang tumbuh subur di daerah tropis seperti Indonesia. Berbeda dari jagung atau padi yang sering menjadi primadona, garut hidup tanpa banyak drama. Ia tidak memerlukan perawatan intensif, tahan terhadap kekeringan, dan bisa tumbuh di lahan yang kurang subur sekalipun. Jika padi adalah diva dengan segala tuntutannya, garut adalah pekerja keras yang tidak pernah mengeluh.

Masyarakat tradisional, terutama di Jawa dan Nusa Tenggara, sudah lama memanfaatkan garut sebagai sumber pangan. Umbi ini diolah menjadi tepung yang kemudian digunakan untuk membuat berbagai macam makanan, mulai dari kue hingga bubur. Namun, dengan masuknya beras sebagai simbol kemakmuran---dan mie instan sebagai pelengkap zaman modern---garut perlahan-lahan kehilangan panggungnya.

Garut: Si Kecil dengan Nutrisi Besar

Mari kita bahas fakta gizinya. Garut ternyata bukan sembarang umbi. Ia kaya akan karbohidrat kompleks yang mudah dicerna, rendah gluten (bahkan hampir bebas gluten!), dan mengandung serat tinggi. Ini menjadikannya cocok untuk berbagai kebutuhan, mulai dari makanan bayi hingga diet rendah gula bagi penderita diabetes.

Bayangkan, sebuah umbi yang terlihat sederhana ternyata memiliki manfaat sehebat ini. Jika beras memiliki resiko "bikin kantong bolong" saat harga melonjak, garut bisa menjadi alternatif yang jauh lebih murah dan sehat.

Lalu, kenapa kita tidak memberi garut tempat yang layak di meja makan kita? Ah, mungkin karena kita terlalu terpaku pada stigma bahwa makanan tradisional itu kuno, kampungan, atau---lebih parah---tidak prestisius. Padahal, dunia luar justru mulai melirik bahan pangan lokal sebagai solusi krisis pangan global.

Swasembada Pangan: Apa Kabar Diversifikasi?

Swasembada pangan sering diterjemahkan secara sempit sebagai "kita harus cukup beras." Padahal, diversifikasi pangan adalah kunci sebenarnya. Ketergantungan pada satu jenis makanan pokok tidak hanya berbahaya bagi ketahanan pangan, tetapi juga merugikan ekosistem kita. Lahan sawah yang terus dipaksa menghasilkan beras akhirnya merusak tanah, sementara potensi tanaman lain seperti garut diabaikan.

Jika kita menengok data, konsumsi beras per kapita di Indonesia masih mencapai sekitar 100 kg per tahun---salah satu yang tertinggi di dunia. Sebaliknya, konsumsi pangan lokal seperti ubi, singkong, atau garut justru terus merosot. Ini adalah ironi di negeri yang memiliki keanekaragaman hayati melimpah.

Pemerintah sebenarnya sudah mencoba mendorong diversifikasi pangan, tetapi langkah-langkah ini sering terjebak di level kampanye semata. Apa yang kurang? Tentu saja, edukasi dan inovasi. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa garut bukan sekadar "makanan zaman susah," melainkan pilihan cerdas di era modern.

Jengkerut dan Potensi Industrinya

Salah satu tantangan terbesar garut adalah cara pengolahannya yang cenderung monoton. Tapi di sinilah peluang besar itu berada! Bayangkan jika garut diolah menjadi produk kekinian: biskuit sehat, mi rendah gluten, atau bahkan tepung garut untuk roti premium.

Beberapa daerah di Indonesia sudah mulai melirik potensi ini. Di Trenggalek, misalnya, usaha kecil menengah (UKM) mulai memproduksi keripik garut dan bubur instan berbasis tepung garut. Produk-produk ini tidak hanya dijual di pasar lokal, tetapi juga diekspor ke luar negeri. Sayangnya, jumlahnya masih sangat terbatas.

Bayangkan jika pemerintah lebih serius mendukung industri garut, mulai dari pembiayaan, penelitian, hingga pemasaran. Kita tidak hanya membantu petani lokal, tetapi juga menciptakan alternatif pangan yang berkelanjutan.

Menyelamatkan Jengkerut, Menyelamatkan Masa Depan

Pada akhirnya, perjuangan swasembada pangan tidak hanya soal beras atau jagung. Ini tentang bagaimana kita bisa menggali potensi dari sumber daya lokal yang sering terlupakan, seperti si kecil garut. Dalam setiap umbi yang mungkin terlihat remeh itu, tersimpan harapan besar untuk ketahanan pangan yang lebih baik.

Jadi, lain kali jika Anda menemukan bubur garut atau keripik jengkerut di pasar tradisional, jangan ragu untuk mencicipinya. Mungkin rasanya tidak semewah steak wagyu, tetapi di balik kesederhanaannya, ada nilai perjuangan, kearifan lokal, dan---yang terpenting---solusi untuk masa depan pangan kita.

Lagi pula, siapa yang bisa menolak makanan yang rendah kalori, murah meriah, dan ramah lingkungan? Kalau Anda masih ragu, ingatlah pepatah lama: "Jangan remehkan yang kecil, karena bisa jadi ia adalah pahlawan dalam sunyi." Dan dalam dunia pangan, mungkin pahlawan itu bernama jengkerut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun