Ketika membicarakan swasembada pangan nasional, pikiran kita sering melayang pada sawah yang menghampar luas, bulir padi yang menguning, dan sederet program pemerintah yang penuh jargon. Tapi, ada satu sudut kecil yang sering terlupakan: makanan tradisional. Ya, makanan tradisional, termasuk si kecil yang sering diremehkan bernama jengkerut alias garut. Jika Anda berpikir ini hanya sekadar bahan pangan kuno, tunggu dulu---kita akan melihat bagaimana jengkerut bisa menjadi "pahlawan kecil" dalam perjuangan swasembada pangan kita.
Dari Akar hingga Piring: Jengkerut dan Sejarahnya
Garut (Maranta arundinacea) adalah tanaman umbi-umbian yang tumbuh subur di daerah tropis seperti Indonesia. Berbeda dari jagung atau padi yang sering menjadi primadona, garut hidup tanpa banyak drama. Ia tidak memerlukan perawatan intensif, tahan terhadap kekeringan, dan bisa tumbuh di lahan yang kurang subur sekalipun. Jika padi adalah diva dengan segala tuntutannya, garut adalah pekerja keras yang tidak pernah mengeluh.
Masyarakat tradisional, terutama di Jawa dan Nusa Tenggara, sudah lama memanfaatkan garut sebagai sumber pangan. Umbi ini diolah menjadi tepung yang kemudian digunakan untuk membuat berbagai macam makanan, mulai dari kue hingga bubur. Namun, dengan masuknya beras sebagai simbol kemakmuran---dan mie instan sebagai pelengkap zaman modern---garut perlahan-lahan kehilangan panggungnya.
Garut: Si Kecil dengan Nutrisi Besar
Mari kita bahas fakta gizinya. Garut ternyata bukan sembarang umbi. Ia kaya akan karbohidrat kompleks yang mudah dicerna, rendah gluten (bahkan hampir bebas gluten!), dan mengandung serat tinggi. Ini menjadikannya cocok untuk berbagai kebutuhan, mulai dari makanan bayi hingga diet rendah gula bagi penderita diabetes.
Bayangkan, sebuah umbi yang terlihat sederhana ternyata memiliki manfaat sehebat ini. Jika beras memiliki resiko "bikin kantong bolong" saat harga melonjak, garut bisa menjadi alternatif yang jauh lebih murah dan sehat.
Lalu, kenapa kita tidak memberi garut tempat yang layak di meja makan kita? Ah, mungkin karena kita terlalu terpaku pada stigma bahwa makanan tradisional itu kuno, kampungan, atau---lebih parah---tidak prestisius. Padahal, dunia luar justru mulai melirik bahan pangan lokal sebagai solusi krisis pangan global.
Swasembada Pangan: Apa Kabar Diversifikasi?
Swasembada pangan sering diterjemahkan secara sempit sebagai "kita harus cukup beras." Padahal, diversifikasi pangan adalah kunci sebenarnya. Ketergantungan pada satu jenis makanan pokok tidak hanya berbahaya bagi ketahanan pangan, tetapi juga merugikan ekosistem kita. Lahan sawah yang terus dipaksa menghasilkan beras akhirnya merusak tanah, sementara potensi tanaman lain seperti garut diabaikan.