Jika kita menengok data, konsumsi beras per kapita di Indonesia masih mencapai sekitar 100 kg per tahun---salah satu yang tertinggi di dunia. Sebaliknya, konsumsi pangan lokal seperti ubi, singkong, atau garut justru terus merosot. Ini adalah ironi di negeri yang memiliki keanekaragaman hayati melimpah.
Pemerintah sebenarnya sudah mencoba mendorong diversifikasi pangan, tetapi langkah-langkah ini sering terjebak di level kampanye semata. Apa yang kurang? Tentu saja, edukasi dan inovasi. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa garut bukan sekadar "makanan zaman susah," melainkan pilihan cerdas di era modern.
Jengkerut dan Potensi Industrinya
Salah satu tantangan terbesar garut adalah cara pengolahannya yang cenderung monoton. Tapi di sinilah peluang besar itu berada! Bayangkan jika garut diolah menjadi produk kekinian: biskuit sehat, mi rendah gluten, atau bahkan tepung garut untuk roti premium.
Beberapa daerah di Indonesia sudah mulai melirik potensi ini. Di Trenggalek, misalnya, usaha kecil menengah (UKM) mulai memproduksi keripik garut dan bubur instan berbasis tepung garut. Produk-produk ini tidak hanya dijual di pasar lokal, tetapi juga diekspor ke luar negeri. Sayangnya, jumlahnya masih sangat terbatas.
Bayangkan jika pemerintah lebih serius mendukung industri garut, mulai dari pembiayaan, penelitian, hingga pemasaran. Kita tidak hanya membantu petani lokal, tetapi juga menciptakan alternatif pangan yang berkelanjutan.
Menyelamatkan Jengkerut, Menyelamatkan Masa Depan
Pada akhirnya, perjuangan swasembada pangan tidak hanya soal beras atau jagung. Ini tentang bagaimana kita bisa menggali potensi dari sumber daya lokal yang sering terlupakan, seperti si kecil garut. Dalam setiap umbi yang mungkin terlihat remeh itu, tersimpan harapan besar untuk ketahanan pangan yang lebih baik.
Jadi, lain kali jika Anda menemukan bubur garut atau keripik jengkerut di pasar tradisional, jangan ragu untuk mencicipinya. Mungkin rasanya tidak semewah steak wagyu, tetapi di balik kesederhanaannya, ada nilai perjuangan, kearifan lokal, dan---yang terpenting---solusi untuk masa depan pangan kita.
Lagi pula, siapa yang bisa menolak makanan yang rendah kalori, murah meriah, dan ramah lingkungan? Kalau Anda masih ragu, ingatlah pepatah lama: "Jangan remehkan yang kecil, karena bisa jadi ia adalah pahlawan dalam sunyi." Dan dalam dunia pangan, mungkin pahlawan itu bernama jengkerut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H