Plastik, benda kecil yang sering kita anggap sepele, telah menjelma menjadi ancaman besar bagi kelestarian bumi. Mulai dari bungkus makanan ringan hingga kantong belanja, sampah plastik menghantui kita di mana-mana. Masalahnya, plastik bukan hanya tak ramah lingkungan, tapi juga "ngotot" bertahan di alam hingga ratusan tahun. Bayangkan, plastik yang kita buang hari ini masih akan ada ketika cucu-cicit kita hidup di dunia. Maka, penting kiranya kita bertanya: bagaimana Islam memandang persoalan ini?
Plastik dalam Kacamata Fikih: Amanah dan Tanggung Jawab
Islam, sebagai agama yang holistik, mengajarkan tanggung jawab terhadap lingkungan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
"Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya." (QS. Hud: 61).
Ayat ini memberikan pesan penting bahwa manusia diberi mandat sebagai khalifah di bumi, bukan perusak. Dalam konteks sampah plastik, "pemakmur" berarti kita memiliki kewajiban untuk menjaga bumi tetap sehat dan berkelanjutan. Membuang sampah sembarangan, apalagi yang tidak mudah terurai seperti plastik, jelas bertentangan dengan semangat ayat ini.
Fikih, sebagai panduan praktis umat Islam, juga memuat prinsip-prinsip yang relevan dengan isu lingkungan. Salah satunya adalah kaidah la dharara wa la dhirara (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain). Sampah plastik yang mencemari lingkungan jelas menimbulkan bahaya, baik bagi manusia, hewan, maupun ekosistem. Maka, dari perspektif fikih, membuang sampah plastik sembarangan bisa dianggap sebagai tindakan yang melanggar prinsip ini.
Dampak Plastik: Fakta yang Menggugah Kesadaran
Sebelum melangkah ke solusi, mari kita telaah dampak serius sampah plastik. Menurut data dari UNEP (United Nations Environment Programme), setiap tahun, dunia memproduksi sekitar 300 juta ton plastik. Dari jumlah tersebut, sekitar 8 juta ton mengalir ke lautan, membunuh lebih dari 1 juta burung laut dan 100.000 mamalia laut setiap tahun.
Tidak hanya itu, plastik juga masuk ke rantai makanan kita dalam bentuk mikroplastik. Sebuah studi oleh WWF pada 2019 mengungkapkan bahwa manusia rata-rata mengonsumsi sekitar 5 gram plastik setiap minggu—setara dengan berat sebuah kartu kredit. Bayangkan, tubuh kita secara tak sadar "mengunyah" plastik akibat ulah kita sendiri!
Melihat fakta ini, tak heran jika ulama kontemporer seperti Sheikh Yusuf Al-Qaradawi menegaskan bahwa menjaga lingkungan dari kerusakan adalah bagian dari kewajiban syar’i.
Solusi Berbasis Fikih: Mengubah Perilaku, Merawat Bumi
Lantas, bagaimana fikih menawarkan solusi? Berikut beberapa pendekatan yang bisa kita ambil:
Memulai dari Diri Sendiri: Mengurangi dan Mengelola
Dalam Islam, ada konsep zuhud—hidup sederhana dan tidak berlebihan. Rasulullah SAW bersabda:"Makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah tanpa berlebih-lebihan." (HR. Ahmad).
Prinsip ini relevan dalam konteks penggunaan plastik. Kita bisa mulai dengan membawa tas belanja kain, menghindari sedotan plastik, atau menggunakan wadah makan yang bisa dipakai ulang.
Mendorong Daur Ulang sebagai Sedekah
Islam mengajarkan bahwa sedekah tidak harus dalam bentuk uang. Menyumbangkan plastik untuk didaur ulang, misalnya, bisa dianggap sebagai sedekah ekologis. Dalam fikih, tindakan yang mendatangkan manfaat (maslahah) bagi banyak orang memiliki nilai ibadah.Pendidikan Lingkungan sebagai Bagian dari Dakwah
Mengajarkan pentingnya menjaga lingkungan, termasuk pengelolaan sampah plastik, bisa menjadi bagian dari dakwah. Masjid, pesantren, atau majelis taklim bisa menjadi tempat untuk menyebarkan kesadaran ini.Mendorong Pemerintah untuk Bertindak
Dalam Islam, pemerintah memiliki peran besar dalam memastikan keberlanjutan umat. Ulama klasik seperti Imam Al-Mawardi menyebutkan bahwa tugas pemimpin adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, termasuk dalam urusan lingkungan. Mendorong kebijakan pengelolaan sampah yang berbasis syariah, seperti zakat lingkungan, bisa menjadi langkah nyata.
Kritik dan Tantangan: Tidak Cukup Hanya Mengurangi
Namun, mari kita bersikap realistis. Hanya mengurangi penggunaan plastik tidak cukup. Masalah ini membutuhkan pendekatan sistemik. Industri besar juga harus bertanggung jawab. Dalam fikih, dikenal istilah ta’zir, yakni sanksi untuk mencegah kerusakan lebih besar. Jika diterapkan dalam konteks modern, ini bisa berarti regulasi ketat bagi produsen plastik dan insentif bagi perusahaan yang mengembangkan bahan alternatif ramah lingkungan.
Selain itu, umat Islam perlu menyadari bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga bentuk ibadah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
"Iman itu ada tujuh puluh lebih cabang, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan." (HR. Muslim).
Sampah plastik di jalan atau sungai adalah gangguan nyata yang harus kita singkirkan.
Penutup: Merawat Amanah Tuhan
Sampah plastik bukan sekadar masalah duniawi, tetapi juga ujian keimanan kita. Bagaimana kita memperlakukan bumi adalah cerminan dari bagaimana kita memahami amanah Allah. Islam mengajarkan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah, bagian dari cinta kita kepada Sang Pencipta.
Maka, mari kita mulai dari hal kecil: mengurangi plastik, memilah sampah, dan menyebarkan kesadaran. Karena jika tidak sekarang, kapan lagi? Dan jika bukan kita, siapa lagi? Sebagaimana pesan bijak yang sering kita dengar: Jadilah bagian dari solusi, bukan bagian dari polusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H