Bayangkan sebuah desa kecil di pinggir kota. Di sana, seorang petani bernama Pak Bejo bercocok tanam di sebidang tanah kecil yang diwariskan keluarganya. Namun, tanah itu tak lagi cukup untuk menopang kebutuhan hidupnya karena harga pupuk melambung dan hasil panen tak menentu. Sementara itu, di ujung desa, berdiri lahan kosong seluas puluhan hektar yang sudah bertahun-tahun tidak dimanfaatkan, dimiliki oleh investor yang tinggal entah di mana. Pak Bejo hanya bisa menghela napas panjang setiap kali melewati tanah tersebut.
Inilah potret ketimpangan kepemilikan tanah yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 50 persen aset tanah. Sementara itu, puluhan juta rakyat kecil seperti Pak Bejo harus berjuang keras untuk bertahan hidup dengan akses tanah yang minim atau bahkan nihil.
Kesenjangan Kepemilikan Tanah: Warisan Kolonial dan Tantangan Modern
Kesenjangan ini bukan hal baru. Warisan sistem kolonial yang memberikan hak istimewa kepada segelintir orang untuk memiliki tanah dalam skala besar terus berlanjut hingga masa kini. Di era modern, pola penguasaan tanah semakin timpang karena faktor spekulasi, investasi besar-besaran di sektor properti, dan lemahnya tata kelola agraria.
Ironisnya, tanah yang seharusnya menjadi sumber penghidupan malah menjadi komoditas yang dikuasai segelintir elit. Padahal, akses terhadap tanah bukan hanya soal ekonomi; ia adalah isu sosial, politik, dan hak asasi manusia. Ketimpangan ini menjadi penghambat serius bagi upaya menciptakan ekonomi yang berkeadilan.
Lalu, apa solusinya? Salah satu langkah strategis yang mulai diupayakan adalah pembentukan Badan Bank Tanah.
Badan Bank Tanah: Harapan Baru di Tengah Ketimpangan
Badan Bank Tanah merupakan lembaga yang dibentuk untuk mengelola tanah negara secara profesional, transparan, dan berkeadilan. Undang-Undang Cipta Kerja menjadi landasan hukum bagi lembaga ini, dengan tujuan mendistribusikan tanah untuk kepentingan masyarakat luas, termasuk petani kecil, nelayan, dan kelompok rentan lainnya.
Prinsip utama Bank Tanah adalah memastikan bahwa tanah yang menganggur atau dikuasai secara tidak produktif dapat dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Misalnya, tanah yang dikuasai spekulan atau yang tidak dimanfaatkan secara produktif dapat diambil alih oleh negara dan dikelola untuk kepentingan sosial, seperti pembangunan perumahan rakyat, fasilitas umum, atau pemberdayaan petani kecil.
Kritik dan Tantangan Implementasi
Namun, konsep ini bukan tanpa tantangan. Beberapa pihak mengkritik bahwa Bank Tanah bisa saja menjadi alat baru bagi oligarki untuk memperluas kontrol mereka atas sumber daya agraria. Jika tidak diawasi dengan ketat, dikhawatirkan program ini malah memperkuat monopoli, bukan menguranginya.
Selain itu, masalah transparansi juga menjadi isu krusial. Bagaimana memastikan bahwa tanah yang dikelola oleh Bank Tanah benar-benar didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan? Apakah ada mekanisme pengawasan independen yang cukup kuat untuk mencegah penyimpangan?
Data dari World Bank menunjukkan bahwa di banyak negara, program redistribusi tanah sering kali terhambat oleh birokrasi, korupsi, dan konflik kepentingan. Indonesia tentu harus belajar dari pengalaman ini.
Langkah Strategis: Dari Teori ke Aksi Nyata
Untuk menjawab tantangan tersebut, ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan:
Pendataan Tanah yang Akurat dan Transparan
Teknologi digital seperti sistem informasi geospasial dapat digunakan untuk memetakan tanah secara akurat. Pendataan ini harus melibatkan masyarakat agar validitasnya terjamin dan mengurangi potensi konflik.Pemberdayaan Masyarakat Lokal
Distribusi tanah saja tidak cukup. Petani seperti Pak Bejo juga membutuhkan dukungan berupa pelatihan, akses modal, dan infrastruktur agar mereka mampu mengelola tanah secara produktif.Pengawasan yang Independen
Dibutuhkan mekanisme pengawasan yang melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga independen untuk memastikan bahwa Bank Tanah benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan elite tertentu.Integrasi dengan Program Reforma Agraria
Bank Tanah seharusnya tidak berjalan sendiri, melainkan menjadi bagian dari program reforma agraria yang lebih luas. Integrasi ini penting untuk menciptakan sinergi antara redistribusi tanah dan pembangunan pedesaan.
Harapan Baru untuk Ekonomi Berkeadilan
Jika dikelola dengan baik, Bank Tanah bisa menjadi instrumen yang ampuh untuk mengurangi ketimpangan dan mewujudkan ekonomi yang berkeadilan. Bayangkan jika tanah-tanah kosong yang selama ini menganggur bisa dimanfaatkan untuk membangun lahan pertanian produktif, perumahan rakyat, atau kawasan usaha mikro.
Pak Bejo dan jutaan petani kecil lainnya bisa mendapatkan kesempatan baru untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Anak-anak mereka mungkin tidak lagi harus putus sekolah karena orang tua mereka kini memiliki penghasilan yang cukup.
Namun, semua ini membutuhkan komitmen bersama. Pemerintah harus serius menjalankan program ini dengan integritas tinggi, masyarakat harus aktif terlibat dalam pengawasan, dan pihak swasta harus mendukung dengan cara yang adil dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga simbol keadilan sosial. Dengan Bank Tanah, kita memiliki peluang untuk menata ulang penguasaan tanah di Indonesia, menciptakan kesetaraan, dan memastikan bahwa setiap jengkal tanah di negeri ini benar-benar bermanfaat bagi seluruh rakyat. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H