Namun, konsep ini bukan tanpa tantangan. Beberapa pihak mengkritik bahwa Bank Tanah bisa saja menjadi alat baru bagi oligarki untuk memperluas kontrol mereka atas sumber daya agraria. Jika tidak diawasi dengan ketat, dikhawatirkan program ini malah memperkuat monopoli, bukan menguranginya.
Selain itu, masalah transparansi juga menjadi isu krusial. Bagaimana memastikan bahwa tanah yang dikelola oleh Bank Tanah benar-benar didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan? Apakah ada mekanisme pengawasan independen yang cukup kuat untuk mencegah penyimpangan?
Data dari World Bank menunjukkan bahwa di banyak negara, program redistribusi tanah sering kali terhambat oleh birokrasi, korupsi, dan konflik kepentingan. Indonesia tentu harus belajar dari pengalaman ini.
Langkah Strategis: Dari Teori ke Aksi Nyata
Untuk menjawab tantangan tersebut, ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan:
Pendataan Tanah yang Akurat dan Transparan
Teknologi digital seperti sistem informasi geospasial dapat digunakan untuk memetakan tanah secara akurat. Pendataan ini harus melibatkan masyarakat agar validitasnya terjamin dan mengurangi potensi konflik.Pemberdayaan Masyarakat Lokal
Distribusi tanah saja tidak cukup. Petani seperti Pak Bejo juga membutuhkan dukungan berupa pelatihan, akses modal, dan infrastruktur agar mereka mampu mengelola tanah secara produktif.Pengawasan yang Independen
Dibutuhkan mekanisme pengawasan yang melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga independen untuk memastikan bahwa Bank Tanah benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan elite tertentu.Integrasi dengan Program Reforma Agraria
Bank Tanah seharusnya tidak berjalan sendiri, melainkan menjadi bagian dari program reforma agraria yang lebih luas. Integrasi ini penting untuk menciptakan sinergi antara redistribusi tanah dan pembangunan pedesaan.
Harapan Baru untuk Ekonomi Berkeadilan
Jika dikelola dengan baik, Bank Tanah bisa menjadi instrumen yang ampuh untuk mengurangi ketimpangan dan mewujudkan ekonomi yang berkeadilan. Bayangkan jika tanah-tanah kosong yang selama ini menganggur bisa dimanfaatkan untuk membangun lahan pertanian produktif, perumahan rakyat, atau kawasan usaha mikro.