Polarisasi politik di Indonesia kian terasa seperti benang kusut yang sulit diurai. Perbedaan pandangan politik, yang seharusnya menjadi warna indah demokrasi, malah berubah menjadi jurang pemisah antarkelompok masyarakat. Salah satu isu yang sering disoroti adalah presidential threshold—ambang batas pencalonan presiden. Jika kita ingin membangun Indonesia yang lebih solid dan harmonis, mungkin sudah waktunya kita mempertimbangkan untuk menghapus aturan ini.
Apa itu Presidential Threshold?
Mari kita mulai dengan memahami apa itu presidential threshold. Secara sederhana, presidential threshold adalah aturan yang mewajibkan partai atau gabungan partai memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya untuk mencalonkan presiden. Tujuannya, tentu, untuk menyaring kandidat agar tidak terlalu banyak dan menjaga stabilitas politik. Namun, kenyataannya, aturan ini justru memicu berbagai masalah, termasuk memperparah polarisasi.
Ketika pilihan presiden hanya terbatas pada dua atau tiga pasangan calon, masyarakat dipaksa untuk memilih "kubu" tertentu. Hasilnya, perbedaan pilihan politik sering kali melebar menjadi konflik emosional, bahkan personal. Keluarga terpecah, persahabatan retak, dan media sosial menjadi medan perang opini. Polarisasi inilah yang akhirnya menggerogoti kohesi sosial kita.
Mengapa Presidential Threshold Perlu Dihapus?
Pertama, presidential threshold membatasi hak politik rakyat. Demokrasi sejati memberikan ruang kepada sebanyak mungkin kandidat untuk berkompetisi. Dengan ambang batas yang tinggi, peluang untuk hadirnya kandidat alternatif semakin kecil. Akibatnya, hanya partai besar atau koalisi yang kuat secara finansial dan politik yang bisa mencalonkan presiden. Bagaimana dengan suara rakyat yang tidak terwakili oleh partai-partai besar itu?
Kedua, presidential threshold cenderung mengunci pilihan rakyat pada kandidat yang “itu-itu saja.” Semakin sedikit pilihan, semakin tajam konflik di masyarakat. Bayangkan jika kita memiliki lebih banyak kandidat, masyarakat akan terpecah dalam spektrum yang lebih luas, sehingga konflik tidak lagi terkonsentrasi pada dua kubu utama. Dengan kata lain, lebih banyak kandidat bisa menjadi "penyejuk" bagi tensi politik.
Ketiga, aturan ini sering kali menjadi alat bagi partai besar untuk mempertahankan dominasi mereka. Partai kecil yang memiliki gagasan brilian sering kali tersingkir karena mereka tidak mampu memenuhi ambang batas. Hal ini membuat demokrasi kita tidak hanya terkesan eksklusif, tetapi juga kehilangan inovasi politik yang mungkin muncul dari partai-partai kecil.
Bagaimana Menghapus Presidential Threshold Bisa Mengurangi Polarisasi?
Menghapus presidential threshold tidak berarti tanpa risiko, tetapi manfaatnya jauh lebih besar. Tanpa ambang batas, pemilu presiden akan lebih inklusif. Semua partai, besar maupun kecil, memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan kandidat. Ini akan memperluas spektrum pilihan rakyat dan mengurangi konsentrasi konflik pada dua kutub ekstrem.
Selain itu, lebih banyak kandidat berarti lebih banyak ruang diskusi. Fokus masyarakat akan bergeser dari “saya melawan kamu” menjadi “apa gagasan terbaik untuk Indonesia.” Perdebatan politik akan lebih kaya, bukan hanya soal siapa yang lebih hebat, tetapi juga siapa yang menawarkan solusi terbaik untuk masalah bangsa.
Menghapus presidential threshold juga membuka peluang bagi figur independen untuk mencalonkan diri. Indonesia membutuhkan sosok-sosok baru yang tidak terikat pada kepentingan partai politik. Figur independen ini bisa menjadi angin segar dalam politik kita, membawa harapan baru dan mendobrak kebuntuan yang selama ini terjadi.
Tantangan dan Solusi
Tentu, menghapus presidential threshold tidak semudah membalikkan telapak tangan. Salah satu tantangannya adalah potensi munculnya terlalu banyak kandidat, yang bisa membingungkan pemilih. Namun, ini bisa diatasi dengan mekanisme seleksi yang lebih adil, misalnya melalui verifikasi ketat terhadap visi, misi, dan program kerja calon.
Tantangan lainnya adalah resistensi dari partai-partai besar yang selama ini diuntungkan oleh aturan ini. Namun, jika kita benar-benar ingin mengutamakan kepentingan bangsa, resistensi ini harus dihadapi dengan keberanian politik. Dialog yang konstruktif antara berbagai pemangku kepentingan perlu dilakukan untuk mencapai konsensus.
Membangun Demokrasi yang Lebih Sehat
Menghapus presidential threshold adalah salah satu langkah untuk membangun demokrasi yang lebih sehat dan inklusif. Dengan memberikan ruang bagi lebih banyak kandidat, kita tidak hanya memperkaya pilihan rakyat, tetapi juga mengurangi tensi politik yang selama ini memecah belah kita.
Bayangkan pemilu di mana masyarakat tidak lagi saling serang karena perbedaan pilihan, tetapi saling berbagi gagasan untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Bayangkan sebuah demokrasi di mana setiap suara benar-benar dihitung, tanpa harus terjebak dalam polarisasi yang tidak produktif.
Apakah ini mimpi yang terlalu indah? Tidak, ini adalah cita-cita yang bisa kita capai jika kita memiliki keberanian untuk berubah. Karena pada akhirnya, demokrasi adalah tentang rakyat, bukan tentang ambang batas. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H