Belakangan ini, netizen di medsos mempermasalahkan perbandingan antara zakat 2,5% dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% ramai dibicarakan. Beberapa spanduk mengusung slogan seperti “Zakat 2,5% untuk umat, PPN 12% untuk negara—adilkah ini?” Sebuah pertanyaan yang menggugah emosi dan logika. Untuk menjawabnya, kita perlu menggali lebih dalam: apa itu zakat, apa itu PPN, dan bagaimana keduanya berperan dalam tatanan sosial-ekonomi kita?
Zakat: Fondasi Kesejahteraan Umat
Zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam, kewajiban agama yang tak hanya bersifat spiritual tetapi juga sosial. Dalam Islam, zakat sebesar 2,5% dari harta tertentu wajib diberikan kepada delapan golongan, termasuk fakir, miskin, dan ibnu sabil. Zakat bukan sekadar bentuk kedermawanan, tetapi juga cara mendistribusikan kekayaan agar tidak hanya berputar di kalangan tertentu.
Secara ekonomi, zakat memiliki peran besar dalam mengurangi kesenjangan sosial. Bayangkan, jika semua muslim yang mampu secara konsisten membayar zakat, angka kemiskinan bisa ditekan signifikan. Namun, efektivitas zakat sering terhambat oleh kurangnya kesadaran, lemahnya manajemen lembaga zakat, dan pengawasan distribusi yang belum maksimal.
Namun, zakat tetaplah kewajiban individu berbasis agama, bukan pungutan negara. Di sinilah letak perbedaannya dengan pajak seperti PPN.
PPN: Mesin Ekonomi Negara
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah salah satu sumber utama pendapatan negara. Besarnya 12% memang terasa cukup tinggi, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang setiap hari bertransaksi. Namun, mari kita lihat dari perspektif yang lebih luas: uang dari PPN digunakan untuk membangun infrastruktur, membiayai pendidikan, menyediakan layanan kesehatan, dan mendukung berbagai program pemerintah lainnya.
Tanpa pajak, bagaimana jalan raya, rumah sakit, dan sekolah bisa berdiri? Bagaimana subsidi pendidikan dan bantuan sosial bisa diberikan? PPN, meskipun sering dianggap membebani, adalah bahan bakar utama roda pemerintahan.
Namun, tentu ada kritik yang patut dilontarkan. PPN bersifat regresif, artinya beban pajak ini lebih berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah karena proporsi pengeluaran mereka terhadap penghasilan lebih besar dibandingkan kelompok kaya. Maka, wajar jika muncul pertanyaan: apakah pajak seperti PPN sudah dirancang sedemikian rupa untuk benar-benar adil?
Zakat vs. PPN: Perbandingan yang Tidak Apple-to-Apple
Membandingkan zakat 2,5% dengan PPN 12% sebenarnya kurang tepat. Zakat adalah kewajiban agama untuk muslim yang mampu, sedangkan PPN adalah kewajiban warga negara tanpa memandang agama atau status sosial. Selain itu, basis pengenaan keduanya berbeda. Zakat dihitung dari harta setelah mencapai nisab (ambang minimal), sedangkan PPN dikenakan pada konsumsi barang dan jasa.
Namun, ada hal menarik yang bisa digarisbawahi: bukankah idealnya negara bisa mengelola pajak dengan prinsip-prinsip keadilan seperti zakat? Jika zakat bertujuan membantu yang lemah, maka pajak pun semestinya diarahkan untuk memperkecil kesenjangan sosial.
Kritik dan Tantangan
Demonstrasi yang mempermasalahkan zakat 2,5% dan PPN 12% menunjukkan adanya keresahan di masyarakat. Ada dua kritik utama yang bisa kita garis bawahi:
1. Efisiensi dan Transparansi Pengelolaan Pajak
Banyak masyarakat merasa bahwa uang pajak yang mereka bayarkan tidak kembali dalam bentuk layanan publik yang memadai. Kasus korupsi pajak yang sering terungkap hanya memperburuk ketidakpercayaan ini. Bagaimana bisa masyarakat rela membayar PPN 12% jika mereka tidak merasakan manfaatnya secara langsung?
2. Beban Pajak bagi Rakyat Kecil
Seperti disebutkan sebelumnya, PPN cenderung membebani masyarakat berpenghasilan rendah. Idealnya, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan pajak yang lebih progresif, seperti memberikan pengecualian PPN untuk kebutuhan pokok atau meningkatkan batas penghasilan kena pajak.
Menemukan Titik Tengah
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, negara perlu memastikan bahwa pengelolaan pajak lebih transparan dan efisien. Laporan keuangan negara harus mudah diakses dan dipahami oleh masyarakat, sehingga mereka tahu ke mana uang mereka digunakan.
Kedua, pemerintah bisa belajar dari konsep zakat dalam Islam. Salah satunya adalah prinsip keberpihakan kepada yang lemah. Pajak, seperti zakat, seharusnya menjadi alat redistribusi kekayaan. Misalnya, dengan menerapkan pajak progresif yang lebih adil atau memprioritaskan anggaran untuk program pengentasan kemiskinan.
Ketiga, masyarakat perlu terus mengawasi dan berpartisipasi aktif dalam kebijakan publik. Demonstrasi memang hak warga negara, tetapi langkah konkret seperti dialog dengan pemerintah atau mendukung gerakan zakat dan pajak yang transparan juga tak kalah penting.
Adil Itu Proses
Zakat 2,5% dan PPN 12% memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda, tetapi keduanya sama-sama penting untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Adil atau tidaknya keduanya bukan hanya soal angka, tetapi juga bagaimana keduanya dikelola dan dirasakan manfaatnya.
Adil itu bukan tujuan akhir; ia adalah proses panjang yang membutuhkan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah. Dan mungkin, ketika zakat dan pajak sama-sama dikelola dengan prinsip keadilan, kita bisa berhenti bertanya, “Sudah adilkah ini?” dan mulai berkata, “Ini baru adil!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H