Setiap tanggal 26 Desember, kita memperingati Hari Relawan Palang Merah Indonesia (PMI), sebuah momen yang seharusnya tidak sekadar menjadi ajang seremonial, tetapi juga pengingat akan makna mendalam dari kerja sukarela. Relawan PMI adalah simbol ketulusan yang berdiri di garda terdepan saat bencana menerjang, dari gempa bumi hingga banjir bandang. Namun, apakah cukup hanya berterima kasih kepada mereka setiap tahun? Mari kita ulas lebih dalam.
Cerita di Balik Seragam Merah Putih
Bayangkan, saat orang-orang sibuk menyelamatkan diri dari reruntuhan pascagempa, ada seseorang yang justru berjalan ke arah sebaliknya—menuju bahaya. Mereka adalah relawan PMI. Dengan seragam merah putih dan tas medis di punggung, mereka membawa harapan bagi mereka yang terjebak dalam kegelapan.
Relawan PMI tidak hanya hadir saat bencana besar melanda. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya donor darah, membantu di posko kesehatan, hingga menjadi teman bagi para pengungsi. Seperti cerita Ani, seorang relawan di Lombok yang mengorbankan waktu bersama keluarganya untuk mendampingi korban gempa. "Bukan soal pujian, ini soal kemanusiaan," katanya.
Tantangan di Lapangan: Dari Risiko Hingga Minimnya Dukungan
Namun, di balik dedikasi luar biasa itu, relawan PMI sering menghadapi berbagai tantangan. Risiko kesehatan, trauma psikologis, hingga kurangnya perlengkapan adalah beberapa di antaranya. Bahkan, ada relawan yang harus menggunakan dana pribadi untuk transportasi karena minimnya anggaran.
Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: sejauh mana dukungan kita sebagai masyarakat dan pemerintah terhadap mereka? Banyak yang beranggapan bahwa menjadi relawan adalah panggilan hati, sehingga kebutuhan mereka sering diabaikan. Namun, panggilan hati tidak seharusnya menjadi alasan untuk menyepelekan kesejahteraan mereka.
Pentingnya Edukasi Publik tentang Relawan
Salah satu langkah penting adalah meningkatkan edukasi publik tentang peran relawan PMI. Banyak orang masih belum memahami betapa kompleksnya tugas mereka. Mereka bukan sekadar "orang baik" yang membantu tanpa pamrih, tetapi juga individu terlatih yang harus menguasai teknik pertolongan pertama, manajemen bencana, hingga komunikasi krisis.
Sayangnya, kesadaran ini sering kali muncul hanya saat bencana terjadi. Kita terpukau oleh aksi mereka saat berita bencana muncul di layar televisi, tetapi melupakan kontribusi mereka saat keadaan kembali normal. Mengapa? Karena perhatian kita sebagai masyarakat cenderung reaktif, bukan preventif.