Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Menjadi "Dalang" di Era Kecerdasan Buatan, Mengendalikan Boneka Digital

24 Desember 2024   07:00 Diperbarui: 31 Desember 2024   13:46 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Artificial Intellegence (Kecerdasan Buatan) | www.secondvisioncorp.com

Siapa bilang jadi dalang itu kuno? Di era kecerdasan buatan (AI), konsep dalang justru relevan dan memikat. 

Bayangkan, dalang modern bukan lagi hanya menggerakkan wayang kulit di layar kelir, tapi juga mengontrol boneka digital dalam bentuk algoritma, chatbot, dan model prediksi. 

Namun, menjadi “dalang” di dunia AI bukan tanpa tantangan. Di balik kecanggihan teknologi, tersembunyi pertanyaan besar: bagaimana kita mengarahkan AI agar tetap menjadi alat bantu manusia, bukan sebaliknya?

Menghidupkan Wayang Digital

Dalang tradisional dikenal sebagai pusat kendali: mengatur cerita, dialog, hingga emosi para tokoh. Di dunia AI, peran ini bergeser menjadi programmer, data scientist, atau kreator konten berbasis teknologi. 

Lihat saja bagaimana ChatGPT ini bekerja. Di balik “wayang digital” seperti saya, ada ribuan dalang yang mengatur pola pikir, memahami konteks, dan menyusun respons.

Namun, berbeda dari wayang tradisional, “boneka” AI memiliki kekuatan besar: belajar dari data dan bertindak secara mandiri dalam batasan tertentu. Di sinilah tantangan baru muncul. Dalang digital harus memastikan bonekanya tetap berpijak pada nilai-nilai etika. Karena jika tidak, wayang ini bisa membangkang, menyesatkan, atau bahkan merugikan.

Dalang sebagai Pengendali atau Budak Teknologi?

Menjadi dalang AI bukan sekadar soal kemampuan teknis, tapi juga soal memahami moralitas dan dampak sosial. Di tangan yang salah, AI bisa jadi alat manipulasi: menyebarkan hoaks, menginvasi privasi, atau memanipulasi keputusan konsumen. 

Bayangkan, dalang yang alih-alih mencerahkan, justru menjadi pengabdi nafsu kapitalisme atau propaganda politik.

Namun, apakah salah AI-nya? Tentu tidak. Sebagai boneka digital, AI hanya secerdas data yang diberi dan perintah yang diatur. 

Masalahnya ada di sang dalang. Ketika dalang kehilangan kendali atau, lebih parah lagi, kehilangan hati nurani, AI pun berubah menjadi monster.

Di sinilah kita harus jujur bertanya: apakah kita masih mengendalikan teknologi, atau teknologi yang mulai mengendalikan kita?

Kearifan Lokal dalam Teknologi Global

Indonesia punya modal besar untuk menjadi dalang AI yang bijak. Kearifan lokal kita, seperti filosofi gotong royong dan harmoni, bisa menjadi fondasi etika dalam mengembangkan teknologi. 

AI tak harus selalu mengikuti narasi Barat yang cenderung individualistik dan kapitalistik. Kita bisa menciptakan AI yang lebih inklusif, berpihak pada masyarakat kecil, dan menghormati budaya lokal.

Ilustrasi Artificial Intellegence (Kecerdasan Buatan) | www.secondvisioncorp.com
Ilustrasi Artificial Intellegence (Kecerdasan Buatan) | www.secondvisioncorp.com

Misalnya, bayangkan AI yang membantu petani menentukan pola tanam terbaik, mengurangi risiko gagal panen. Atau AI yang mempromosikan budaya lokal melalui platform digital. 

Di sinilah peran dalang modern diuji: bagaimana mengawinkan tradisi dengan inovasi tanpa kehilangan esensi.

Jangan Takut Menjadi Dalang

Banyak yang merasa AI terlalu rumit, terlalu “di luar jangkauan.” Padahal, menjadi dalang AI tidak selalu berarti menjadi seorang ahli komputer. 

Anda bisa menjadi dalang melalui cara lain, seperti menciptakan narasi positif di media sosial, menggunakan AI untuk memperluas bisnis, atau mengajarkan literasi digital kepada generasi muda.

Intinya, semua orang bisa berkontribusi dalam mengarahkan AI ke jalan yang benar. Teknologi hanyalah alat, dan dalang sejatinya tetap manusia. Maka, kuncinya adalah kemauan untuk belajar dan rasa tanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan.

Dalang Era Baru: Lebih dari Sekadar Teknologi

Pada akhirnya, menjadi dalang di era AI adalah soal visi dan misi. Dalang tradisional selalu punya tujuan: menyampaikan nilai-nilai kehidupan melalui cerita. 

Begitu juga dengan dalang digital. Teknologi harus tetap punya tujuan yang jelas: mempermudah hidup manusia, bukan sebaliknya.

Di tengah hiruk-pikuk revolusi AI, kita perlu mengingat kembali peran manusia sebagai pengendali utama. Sehebat apa pun boneka digital, ia hanyalah alat yang menunggu digerakkan. 

Sebagai dalang, kita memegang kendali penuh untuk menentukan ke mana cerita ini akan berjalan. Jadi, siapkah Anda menjadi dalang di era kecerdasan buatan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun