Pemerintah kita memang tak pernah kehabisan ide dalam mencari cara untuk menambah pundi-pundi negara. Salah satu langkah teranyar yang bikin masyarakat sedikit mengernyitkan dahi adalah rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Angka ini bukan sekadar naik dari 10 persen, tetapi juga mengundang banyak pertanyaan: Apakah ini hanya untuk barang-barang mewah, atau semua barang dan jasa akan kena imbasnya? Yuk, kita bahas santai tapi serius soal ini.
PPN: Dari 10 ke 12 Persen, Kok Bisa?
PPN adalah salah satu tulang punggung penerimaan negara. Setiap kali kita beli barang atau jasa, pemerintah ‘numpang lewat’ dengan potongan sekian persen. Selama bertahun-tahun, tarif PPN di Indonesia bertahan di angka 10 persen. Namun, sejak tahun 2022, melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif ini mulai dinaikkan secara bertahap. Tujuannya? Tentu saja meningkatkan penerimaan pajak dan menutupi kebutuhan belanja negara yang terus meningkat.
Kini, rencana menaikkan PPN menjadi 12 persen mulai menjadi sorotan. Ada yang bilang ini untuk mengejar standar internasional, di mana rata-rata tarif PPN dunia berkisar di angka 15 persen. Namun, pertanyaannya: apakah kenaikan ini akan menyasar semua barang dan jasa, atau hanya yang masuk kategori barang mewah?
Barang Mewah: Definisi yang Kerap Bias
Ketika mendengar istilah "barang mewah," pikiran kita langsung melayang ke mobil sport berkilauan, jam tangan seharga rumah, atau tas bermerek yang harganya setara DP apartemen. Namun, dalam konteks perpajakan, definisi barang mewah sering kali lebih luas. Misalnya, televisi ukuran besar, AC, atau bahkan sepatu dengan harga tertentu bisa saja masuk kategori barang mewah.
Di sinilah sering terjadi perdebatan. Apakah barang yang sudah jadi kebutuhan masyarakat urban, seperti smartphone atau laptop, juga pantas dikenakan pajak lebih tinggi? Apalagi, di era digital seperti sekarang, barang-barang tersebut lebih terasa sebagai kebutuhan pokok daripada barang mewah.
Dampak Kenaikan PPN: Tidak Sesederhana Angka
Menaikkan PPN, meski terlihat kecil dari 10 ke 12 persen, sebenarnya punya dampak yang luas. Pertama, jelas harga barang dan jasa akan naik. Konsumen akan merasakan efek domino dari kenaikan ini, terutama untuk barang yang sudah termasuk dalam kategori kebutuhan sehari-hari. Misalnya, jika tarif PPN baru berlaku untuk bahan pokok tertentu, masyarakat kelas menengah ke bawah bisa semakin terbebani.
Di sisi lain, bagi pelaku usaha, kenaikan ini juga bisa menjadi tantangan. Biaya produksi dan distribusi yang meningkat bisa memengaruhi daya saing produk lokal di pasar global. Padahal, Indonesia sedang gencar-gencarnya mendorong ekspor dan produk UMKM.
Namun, dari perspektif pemerintah, kenaikan ini dianggap sebagai langkah logis untuk memperkuat pendapatan negara. Dengan PPN 12 persen, potensi penerimaan pajak bisa meningkat signifikan. Uangnya, katanya, akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Tapi, mari kita jujur: berapa persen masyarakat yang benar-benar percaya bahwa semua uang pajak itu akan dikelola dengan transparan?
Solusi atau Beban Baru?
Kritik terhadap kenaikan PPN bukan hanya soal tarifnya, tetapi juga mekanismenya. Ada usulan agar PPN 12 persen hanya diberlakukan untuk barang dan jasa yang benar-benar masuk kategori mewah. Barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan UMKM seharusnya tetap dikenai tarif lebih rendah, atau bahkan dibebaskan dari PPN.
Pendekatan seperti ini sudah diterapkan di beberapa negara. Misalnya, di Inggris, ada konsep zero-rated VAT untuk barang kebutuhan pokok, seperti makanan dan obat-obatan. Sementara barang mewah seperti perhiasan atau mobil sport dikenai tarif pajak yang lebih tinggi.
Indonesia sebenarnya juga sudah punya skema serupa, yaitu Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Namun, jika PPN naik menjadi 12 persen dan berlaku untuk semua barang, maka PPnBM bisa kehilangan relevansinya. Ini karena barang yang sebelumnya dikenai PPnBM juga akan terimbas kenaikan PPN, menciptakan beban ganda bagi konsumen.
Tapi Tetap Optimis
Di satu sisi, kenaikan PPN ini mungkin tak terhindarkan jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan pajak. Tetapi, kebijakan ini harus diimbangi dengan perlindungan terhadap masyarakat kecil. Pemberian subsidi, pembebasan pajak untuk barang-barang tertentu, serta pengawasan yang ketat terhadap penggunaan dana pajak adalah langkah-langkah yang wajib dilakukan.
Sebagai masyarakat, kita juga harus lebih kritis dalam melihat kebijakan pajak. Apakah benar kenaikan ini akan memberikan manfaat jangka panjang bagi pembangunan negara, atau justru menjadi beban baru yang makin memperlebar kesenjangan ekonomi?
Pada akhirnya, PPN 12 persen bukan hanya soal angka. Ini adalah cermin dari bagaimana pemerintah mengelola keuangan negara, serta bagaimana kita sebagai warga negara menuntut akuntabilitas. Jadi, mari kita terus mengawasi, mengkritisi, dan berharap bahwa setiap rupiah yang kita bayar dalam bentuk pajak benar-benar kembali dalam bentuk manfaat untuk semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H