Ada kabar baru yang menggelitik telinga para guru di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag). Sertifikasi guru yang dulunya membutuhkan perjuangan panjang lewat Pendidikan Profesi Guru (PPG) kini menawarkan jalan pintas berupa seleksi portofolio. Konsep ini digadang-gadang lebih hemat, lebih efisien, dan---tentu saja---lebih ramah untuk para guru yang sudah senior. Tapi benarkah langkah ini solusi yang ideal? Mari kita bedah bersama.
PPG: Perjalanan yang Panjang dan Mahal
Sebelum kita berbicara soal format baru, mari mundur sejenak. Sertifikasi guru lewat jalur PPG bukanlah proses sederhana. Guru harus melalui pendidikan selama satu hingga dua semester, lengkap dengan biaya yang tak sedikit. Untuk guru honorer, beban ini terasa semakin berat karena seringkali harus meninggalkan tugas mengajar demi mengikuti program.
Namun, di sisi lain, PPG menawarkan pengalaman belajar yang mendalam, melatih guru untuk menguasai materi, pedagogi, dan teknologi pendidikan. Sertifikasi ini bukan hanya soal dokumen, tetapi juga soal kompetensi nyata di lapangan.
Portofolio: Efisien, tapi Apakah Efektif?
Kemenag kini menawarkan seleksi portofolio sebagai jalur alternatif. Guru cukup mengunggah dokumen yang menunjukkan pengalaman mengajar, seperti sertifikat pelatihan, dokumen penelitian, atau laporan kegiatan pembelajaran. Portofolio ini akan dinilai untuk menentukan apakah guru layak mendapatkan sertifikasi.
Di atas kertas, format ini terdengar menjanjikan. Guru senior yang sudah puluhan tahun mengajar tidak perlu lagi repot mengikuti PPG. Anggaran pemerintah juga bisa dihemat, karena tidak perlu lagi membiayai pelaksanaan PPG yang mahal.
Namun, ada pertanyaan besar: apakah seleksi portofolio benar-benar mampu menggambarkan kualitas seorang guru? Dokumen seringkali tidak mencerminkan kemampuan nyata di kelas. Seorang guru mungkin memiliki portofolio gemilang, tetapi apakah ia mampu menyampaikan pelajaran dengan cara yang menarik dan efektif bagi siswa?
Efisiensi Bukan Segalanya
Format baru ini memang lebih efisien, tetapi efisiensi tidak selalu berbanding lurus dengan efektivitas. Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Jika proses sertifikasi hanya fokus pada aspek administrasi tanpa memastikan kompetensi yang terukur, dampaknya bisa fatal.
Sertifikasi bukan sekadar syarat administratif untuk naik golongan atau mendapatkan tunjangan. Lebih dari itu, sertifikasi adalah upaya untuk memastikan bahwa siswa di seluruh Indonesia mendapatkan pendidikan dari guru yang kompeten.
Alternatif: Kombinasi Portofolio dan Praktik
Agar tidak terjebak dalam debat antara efisiensi dan efektivitas, mungkin ada jalan tengah yang bisa diambil. Seleksi portofolio bisa dijadikan langkah awal, tetapi harus dilengkapi dengan tahap uji praktik mengajar. Dalam uji praktik ini, guru bisa menunjukkan kemampuan mengelola kelas, menyampaikan materi, hingga menggunakan teknologi dalam pembelajaran.
Model ini tidak hanya memastikan bahwa guru memiliki pengalaman yang cukup, tetapi juga kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Dengan kombinasi ini, Kemenag bisa tetap menghemat anggaran tanpa mengorbankan kualitas pendidikan.
Konteks Zaman Digital
Kritik lain yang perlu kita soroti adalah relevansi sertifikasi ini dengan tantangan pendidikan di era digital. Guru zaman sekarang tidak cukup hanya menguasai materi, tetapi juga harus mampu menggunakan teknologi untuk mendukung pembelajaran. Apakah seleksi portofolio mampu mengukur kemampuan ini?
Bayangkan jika ada guru dengan pengalaman panjang tetapi gagap teknologi. Siswa yang hidup di era serba digital membutuhkan guru yang bisa menggunakan media interaktif, platform pembelajaran online, hingga alat analitik untuk mengevaluasi hasil belajar. Jika sertifikasi hanya berdasarkan dokumen masa lalu, bagaimana kita memastikan guru tersebut siap menghadapi tantangan masa depan?
Format Baru, Tantangan Baru
Seleksi portofolio sebagai format baru sertifikasi guru Kemenag memang membawa angin segar, terutama dari segi efisiensi waktu dan biaya. Namun, format ini harus dipandang dengan kritis. Efisiensi administrasi tidak boleh mengorbankan kualitas pendidikan yang menjadi hak siswa.
Untuk memastikan program ini berjalan efektif, Kemenag perlu menyempurnakan sistemnya, misalnya dengan menambahkan tahap uji praktik atau pelatihan khusus teknologi pendidikan. Pendidikan bukan soal siapa yang cepat selesai, tetapi siapa yang mampu memberi dampak terbaik bagi masa depan.
Jadi, sebelum kita bersorak-sorai atas keefisienan format baru ini, mari kita tanyakan kembali: Apakah sertifikasi ini benar-benar memastikan bahwa guru kita siap menjadi pilar pendidikan bangsa? Jangan sampai efisiensi menjadi jebakan yang malah menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H