Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pasang Surut Sebuah Pergerakan

4 Desember 2024   04:53 Diperbarui: 4 Desember 2024   07:13 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasang Surut Sebuah Pergerakan | www.pcnucilacap.com

Malam itu, di aula berdebu yang dulu sering riuh oleh suara rapat, lima orang duduk melingkar. Aula itu milik sebuah organisasi pemuda bernama "Muda Beraksi." Organisasi ini pernah berjaya, menjadi penggerak perubahan di kampung mereka. Tapi kini, tinggal sisa-sisa saja.

"Jadi, kita bubar saja?" tanya Dani, si sekretaris dengan wajah lelah. Ia menatap teman-temannya yang diam membisu.

Ayu, ketua mereka, langsung menggeleng keras. "Bubar? Tidak, Dan. Organisasi ini sudah seperti rumah buatku. Tapi jujur, aku bingung harus bagaimana."

Sejenak, mereka terdiam. Aula itu terasa dingin meski kipas angin tua berputar lambat. Di sudut ruangan, papan pengumuman yang penuh foto-foto kegiatan masa lalu berdiri seperti monumen nostalgia.

"Mungkin ini memang waktunya berhenti," sahut Raka, bendahara yang paling praktis di antara mereka. "Anggotanya sudah kabur, donatur juga malas bantu. Kita ini seperti kapal yang kehilangan arah."

Namun, Rani, anggota baru yang energik, tiba-tiba berbicara. "Kalau boleh jujur, masalah kita itu bukan kurang orang atau uang. Masalahnya, kita kehilangan semangat. Dulu kalian kerja keras karena percaya sama visi organisasi ini. Sekarang, apa visi kita masih sama?"

Ucapan Rani seperti petir kecil yang menyambar. Ayu teringat saat pertama kali bergabung. Saat itu, mereka bermimpi membuat kampung mereka lebih baik: edukasi untuk anak-anak, pelatihan kerja untuk pemuda, dan pagelaran seni sebagai ruang ekspresi. Tapi seiring waktu, masalah internal mulai muncul---persaingan kecil, konflik ego, hingga kurangnya komitmen anggota.

"Aku rasa Rani ada benarnya," Ayu akhirnya angkat bicara. "Kita terlalu sibuk mengeluh. Padahal, kalau dipikir-pikir, kita masih punya kesempatan memperbaiki semuanya."

"Caranya?" tanya Dani skeptis.

"Dengan kembali ke akar," jawab Ayu tegas. "Kita mulai kecil lagi. Fokus pada satu tujuan dulu, tapi benar-benar serius. Misalnya, program perpustakaan keliling yang dulu selalu berhasil."

Rani langsung menyambut. "Betul, Kak Ayu. Aku lihat anak-anak di kampung ini masih haus baca buku. Kalau kita serius jalankan lagi, pasti mereka antusias."

Namun, Raka tetap ragu. "Tapi siapa yang akan mendanai? Kita tidak bisa terus mengandalkan donatur."

"Apa salahnya kita mulai dari iuran kecil dulu?" Ayu menjawab cepat. "Atau cari sponsor lokal. Tidak harus besar, yang penting ada langkah nyata."

Diskusi malam itu berakhir dengan sebuah keputusan penting: mereka tidak akan membubarkan organisasi, tapi akan mempersempit fokus, membangun kembali kepercayaan, dan merawat apa yang tersisa.

Beberapa minggu kemudian, perpustakaan keliling "Muda Beraksi" kembali hidup. Dengan modal buku-buku bekas dari sumbangan warga dan rak kayu yang mereka buat sendiri, mereka keliling kampung, berhenti di lapangan atau di depan warung kopi. Anak-anak berkerumun, membaca dengan mata berbinar.

Lambat laun, nama organisasi itu kembali harum. Orang-orang yang dulu meninggalkan, mulai kembali. Bahkan, donatur kecil-kecilan pun mulai berdatangan, menawarkan bantuan untuk program lainnya.

Namun, perjalanan itu tidak selalu mulus. Ada saat mereka kelelahan, konflik kecil kembali muncul, dan semangat beberapa anggota sempat goyah. Tapi kali ini, mereka punya pelajaran penting: pergerakan tidak pernah sempurna, tapi harus terus dijaga.

"Menyelamatkan organisasi ini seperti menjaga api kecil," ujar Ayu suatu hari. "Kadang anginnya kencang, apinya hampir padam. Tapi kalau kita sabar dan terus meniup dengan hati-hati, api itu akan menyala lagi."

Rani tersenyum mendengar itu. "Jadi kita ini seperti penunggu api, ya?"

"Bukan hanya penunggu," Ayu tertawa kecil. "Kita juga penghidup. Karena selama api itu menyala, kita tahu masih ada harapan untuk menerangi jalan orang lain."

Dan begitu, sisa-sisa pergerakan yang hampir lenyap itu kembali menemukan bentuknya. Tidak sempurna, tapi cukup untuk menjadi cahaya kecil yang menghangatkan kampung mereka. Sebuah bukti bahwa merawat organisasi bukan hanya soal komitmen, tapi juga soal cinta yang tidak pernah menyerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun