Malam itu, di aula berdebu yang dulu sering riuh oleh suara rapat, lima orang duduk melingkar. Aula itu milik sebuah organisasi pemuda bernama "Muda Beraksi." Organisasi ini pernah berjaya, menjadi penggerak perubahan di kampung mereka. Tapi kini, tinggal sisa-sisa saja.
"Jadi, kita bubar saja?" tanya Dani, si sekretaris dengan wajah lelah. Ia menatap teman-temannya yang diam membisu.
Ayu, ketua mereka, langsung menggeleng keras. "Bubar? Tidak, Dan. Organisasi ini sudah seperti rumah buatku. Tapi jujur, aku bingung harus bagaimana."
Sejenak, mereka terdiam. Aula itu terasa dingin meski kipas angin tua berputar lambat. Di sudut ruangan, papan pengumuman yang penuh foto-foto kegiatan masa lalu berdiri seperti monumen nostalgia.
"Mungkin ini memang waktunya berhenti," sahut Raka, bendahara yang paling praktis di antara mereka. "Anggotanya sudah kabur, donatur juga malas bantu. Kita ini seperti kapal yang kehilangan arah."
Namun, Rani, anggota baru yang energik, tiba-tiba berbicara. "Kalau boleh jujur, masalah kita itu bukan kurang orang atau uang. Masalahnya, kita kehilangan semangat. Dulu kalian kerja keras karena percaya sama visi organisasi ini. Sekarang, apa visi kita masih sama?"
Ucapan Rani seperti petir kecil yang menyambar. Ayu teringat saat pertama kali bergabung. Saat itu, mereka bermimpi membuat kampung mereka lebih baik: edukasi untuk anak-anak, pelatihan kerja untuk pemuda, dan pagelaran seni sebagai ruang ekspresi. Tapi seiring waktu, masalah internal mulai muncul---persaingan kecil, konflik ego, hingga kurangnya komitmen anggota.
"Aku rasa Rani ada benarnya," Ayu akhirnya angkat bicara. "Kita terlalu sibuk mengeluh. Padahal, kalau dipikir-pikir, kita masih punya kesempatan memperbaiki semuanya."
"Caranya?" tanya Dani skeptis.
"Dengan kembali ke akar," jawab Ayu tegas. "Kita mulai kecil lagi. Fokus pada satu tujuan dulu, tapi benar-benar serius. Misalnya, program perpustakaan keliling yang dulu selalu berhasil."