Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Utak-Atik Dulu, Panggil Tukang Kemudian

3 Desember 2024   16:14 Diperbarui: 3 Desember 2024   16:18 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang Servis Mesin Cuci | www.nakita.grid.id

Ada satu kebiasaan yang sering kita warisi dari zaman orang tua dulu: coba utak-atik dulu, panggil tukang belakangan. Kebiasaan ini memang punya dua sisi mata uang: di satu sisi hemat, tapi di sisi lain, kalau salah langkah, bisa jadi lebih mahal. Saya baru saja merasakan sisi keduanya ketika mesin cuci di rumah mogok.

Mesin Cuci Mogok dan Ego DIY (Do It Yourself)

Awalnya, mesin cuci kami mulai rewel. Airnya tidak mau keluar, dan drum-nya tidak mau berputar. Daripada buru-buru memanggil tukang servis, saya pikir, "Ah, ini pasti cuma masalah sepele. Saya bisa atasi sendiri." Toh, internet penuh dengan video tutorial, dan obeng di rumah juga banyak.

Dengan percaya diri yang---saya sadari kemudian---terlalu berlebihan, saya membuka tutup belakang mesin cuci. Dalam hati, saya merasa seperti teknisi profesional. Ternyata, di dalam mesin cuci itu lebih rumit daripada yang saya bayangkan. Kabel berseliweran, pipa kecil menyambung ke mana-mana, dan ada bagian-bagian yang bahkan namanya saya tidak tahu.

Setelah tiga jam, keringat bercucuran, dan beberapa baut hilang entah ke mana, saya akhirnya menemukan pipa kecil yang tersumbat. Dengan hati-hati saya bersihkan. Setelah semuanya dipasang kembali, saya mencoba menyalakan mesin cuci. Hasilnya? Mesin cuci tetap diam, hanya memberi bunyi beep beep seolah mengejek.

Panggilan Darurat ke Tukang Servis

Akhirnya, dengan berat hati, saya menghubungi tukang servis langganan, Mas Joko. Dia datang dengan tas peralatannya yang lengkap dan senyum khas "sudah sering lihat yang seperti ini." Dalam waktu kurang dari satu jam, dia membongkar, membersihkan filter, mengganti komponen yang rusak, dan voila! Mesin cuci kembali berputar.

Mas Joko juga sempat bercanda, "Ini sih biasa, Mas. Kalau bapak-bapak utak-atik dulu, biasanya malah makin parah." Saya hanya tertawa malu. Lebih malu lagi saat tahu bahwa kerusakan yang saya coba perbaiki tadi sebenarnya sederhana---dan bisa diselesaikan lebih cepat kalau saya langsung memanggil ahlinya.

Bukan Kasus Pertama

Ini bukan pertama kalinya saya jadi "korban" ego utak-atik. Beberapa bulan lalu, rantai sepeda anak saya putus. Saya berpikir, daripada keluar uang untuk bengkel, lebih baik coba perbaiki sendiri. Berbekal kunci pas dan tutorial internet, saya berusaha memasang rantai itu kembali. Tapi alih-alih berhasil, rantai justru makin kusut, dan roda belakang ikut tergores. Akhirnya, tukang sepeda juga yang menyelesaikan masalah.

Hal yang sama terjadi pada kipas angin. Berisik, katanya cuma butuh dilumasi. Saya bongkar, lumasi, dan pasang lagi. Tapi entah bagaimana, kipas itu malah berputar miring, seperti helikopter mau terbang. Lagi-lagi tukang elektronik jadi solusi terakhir.

Pelajaran dari Kebiasaan "Utak-Atik Dulu"

Dari semua pengalaman ini, ada beberapa pelajaran yang bisa saya tarik:

  1. Tidak semua masalah bisa diselesaikan sendiri. Kadang, lebih bijak memanggil tukang daripada mencoba dan malah memperburuk keadaan.
  2. Menghargai keahlian orang lain itu penting. Tukang servis bukan sekadar orang yang kita panggil saat mentok, tapi juga ahli yang punya pengalaman bertahun-tahun.
  3. DIY ada batasnya. Memperbaiki kerusakan kecil seperti mengganti bohlam atau membersihkan filter kipas angin mungkin masih aman. Tapi kalau sudah melibatkan kabel, mesin, atau pipa? Serahkan pada ahlinya.

Utak-Atik sebagai Proses Belajar

Namun, saya juga tidak menyesali kebiasaan utak-atik ini sepenuhnya. Setidaknya, saya jadi lebih mengenal barang-barang di rumah dan tahu bagian mana yang perlu diperhatikan. Utak-atik juga memberi saya pengalaman langsung, meski sering berujung pada kesimpulan bahwa tukang tetap lebih andal.

Kesimpulannya, utak-atik itu tidak salah. Tapi, tahu kapan harus berhenti dan menyerah pada ahlinya adalah bentuk kebijaksanaan. Sebab, pada akhirnya, tidak ada yang lebih mahal daripada kesalahan kecil yang dibuat oleh orang yang terlalu percaya diri. Jadi, lain kali ada mesin yang mogok, mungkin saya akan tetap utak-atik dulu. Tapi begitu mentok, saya tahu siapa yang harus dihubungi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun