Hal yang sama terjadi pada kipas angin. Berisik, katanya cuma butuh dilumasi. Saya bongkar, lumasi, dan pasang lagi. Tapi entah bagaimana, kipas itu malah berputar miring, seperti helikopter mau terbang. Lagi-lagi tukang elektronik jadi solusi terakhir.
Pelajaran dari Kebiasaan "Utak-Atik Dulu"
Dari semua pengalaman ini, ada beberapa pelajaran yang bisa saya tarik:
- Tidak semua masalah bisa diselesaikan sendiri. Kadang, lebih bijak memanggil tukang daripada mencoba dan malah memperburuk keadaan.
- Menghargai keahlian orang lain itu penting. Tukang servis bukan sekadar orang yang kita panggil saat mentok, tapi juga ahli yang punya pengalaman bertahun-tahun.
- DIY ada batasnya. Memperbaiki kerusakan kecil seperti mengganti bohlam atau membersihkan filter kipas angin mungkin masih aman. Tapi kalau sudah melibatkan kabel, mesin, atau pipa? Serahkan pada ahlinya.
Utak-Atik sebagai Proses Belajar
Namun, saya juga tidak menyesali kebiasaan utak-atik ini sepenuhnya. Setidaknya, saya jadi lebih mengenal barang-barang di rumah dan tahu bagian mana yang perlu diperhatikan. Utak-atik juga memberi saya pengalaman langsung, meski sering berujung pada kesimpulan bahwa tukang tetap lebih andal.
Kesimpulannya, utak-atik itu tidak salah. Tapi, tahu kapan harus berhenti dan menyerah pada ahlinya adalah bentuk kebijaksanaan. Sebab, pada akhirnya, tidak ada yang lebih mahal daripada kesalahan kecil yang dibuat oleh orang yang terlalu percaya diri. Jadi, lain kali ada mesin yang mogok, mungkin saya akan tetap utak-atik dulu. Tapi begitu mentok, saya tahu siapa yang harus dihubungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H