Dulu, nenek saya sering bercerita bagaimana kakeknya, seorang petani yang tekun, mampu "membaca" alam. Ia tak pernah memegang ponsel, apalagi aplikasi cuaca, tetapi selalu tahu kapan hujan akan turun, kapan tanah siap ditanami, atau kapan waktu terbaik untuk memanen. “Itu semua karena Pranoto Mongso,” kata nenek, sembari menatap sawah di kejauhan.
Pranoto Mongso, bagi masyarakat agraris tradisional, adalah harmoni alami. Ia bukan sekadar sistem penanggalan, tetapi cara hidup yang menghubungkan manusia dengan alam. Di era sekarang, dengan segala teknologi canggih dan perubahan iklim yang tak terduga, muncul pertanyaan penting: Masih bisakah petani menjaga harmoni ini?
Apa Itu Pranoto Mongso?
Bagi yang belum akrab, Pranoto Mongso adalah sistem penanggalan tradisional Jawa yang membagi satu tahun menjadi 12 atau 13 musim (mongso). Setiap mongso memiliki ciri khasnya, seperti cuaca, pola angin, hingga kelembapan tanah. Mongso kapat, misalnya, biasanya berlangsung pada Oktober-November, dianggap sebagai waktu terbaik untuk mulai menanam padi karena hujan mulai stabil. Sementara itu, mongso kasanga di Maret-April adalah musim peralihan yang menuntut petani lebih berhati-hati.
Sistem ini tidak dibuat sembarangan. Ia lahir dari observasi panjang nenek moyang kita terhadap alam. Dengan Pranoto Mongso, para petani dulu mampu menjaga siklus tanam-panen yang selaras dengan lingkungan, tanpa merusak tanah atau menguras sumber daya.
Namun, zaman terus bergerak maju, dan tantangan pun semakin rumit.
Tantangan di Era Modern
Di zaman sekarang, Pranoto Mongso menghadapi dua musuh besar: perubahan iklim dan teknologi modern.
Perubahan Iklim
Dunia kita sekarang tidak lagi seperti dulu. Musim hujan dan kemarau yang dulu bisa diprediksi dengan mudah kini berubah-ubah. Kadang hujan deras datang di saat seharusnya kemarau, atau sebaliknya. Pola cuaca yang kacau ini membuat Pranoto Mongso, yang mengandalkan keteraturan alam, sering kali tidak sesuai lagi dengan kenyataan.Teknologi Modern
Teknologi memberikan kemudahan luar biasa bagi petani. Aplikasi cuaca berbasis satelit mampu memprediksi curah hujan hingga ke detail jam tertentu. Mesin-mesin modern membantu mengolah lahan dengan lebih cepat dan efisien. Dengan kemudahan seperti ini, banyak yang merasa Pranoto Mongso sudah tidak relevan. “Untuk apa mengandalkan kalender tradisional kalau ponsel saya bisa memberi info cuaca dengan lebih akurat?” begitu kata sebagian petani muda.
Namun, apakah itu berarti Pranoto Mongso sudah kehilangan nilainya?
Harmoni dengan Alam: Pelajaran dari Pranoto Mongso
Di tengah segala tantangan modern, ada sesuatu yang tak bisa diberikan teknologi: koneksi dengan alam.
Pranoto Mongso bukan hanya soal kapan menanam atau memanen, tetapi soal bagaimana memahami siklus kehidupan di sekitar kita. Ia mengajarkan petani untuk mengenali tanda-tanda alam, dari arah angin, suara burung, hingga kondisi tanah. Filosofi ini penting, terutama di era perubahan iklim, di mana keberlanjutan menjadi kunci.
Jika kita hanya mengandalkan teknologi tanpa memperhatikan alam, kita berisiko kehilangan harmoni itu. Ambil contoh penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan. Teknologi mungkin memberi hasil cepat, tetapi tanpa pengamatan yang bijak ala Pranoto Mongso, tanah bisa menjadi tandus dan ekosistem rusak.
Menggabungkan Tradisi dan Teknologi
Daripada membuang Pranoto Mongso, mengapa tidak memadukannya dengan teknologi modern? Kombinasi ini bisa menciptakan pendekatan baru yang lebih adaptif.
Bayangkan ini: sebuah aplikasi yang tidak hanya memprediksi cuaca, tetapi juga mengintegrasikan prinsip-prinsip Pranoto Mongso. Petani bisa mendapatkan info teknologi sekaligus belajar bagaimana menjaga keselarasan dengan lingkungan. Misalnya, aplikasi memberi tahu kapan hujan deras akan datang, tetapi juga mengingatkan pentingnya menjaga pola tanam yang ramah lingkungan sesuai filosofi tradisional.
Dengan perpaduan ini, petani tidak hanya mengejar hasil panen, tetapi juga menjaga keberlanjutan untuk generasi mendatang.
Melestarikan Kearifan Lokal
Pranoto Mongso juga memiliki nilai budaya yang tak tergantikan. Ia adalah warisan nenek moyang kita, cerminan kebijaksanaan lokal yang seharusnya tidak dilupakan. Dengan melestarikan sistem ini, kita tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menunjukkan bahwa solusi masa depan bisa datang dari masa lalu.
Melalui pendidikan dan pelatihan, Pranoto Mongso bisa diajarkan kembali kepada generasi muda. Tidak sebagai pengganti teknologi, tetapi sebagai pelengkap yang memperkuat pemahaman mereka tentang pertanian yang holistik.
Harmoni yang Abadi
Harmoni dengan alam melalui Pranoto Mongso tetap relevan di zaman sekarang, tetapi dalam bentuk yang lebih fleksibel. Sistem ini mungkin tidak lagi menjadi satu-satunya panduan, tetapi tetap memiliki tempat sebagai sumber inspirasi untuk pertanian yang berkelanjutan dan berbasis kearifan lokal.
Di tengah laju teknologi, Pranoto Mongso mengingatkan kita untuk melambat, mendengar, dan belajar dari alam. Karena pada akhirnya, teknologi bisa membantu, tetapi hanya alam yang bisa memberi kehidupan. Jadi, mengapa tidak kita rangkul keduanya? 🌱
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H