Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Petani Muda dan Ketahanan Pangan

24 November 2024   10:25 Diperbarui: 24 November 2024   10:41 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketahanan pangan sering jadi topik hangat di meja-meja diskusi, baik di gedung pemerintah, kampus, hingga warung kopi. Namun, pembicaraan ini seringkali terasa abstrak, jauh dari akar rumput. Padahal, jika bicara ketahanan pangan, kita harus bicara tentang para petani—terutama generasi muda yang, perlahan tapi pasti, makin jarang terlihat di sawah.

Di suatu desa, ada Pak Ahmad, petani sepuh yang sudah bertahun-tahun mengolah tanah. Kini, tubuhnya sudah tidak sekuat dulu, tapi siapa lagi yang akan meneruskan ladang? Anak-anak Pak Ahmad memilih bekerja di kota—lebih menjanjikan, katanya. Fenomena ini bukan cerita fiksi. Data BPS 2023 menunjukkan jumlah petani muda (usia di bawah 35 tahun) hanya sekitar 29% dari total petani di Indonesia. Generasi muda lebih tertarik bekerja di pabrik, kantor, atau bahkan menjadi content creator.

Kenapa Petani Muda Enggan Bertani?

Ada banyak alasan. Pertama, bertani dianggap tidak “keren.” Dalam bayangan banyak orang, petani adalah pekerjaan yang melelahkan, kotor, dan penghasilannya pas-pasan. Kedua, akses terhadap lahan pertanian makin sulit. Harga tanah melonjak, sementara program reforma agraria sering berjalan lambat. Ketiga, minimnya dukungan teknologi dan edukasi membuat bertani terasa “jadul.” Alih-alih traktor canggih atau drone penyemprot pupuk, petani muda lebih sering menghadapi cangkul tua dan sawah yang bergantung pada hujan.

Lalu ada persoalan hasil. Harga jual produk pertanian sering kali tidak sebanding dengan biaya produksi. Ketika panen raya, harga gabah justru anjlok. Ini membuat banyak petani muda berpikir dua kali: kenapa harus bertani kalau hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari?

Ketahanan Pangan dalam Bahaya

Ketahanan pangan tidak sekadar soal cukup atau tidaknya stok beras di gudang Bulog. Ini soal kemampuan bangsa untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Bayangkan jika jumlah petani terus menurun, siapa yang akan menanam padi, sayur, dan buah? Apakah kita akan terus mengandalkan impor? Jika iya, apa jadinya jika negara pengekspor mengalami krisis pangan juga?

Krisis pangan global, seperti yang pernah terjadi selama pandemi COVID-19, memberi kita pelajaran berharga: kemandirian pangan adalah kunci. Namun, tanpa regenerasi petani, kemandirian itu hanya mimpi.

Menciptakan Petani Muda yang Berdaya

Lalu, apa solusinya? Pertama, kita butuh perubahan paradigma. Bertani harus dianggap pekerjaan yang keren dan menjanjikan. Negara bisa belajar dari Jepang atau Belanda, di mana bertani dipadukan dengan teknologi modern. Anak muda di sana tidak malu menjadi petani karena pekerjaan itu bernilai ekonomi tinggi dan punya gengsi.

Kedua, edukasi dan teknologi harus masuk ke desa-desa. Pemerintah dan universitas perlu menciptakan program pelatihan bertani berbasis teknologi. Misalnya, bagaimana menggunakan aplikasi untuk memantau cuaca, mengelola irigasi pintar, atau menjual produk melalui platform digital.

Ketiga, perbaiki rantai distribusi. Selama ini, keuntungan terbesar ada di tangan tengkulak, bukan petani. Dengan akses langsung ke pasar atau koperasi yang dikelola dengan baik, petani muda bisa mendapatkan harga yang lebih adil.

Keempat, permudah akses ke lahan. Program reforma agraria yang nyata dan transparan bisa jadi solusi. Selain itu, pemerintah bisa memberikan insentif pajak bagi petani muda atau subsidi untuk alat-alat pertanian modern.

Masa Depan yang Harus Kita Perjuangkan

Petani muda adalah ujung tombak ketahanan pangan kita di masa depan. Jika mereka diberdayakan, kita tidak hanya memastikan ketersediaan pangan, tapi juga menciptakan lapangan kerja, menjaga keberlanjutan lingkungan, dan memutus rantai kemiskinan.

Namun, ini bukan tugas satu pihak saja. Pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat harus bahu-membahu. Dan untuk kita, mari mulai dengan langkah kecil: hargai hasil tani. Jangan nawar harga sayur di pasar terlalu rendah. Sebab di balik setiap butir nasi yang kita makan, ada keringat dan kerja keras petani—termasuk mereka yang masih muda dan mencoba bertahan di tengah kerasnya dunia.

Ketahanan pangan adalah tanggung jawab bersama. Nasib petani muda adalah masa depan kita semua. Jangan biarkan mereka bermimpi sendiri. Mari bantu mereka mewujudkan mimpi itu—agar sawah-sawah kita tetap hijau dan perut kita tetap kenyang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun