Sebenarnya, regulasi soal hari tenang sudah jelas. Kampanye dilarang. Politik uang? Haram hukumnya. Tapi ya, pelanggaran tetap terjadi. Mengapa? Karena pengawasan sering kali kalah gesit dibandingkan kreatifitas mereka yang ingin menang dengan segala cara.
Bawaslu dan aparat penegak hukum memang bekerja keras, tapi tangan mereka terbatas. Apalagi kalau masyarakatnya sendiri cuek atau, lebih buruk lagi, malah menikmati situasi ini. "Ah, mumpung ada yang kasih gratisan, ambil saja." Kalimat ini sering jadi pembenaran. Tapi ingat, kita sedang bicara tentang masa depan daerah, bukan sekadar soal kebutuhan sehari.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sebagai pemilih, kita sebenarnya punya kekuatan besar. Jangan mau dijebak oleh serangan fajar. Kalau ada yang membagi-bagi uang, laporkan. Jangan takut, karena pelaporan kita bisa jadi langkah awal untuk menghentikan praktik curang ini.
Selain itu, gunakan hari tenang sesuai fungsinya: untuk berpikir. Jangan pilih kandidat hanya karena janji manis atau karena dia pernah datang saat acara pengajian. Lihat rekam jejaknya. Cari tahu visi dan misinya. Kalau perlu, diskusikan dengan keluarga atau teman.
Menenangkan Demokrasi
Hari tenang yang sejatinya adalah waktu refleksi sering kali dirusak oleh mereka yang tak memahami makna demokrasi. Tapi kita tidak harus ikut-ikutan. Demokrasi adalah tentang suara kita yang digunakan dengan bijak, bukan dijual murah.
Jadi, mari kita jadikan Pilkada 2024 sebagai momentum perubahan. Biarkan hari tenang benar-benar tenang. Jangan biarkan kebisingan amplop, sembako, atau ancaman menguasai pilihan kita. Pilihlah dengan hati nurani, karena itu adalah cara terbaik untuk memastikan masa depan yang lebih baik.
Demokrasi adalah kita, dan kitalah yang menentukan apakah hari tenang ini menjadi awal dari perubahan atau sekadar episode lain dari drama politik yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H