Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Hari Tenang yang Justru Membuat Tidak Tenang

23 November 2024   17:00 Diperbarui: 26 November 2024   16:10 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilkada 2024. | KOMPAS/HANDINING

Mulai hari ini memasuki hari tenang dalam Pilkada 2024. Tanggal 24-26 November 2024. Nama yang terdengar begitu damai, seperti sebuah kesempatan bagi kita semua untuk menarik napas, merenung, dan memantapkan pilihan. Tapi sayangnya, harapan tinggal harapan. Realitanya, hari tenang sering kali justru jadi panggung terakhir dari drama politik yang tak pernah gagal bikin kita geleng-geleng kepala.

Hari Tenang, Tapi Kok Malah Gaduh?

Kita mulai dari nama, "hari tenang." Seharusnya, ini waktu untuk menjernihkan pikiran dari semua kebisingan kampanye yang sudah berlangsung berbulan-bulan. Namun, seperti sebuah ironi, hari tenang malah sering jadi masa paling sibuk untuk mereka yang bermain di zona abu-abu.

Misalnya, ada yang tiba-tiba mendadak rajin "sowan" ke rumah warga dengan membawa amplop kecil berisi "tanda kasih." Lalu, ada juga serangan fajar yang dilakukan dini hari, lengkap dengan logistik sembako yang dikemas seolah-olah itu "sedekah mendadak." Bahkan, beberapa laporan menunjukkan ada yang nekat menyebar pesan singkat berisi ancaman halus jika calon tertentu tidak dipilih.

Pertanyaannya, ini tenang dari mana? Yang ada malah gaduh dalam diam.

Serangan Fajar: Tradisi Lama yang Susah Hilang

Fenomena serangan fajar bukan barang baru. Ini semacam tradisi buruk yang terus saja hidup, meski sudah berkali-kali dikecam. Pada masa hari tenang, justru inilah saat para tim sukses (dan tim bayangan) bergerilya. Mereka tahu bahwa pemilih di detik-detik akhir sering kali goyah, apalagi kalau diiming-imingi keuntungan langsung.

Coba bayangkan, sekarung beras, uang Rp100 ribu, atau bahkan voucher belanja mendadak dianggap lebih bernilai daripada visi, misi, dan rekam jejak kandidat. Bukankah ini menunjukkan bahwa masih ada yang memandang demokrasi sebagai transaksi murah?

Padahal, kalau dipikir-pikir, apa yang bisa kita beli dengan amplop itu? Harga kebutuhan pokok naik, inflasi merangkak, dan yang kita terima mungkin cuma cukup untuk bertahan satu-dua hari. Tapi dampaknya? Kita terjebak lima tahun di bawah kepemimpinan yang belum tentu kompeten.

Aturan Ada, Tapi Pengawasan Longgar

Sebenarnya, regulasi soal hari tenang sudah jelas. Kampanye dilarang. Politik uang? Haram hukumnya. Tapi ya, pelanggaran tetap terjadi. Mengapa? Karena pengawasan sering kali kalah gesit dibandingkan kreatifitas mereka yang ingin menang dengan segala cara.

Bawaslu dan aparat penegak hukum memang bekerja keras, tapi tangan mereka terbatas. Apalagi kalau masyarakatnya sendiri cuek atau, lebih buruk lagi, malah menikmati situasi ini. "Ah, mumpung ada yang kasih gratisan, ambil saja." Kalimat ini sering jadi pembenaran. Tapi ingat, kita sedang bicara tentang masa depan daerah, bukan sekadar soal kebutuhan sehari.

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Sebagai pemilih, kita sebenarnya punya kekuatan besar. Jangan mau dijebak oleh serangan fajar. Kalau ada yang membagi-bagi uang, laporkan. Jangan takut, karena pelaporan kita bisa jadi langkah awal untuk menghentikan praktik curang ini.

Selain itu, gunakan hari tenang sesuai fungsinya: untuk berpikir. Jangan pilih kandidat hanya karena janji manis atau karena dia pernah datang saat acara pengajian. Lihat rekam jejaknya. Cari tahu visi dan misinya. Kalau perlu, diskusikan dengan keluarga atau teman.

Menenangkan Demokrasi

Hari tenang yang sejatinya adalah waktu refleksi sering kali dirusak oleh mereka yang tak memahami makna demokrasi. Tapi kita tidak harus ikut-ikutan. Demokrasi adalah tentang suara kita yang digunakan dengan bijak, bukan dijual murah.

Jadi, mari kita jadikan Pilkada 2024 sebagai momentum perubahan. Biarkan hari tenang benar-benar tenang. Jangan biarkan kebisingan amplop, sembako, atau ancaman menguasai pilihan kita. Pilihlah dengan hati nurani, karena itu adalah cara terbaik untuk memastikan masa depan yang lebih baik.

Demokrasi adalah kita, dan kitalah yang menentukan apakah hari tenang ini menjadi awal dari perubahan atau sekadar episode lain dari drama politik yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun