"Permisi Pak, numpang istirahat." Aku menyalami seorang petani tua yang sedang duduk di sebuah saung di tepi sawah.
"Iya Nak silahkan," jawab Pak Petani. Wajahnya tersenyum ramah dengan mata menyempit saat tersenyum.
"Sawah Bapak luas dan sebentar lagi sudah siap panen ya Pak.
"Iya. Dulu ini memang sawah saya, Â tetapi sekarang bukan lagi. Saya hanya buruh tani saja, Nak."
"Maksud Bapak, dulu sawah ini milik Bapak kemudian dijual?"
"Bukan. Saya tidak pernah menjualnya. Jadi sawah 7 hektar ini dulu milik saya. Saya memperkerjakan banyak buruh tani untuk menggarapnya. Boleh dibilang, saya dulu tuan tanah di desa ini."
"Lalu kenapa bisa berpindah tangan, Pak?"
Pak Petani tersebut menghela nafas panjang sebelum menjawab.
"Itu kesalahan saya sendiri. Untuk mengelola sawah begitu luas, dulu saya dibantu oleh orang-orang kepercayaan yang juga buruh tani. Suatu hari salahsatunya menghadap dan berkata kalau ada mafia tanah yang akan merampas sawah ini."
Pak Tani berhenti sejenak untuk meminum air kendi yang tampaknya segar.
"Terus?" Aku tidak sabar mendengarkan ceritanya.
"Dia menyarankan agar surat kepemilikan sawah ini diatasnamakan dia, agar mafia tanah tidak berani merampas sawah. Setelah kondisi aman, nanti akan diserahkan kembali. Kesalahan terbesar saya saat itu adalah menyetujui sarannya."
"Kok tega. Ternyata dia mafianya."
"Akhirnya saya menjadi buruh tani dan dia yang menjadi tuan tanah. Hidup benar-benar seperti roda berputar. Dia tidak tega juga. Buktinya saya masih diangkat sebagai pengawas sawah. Seusia saya ini sudah tidak kuat lagi mencangkul dan turun ke sawah."
"Apa Bapak tidak berusaha mengambil kembali hak Bapak sebagai pemilik yang sah sawah ini?"
"Tidak perlu. Biarkan saja. Mungkin dia lebih membutuhkan sawah ini daripada saya dan keluarga saya. Semua anak-anaknya makan dari sawah ini, karena tidak mampu bekerja di luar. Sementara anak-anak saya sudah bekerja dan tinggal di luar desa, punya pekerjaan yang lebih baik."
"Lalu mengapa Bapak mau menjadi buruh taninya?"
"Sabar saja. Juga biar dia tidak terlalu merasa bersalah karena telah mengambil hak saya." Senyum khasnya menghiasi wajahnya yang sudah keriput.
"Eh siapa nama Masnya?"
"Saya Choiron, Pak".
"Semoga Mas Choiron bisa belajar dari kasus ini, untuk tidak mengambil hak orang lain. Kemudian tetap sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup. Terakhir, hindari konflik agar tetap sehat, panjang umur dan bahagia selalu."
"Terimakasih Pak."
sumber gambar: pixoto.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI