"Dia menyarankan agar surat kepemilikan sawah ini diatasnamakan dia, agar mafia tanah tidak berani merampas sawah. Setelah kondisi aman, nanti akan diserahkan kembali. Kesalahan terbesar saya saat itu adalah menyetujui sarannya."
"Kok tega. Ternyata dia mafianya."
"Akhirnya saya menjadi buruh tani dan dia yang menjadi tuan tanah. Hidup benar-benar seperti roda berputar. Dia tidak tega juga. Buktinya saya masih diangkat sebagai pengawas sawah. Seusia saya ini sudah tidak kuat lagi mencangkul dan turun ke sawah."
"Apa Bapak tidak berusaha mengambil kembali hak Bapak sebagai pemilik yang sah sawah ini?"
"Tidak perlu. Biarkan saja. Mungkin dia lebih membutuhkan sawah ini daripada saya dan keluarga saya. Semua anak-anaknya makan dari sawah ini, karena tidak mampu bekerja di luar. Sementara anak-anak saya sudah bekerja dan tinggal di luar desa, punya pekerjaan yang lebih baik."
"Lalu mengapa Bapak mau menjadi buruh taninya?"
"Sabar saja. Juga biar dia tidak terlalu merasa bersalah karena telah mengambil hak saya." Senyum khasnya menghiasi wajahnya yang sudah keriput.
"Eh siapa nama Masnya?"
"Saya Choiron, Pak".
"Semoga Mas Choiron bisa belajar dari kasus ini, untuk tidak mengambil hak orang lain. Kemudian tetap sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup. Terakhir, hindari konflik agar tetap sehat, panjang umur dan bahagia selalu."
"Terimakasih Pak."