Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Ini Saatnya Momentum Kebangkitan Polisi

13 Februari 2016   07:53 Diperbarui: 1 Juli 2018   11:17 3562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh: Raditya Mahendra Yasa, Kompas Cetak.

Humor ini banyak mendapat apresiasi karena saat itu kondisi polisi banyak menjadi sorotan berkaitan dengan berbagai kasus besar yang membuat polisi tampak tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Kasus perkosaan Sum Kuning di Yogyakarta oleh anak-anak pejabat, kasus Marsinah, kasus Kudatuli (27 Juli) berupa penyerbuan kantor PDI, penculikan aktivist prodemokrasi hingga penembakan Jembatan Semanggi yang dikenal dengan kasus Trisakti.

Sumber gambar: www.thecrowdvoice.com
Sumber gambar: www.thecrowdvoice.com
Setelah reformasi bergulir dan Gus Dur menjadi presiden, pada 1 April 1999, Polri dipisah dari TNI. Ini adalah jasa besar Gus Dur sengan segala keberanian dan resikonya, menempatkan Polisi dan TNI pada posisi dan fungsi yang seharusnya, walaupun Gus Dur dianggap mengacak-acak TNI-Polri yang begitu dominan dalam kehidupan masyarakat sejak Orde Baru berkibar. Sejak itu, institusi Polri berbenah untuk memperkuat posisi dan fungsinya dan mengubah tagline-nya sebagai 'Pengayom dan Pelindung Masyarakat'.

Ada beberapa alasan utama mengapa Polri dipisah dari TNI, di antaranya adalah:

  1. Adanya pemisahan antara alat pertahanan dan keamanan. TNI khusus sebagai alat pertahanan, sedangkan Polri sebagai alat keamanan negara.
  2. Polri terlalu militeristik dalam penanganan keamanan, padahal Polri sebenarnya adalah termasuk kelompok sipil berseragam, sehingga perilaku dan pendekatan keamanannya tidak boleh secara militer yang didoktrin menghancurkan musuh. Sedangkan menghadapi masyarakat sipil harus bersifat lebih mengayomi dan melindungi masyarakat.

Keputusan pemisahan Polri dari TNI membawa dampak pada perubahan konsep rekruitmen anggota Polri dan penamaan kepangkatan. Setahun setelah pemisahan, Akademi Kepolisian juga dibentuk dan sistem pendidikan juga lebih berorientasi pada pembelajaran, pelatihan dan pengasuhan. 

Pemisahan TNI dan Polri pun bukan tanpa konsekuensi. Konflik antara TNI dan Polri menjadi lebih sering terjadi, bahkan hingga saat ini. Ada banyak faktor pemicu terjadinya konflik TNI dan Polri. Mulai dari masalah backing-mem-backing, hingga adanya ego kelompok. Seorang tentara yang kemudian terkena razia lalu lintas oleh polisi, bisa berakhir dengan penyerbuan pos polisi oleh oknum tentara muda atas nama jiwa korsa. 

Bahkan hanya karena saling pandang dan bertatapan mata di jalan, antar oknum polisi dan tentara bisa saling pukul dan berakhir pada penyerangan markas polisi atau tentara. Hal itu terjadi karena oknum tentara sebagai militer merasa dirinya lebih tinggi 'derajat' ksatrianya daripada polisi yang sudah menjadi sipil. 

Itu mengapa akhirnya, polisi melibatkan Polisi Militer (PM) pada setiap operasi razia kendaraan resmi di daerah yang memiliki markas tentara. Agar kasus pelanggaran lalu lintas di jalan, tidak ditangani polisi, tetapi langsung ditangani oleh PM. Memang tentara hanya tunduk pada komandannya dan PM. Memang butuh waktu panjang agar militer dan sipil tunduk pada supremasi hukum.

Polri Mencari Jati Diri

Saat saya dan teman-teman kompasianer berkunjung ke Polrestabes Surabaya dan bertemu dengan Pak Yan Fitri selaku Kapolres dan saat ini menjabat Wakapolda Kepri, beliau meminta kami untuk memasuki sebuah ruangan yang diberi nama Ruangan M Jasin. Dari cerita Pak Yan Fitri saya mendapat kisah 'pengkhianatan dan kepahlawanan' M Jasin yang merupakan pendiri Brimob (Brigade Mobil) yang dulu bernama Polisi Istimewa.

Dalam kisahnya, setelah Jepang dibom atom dan menyerah pada sekutu dan Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Jepang harus menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan melucuti semua pasukan yang ada di bawahnya. 

Namun saat itu, M Jasin sebagai pimpinan Polisi Istimewa bentukan pemerintah Jepang, memutuskan untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan membobol gudang senjata Jepang dan membagi-bagikannya kepada pasukan perlawanan untuk menghadapi agresi militer pada pada peristiwa heroik 10 Nopember 1945 di Surabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun