Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Patah Hati

13 Januari 2016   18:01 Diperbarui: 13 Januari 2016   18:01 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat menuliskan nama di buku tamu, tanganku begitu gemetar dan hampir saja air mataku bercucuran, mengenang betapa saat ini adalah sebuah bencana yang harus aku lalui sebagai seorang pria dewasa. Dengan segala kemampuan pengendalian diri, akhirnya aku berhasil juga menulsikan dan membubuhkan tanda tanganku di buku tamu.

"Maaf, di mana kotak untuk memasukan ini," tanyaku kepada penerima tamu sambil menujukkan amplop putih yang aku lipat menjadi 3 bagian.

"Oh maaf, kami tidak menerima pemberian dalam bentuk apapun. Jadi tidak ada kotak untuk itu."

"Kenapa?" Tanyaku lagi.

"Orang tua dari mempelai pria ini seorang pejabat tinggi, jadi...." Sebelum si penerima tamu menyelesaikan kalimatnya, aku cepat berlalu dengan perasaan jauh lebih hancur.

Jadi dia lebih memilih dinikahi anak pejabat daripada menikah denganku yang hanya anak tukang bangunan. Pantas... Pantas... Aku menghela nafas dalam-dalam untuk mengusir rasa duka dan amarah yang entah mengapa semakin kuat. Mungkin seharusnya aku tidak perlu datang saja di acara ini. Tapi semua terlambat. Rasanya juga percuma aku memakai jas dan sepatu bagus begini agar membuat Ratri terkesan. Ah rasanya percuma dan percuma.

Dari foto tadi, untuk ukuran pria, aku memang lebih tampan dari si mempelai pria. "Tetapi di jaman sekarang, tampan dan cinta saja tidak cukup Bung!" Kata sebuah suara di dalam kepalaku, menyela apa yang sedang aku pikirkan. Iya benar juga. Rumah tangga pasti harus dibangun dengan cinta dan juga materi. Tanpa materi, berapa lama cinta akan bertahan. "Makan tuh cinta dan ketampanan!" Kata suara di tempurung kepalaku.

Aku sudah mulai bisa melihat Ratri di pelaminan bersama si... Hmmm.. Aku ingin menyebutnya si bangsat untuk suami Ratri. tapi dia salah apa kepadaku. Kenal saja tidak. Tetapi mengapa aku harus marah dan membencinya. membenci si Ratri? Mana sanggup aku melakukannya. "Walau dia telah membuatku patah hati, tetapi tidak cukup bagiku untuk membencimu Ratri," bisikku sambil menatapnya dari kejauhan.

"Hei ayo maju," sergah teman di belakangku. Benar saja, antrian orang-orang yang akan menyalami kedua mempelai di depanku tampak longgar di depanku. Semakin mendekati Ratri yang sedang sibuk berdiri menyalami tamu dan berfoto bersama, semakin jantungku berdebar. Berkali-kali aku mengatur nafas, agar teman-teman kantor lainnya tidak mengetahui perubahan ekspresiku.

"Mas, selamat berbahagia ya. Tolong jaga Ratri baik-baik," kataku mencoba mengatakannya, walau kalaimat tersebut tidak bisa keluar dari mulutku saat menyalami suami Ratri. Hanya wajahku saja yang tampak tersenyum dipaksakan.

"Mas Aripan... ganteng sekali malam ini." Aku bersorak mendengar pujian Ratri atas penampilanku. Memang ini yang aku harapkan. Ayo Ratri, tinggalkan suamimu. Beralihlah kepadaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun