Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anakku Bukan Cabe-cabean

15 Oktober 2014   14:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:57 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tidak bisa memaksa Dimas dan berkonfrontasi dengannya. Aku sadar kalau anak seusia Dimas masih dalam masa pencarian jati diri labil. Egonya mulai tumbuh dan eksisntensinya ingin diakui. Bila dikerasin, dia akan cenderung memberontak dan akan bertambah jauh lagi.

"Oke. Bapak tidak akan memaksa Dimas untuk pulang. Tapi Bapak minta Dimas membantu bapak untuk mencari Putri yang juga belum pulang. Dimas sebagai kakaknya harus juga bertanggungjawab melindungi adikmu. Suatu saat, bapak dan mamamu akan pergi dan kamu akan menjadi kepala rumah tangga yang harus menjaga dan melindungi Putri. Kalian bersaudara harus bisa saling hidup rukun dan saling menjaga." Ada sedikit rasa haru saat mengucapkannya. Kesadaran bahwa usia tidak pernah bisa diduga dan berharap anak-anakku bisa hidup sebagai sebuah keluarga yang saling mendukung dan melindungi.

Kami terdiam sejenak hingga akhirnya Dimas bersuara, "Baiklah Pak. Dimas bantu Bapak mencari Putri. Tapi Dimas belum ingin pulang." Intonasi suara Dimas sudah tidak sekeras tadi. Dia nampaknya sudah bisa mengendalikan kemarahannya.

Setelah berpamitan dengan teman-temannya, Dimas masuk ke mobil dan menjadi navigator untuk menemukan Putri. Menurut Dimas, Putri biasa berkumpul bersama anak-anak gank motor di daerah lingkar barat yang biasa dipakai sebagai arena balapan liar. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam sambil sesekali memperhatikan Dimas dengan sudut mataku. Aku hanya merasa takjub kalau ternyata putraku sudah besar dan tumbuh sebagai pria dewasa. Perasaan, baru kemarin aku mengajaknya jalan-jalan ke taman dan mengajarinya bermain sepeda roda 2. Dia begitu gembira dengan sepeda kumbangnya dan sempat juga menangis saat terjatuh. Aku menghiburnya dan membangkitkan kembali semangatnya untuk terus bermain. Lalu mengapa kini putraku ada di sini dan begitu jauh dariku?

"Perempatan belok kanan Pak. Di situ ada warung kopi," kata Dimas memberi petunjuk arah. Benar saja, saat mobil berbelok di perempatan, tampak sebuah jalan gelap dipenuhi oleh motor-motor yang parkir di sepanjang jalan. Beberapa muda-mudi duduk di sadel motor bercengkrama dengan gelas di tangan. Beberapa pasangan lain tampak berboncengan mesra dengan pakaian ala kadarnya. Hampir semua remaja putri di situ bekaos tanpa lengan dan hot pants. Mereka seperti anak-anak yang ingin tampil dewasa. Mungkin ini yang disebut fenomena cabe-cabean.

Saat lewat, hampir semua pasang mata melihat ke arah kami dengan wajah tidak suka. Mungkin lampu mobil yang terang mengganggu aktivitas malam mereka. Aku tidak perduli dan aku sudah siap dengan segala keadaan. Andaikata harus bertarung, biar aku hadapi semua, demi menemukan Putri.

Tiba-tiba aku melihat sosok seperti putriku. Segera aku tepikan mobil, turun dan lari ke arah sepasang remaja yang sedang bermesraan di bawah pohon.

"Hai Putri, pulang sekarang!" teriakku sambil memegang si remaja putri. Namun saat orang yang aku pegang tersebut berbalik, ternyata dia bukan Putri, anakku.

"Maaf, bukankah itu jaket Putri?"

"Iya Om, benar," jawab si remaja tersebut.

"Di mana Putri sekarang?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun