Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita di Malam Ketujuh

24 Desember 2014   22:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:32 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru saja sampai di daerah Aloha, saat hujan turun dengan derasnya. "Nah keburu hujan," gumanku sambil menyalakan wiper mobil untuk membersihkan kaca depan mobil yang nyaris buram karena air hujan yang jatuh cukup deras. Jalananpun tampak lengang. Hanya beberapa mobil dan pengendara sepeda motor yang nekat saja, menerobos hujan tanpa jas hujan. Keluar kantor tadi, angin dingin bertiup kencang, menerbangkan daun-daun dan sedikit menggoyang beberapa papan reklame, membuat perasaan ngeri takut tertimpa papan reklame tersebut. Malam ini aku memang pulang terlambat, karena ada beberapa laporan keuangan yang  harus diselesakan.

Jalan Raya Gedangan tampak lancar-lancar saja, walau kecepatan mobil tidak bisa lebih dari 40km/jam karena ada banyak genangan air di depan kantor kecamatan. Sebuah mobil pengangkut motor juga berbelok ke arah kanan saat melewati perempatan, membuat aku harus menurunkan kecepatan. Beberapa saat kemudian, aku sudah di palang pintu perlintasan kereta api menuju ka arah desaku. Sebenarnya desaku tempatku tinggal tidak terlalu jauh dari jalan utama yang membelah Sidoarjo. Jalan yang dibangun di atas tanggul irigasi ini memiliki panjang 1 kilometer yang dapat dilintasi 2 mobil. Sedangkan 500 meter sisanya, hanya dapat dilalui oleh 1 mobil saja. Sehingga bila ada 2 mobil berpapasan, salahsatunya harus mengalah untuk menepi di bahu jalan yang tidak rata dan mepet dengan saluran irigasi. Kurang hati-hati, mobil bisa terperosok ke sawah.

[caption id="attachment_361552" align="aligncenter" width="480" caption="Mobil terperosok ke saluran irigasi desa (Dok.Pri)"][/caption]

Hujan sudah agak reda saat mobil sudah melewati rel kereta api. Namun entah mengapa suasana di dekat palang pintu tampak begitu sepi, tidak seperti biasanya. Bahkan lampu penerangan jalan yang biasanya terang temaram, kini tampak redup, menambah perasaan dingin menjadi lebih terasa sampai ke tulang.

Saat melintasi warung makanan di dekat palang pintu kereta api, tampak seorang wanita dengan pakaian kerja duduk di bangku depan warung yang telah tutup. Sekilas aku memperhatikan wajah si wanita yang tertunduk memainkan handphonenya. Mobilku melewati posisinya, wajahnya belum juga terlalu dapat aku lihat jelas.

"Oh wanita itu," gumanku. Iya aku mengenal wanita itu, tiba-tiba dia menoleh ke arahku persis saat aku melintas di depannya. Aku mengenal wanita muda yang biasanya berangkat di pagi hari dengan menumpang ojek, atau terkadang dibonceng oleh warga lain yang kebetulan searah menuju jalan besar. Saat aku masih mengendarai motor, sebenarnya beberapa kali aku ingin menawarkan diri untuk memboncengnya sampai ke jalan besar. Namun saat itu aku begitu kurang percaya diri untuk memberikannya tumpangan. Membonceng wanita muda secantik dia, pasti akan membuatku grogi dan kurang konsentrasi. Bisa berbahaya kalau sampai terperosok ke sawah berdua bersamanya. Belum lagi motorku yang butut dengan beberapa jok yang sudah sobek, membuatku tidak percaya diri untuk menawarinya tumpangan.

Aku menginjak pedal kopling dan rem dalam-dalam untuk menghentikan laju mobil. Setelah mobil berhenti, aku mengatur perseneling ke gigi mundur, hingga akhirnya benar-benar berhenti persis di depan wanita tadi.

"Ayo mau bareng ke dalam?" Tanyaku setelah membuka kaca. Si wanita menganggukan kepala sambil tersenyum tanpa berkata-kata. Setelah dia duduk di kursi depan dan menutup pintu dengan lembut, akupun menjalankan kendaraan kendaraan kembali.

Tidak ada kata yang aku ucapkan walau sekedar untuk berbasa-basi dengan menanyakan kenapa kok pulangnya kemalaman bahkan menanyakan siapa namanya dan kerja di mana. Dia juga terdiam sambil mendekap tas tangannya dan dengan pandangan lurus ke depan.

Beberapa kali mobil melambat saat melewati genangan air yang cukup dalam. Wanita muda di sebelahku juga masih diam membisu, hingga akhirnya aku memulai pembicaraan.

"Turun di mana?"

"Pintu gerbang depan saja Mas," jawabnya lirih. Entah mengapa aku jadi tersipu malu dipanggil mas olehnya."Apa aku tampak masih muda ya," tanyaku pada diri sendiri dengan senyum mengambang.

"Memang rumahnya di blok berapa?" Tanyaku lagi.

Dari sudut mata, tampak si wanita menatap ke arahku, sebelum akhirnya menjawab, "Saya tinggal di blok tiga."

"Baik saya antar sampai ke depan rumah ya. hujannya masih cukup deras nih."

"Tidak usah Mas. Nanti saya merepotkan. Turunkan di samping Indomaret saja. Biar saya jalan kaki sambil pakai payung. Deket kok." Kali ini dia menjawab sambil tersenyum, yang aku bisa lihat dari sudut mata.

"Oh ya, ngomong-ngomong, namanya siapa?" Tanyaku dengan sedikit ragu, takut dianggap tidak sopan.

"Saya Nadia Sulastri," jawabnya lagi.

"Saya Choiron." Tentu saja acara perkenalan singkatnya tanpa salaman, karena aku sedang memegang kemudi.

"Oh Pak Choy ya..." Kali ini nada suaranya sudah jauh lebih bersahabat. Berikutnya, dia mulai bisa terbuka dan bercerita tentang profesinya sebagai seorang administrator di sebuah perusahaan dekat area Lumpur Lapindo. Selain itu, ada banyak cerita lainnya yang Nadia ceritakan dan membuat aku cukup senang mendengarnya, serasa kita sudah kenal begitu lama.

Akhirnya kami sampai juga di gerbang perumahan. Setelah jembatan, aku membelokkan mobil ke kiri menuju samping Indomaret yang merupakan akses masuk ke perumahan tahap 3 dan berhenti tepat di percabangan jalan tahap 1 dan tahap 3.

"Terimakasih atas tumpangannya Mas," ujar Nadia sesaat setelah keluar dari mobil.

"Iya sama-sama Mbak Nadia," jawabku.

Berikutnya, aku segera memutar arah mobil melewati sebuah gang untuk sampai di rumahku di tahap 2.

Baru saja mobilku sampai di depan rumah, saat istriku membuka pintu dan menyambutku dengan senyuman khasnya.

"Kok malam sekali Mas?"

"Iya, ada lembur. Juga hujan bikin jalanannya harus pelan-pelan."

"Lembur kok sampai tengah malam toh Mas," sergah istriku lagi.

"Lah inikan baru jam 10-an toh," jawabku mencoba membela diri.

"Sudah jam 1 dini hari Mas," bisik istriku lagi.

Aku mencoba melihat ke arah jam tanganku dan ternyata benar.

"Mas, kok bengong?" Tanya istriku lagi.

"Oh enggak. Cuman heran saja, mengapa aku bisa sampai di rumah jam 1. Padahal tadi berangkat dari kantor sekitar jam 21.00."

"Ayo, Mas tadi mampir ke mana?" Goda istriku sambil merangkulku.

Aku tidak menjawab candaan istriku. Pikiranku benar-benar masih bingung dengan lamanya perjalanan dari palang pintu kereta api tadi ke rumah yang hampir memakan waktu 3 jam. Padahal perjalanan dari kantor ke rumah saja biasanya hanya memakan waktu 1 jam.

"Malam yang aneh," gumanku lagi sambil mengunci pintu gerbang dan masuk ke dalam rumah menyusul istriku yang sudah terlebih dahulu masuk.

"Maaa... Ini kardus berkat dari siapa?" Tanyaku saat sebuah kardus makanan yang biasanya dihantar tetangga saat ada acara syukuran atau tahlilan.

"Ghak tahu... tadi ada warga dari tahap 3 yang menghantarkannya ke sini," jawab istriku dari dalam kamar.

Aku mencoba membaca sebuah kartu yang tertempel di atas kardus dengan seksama. Di situ tertulis, "Memperingati 7 hari wafatnya putri kami....." Dek... jantungku terasa berhenti saat membaca nama yang tertulis di bagian tengah kartu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun