Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mamamu Mana, Nak?

30 Desember 2014   21:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:09 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Eh saya pemilik rumah ini. Justru saya yang seharusnya bertanya, Anda mencari siapa di sini. Atau kalau tidak saya, akan panggil satpam komplek sini untuk mengusir Anda."

Aku berjalan cepat ke pojok ruang tengah tempat meja telpon rumah berada. Hei... Mengapa aku tidak menemukan telpon yang aku maksud. Siapa yang memindahkannya. Perasaan, tadi pagi aku masih gunakan telpon tersebut untuk menyapa saudara-saudaraku yang ada di kota lain. Aku kebingun melihat semua isi rumah telah berubah. Benar saja. Warna cat putih yang ada di dinding sebelah kanan, kini mengapa warnanya berubah menjadi warna krem. Sedangkan dinding yang menghadap ke depan, dicat dengan warna berbeda.

"Bapak..." sapa si wanita tadi. Aku menoleh ke arahnya. Rupanya dia telah mengganti bajunya dengan yang lebih tertutup. Aku berdiri masih dengan perasaan bingung.

Si wanita mendekatiku dan menarik tanganku dengan lembut ke arah meja makan. "Bapak silahkan duduk dulu di sini ya. Saya akan buatkan teh hangat untuk Bapak." Aku menuruti perkataannya, walau masih begitu bingung dengan semua keadaan ini. Aku tidak habis pikir, mengapa isi rumahku berubah dan aku bertemu dengan orang yang tidak aku kenal di rumahku sendiri.

"Nama Bapak siapa?" Tanya si wanita lagi saat datang kembali dengan secangkir teh hangatnya.

"Nama saya...." Tenggorokanku terasa tercekik saat harus menyebut namaku sendiri. Tetapi mengapa aku sendiri menjadi lupa siapa namaku. Apa masalahnya denganku. Tanganku mulai gemetar dengan keringat yang mulai mengucur dari wajah dan leherku. Aku mencoba merogoh saku belakang untuk menemukan dompet.

"Nama saya..." Kali ini aku tidak bisa meneruskan menyebut namaku dengan membaca tulisan di KTP seumur hidupku. Aku lupa membawa kacamata baca yang biasanya tergantung di leher dengan tali hitam, agar tidak mudah hilang. Terkadang istriku yang menyimpannya saat kacamata baca tersebut tertinggal di teras atau bahkan di rumah tetangga.

"Biar saya yang bacakan Bapak," ujar si wanita. Sementara anak kecil yang aku lihat pertama kali tadi duduk di depan televisi sambil makan kripik kentang. Aku menyodorkan KTPku.

"Bapak Suroso ya?" Tanya si wanita sambil membaca data di KTPku. Aku yang mendengar dia menyebut sebuah nama, hanya terdiam. Entah apakah benar atau tidak kalau namaku Suroso. Rasanya aku memang pernah dengar nama tersebut. Tetapi apakah itu namaku?

"Ternyata Bapak memang benar dulu tinggal di sini. Alamat yang tertera di KTP memang masih alamat rumah ini." Aku tetap terdiam dengan penjelasan si wanita. Bagaimana bisa dia menyebutkan kalau aku dulu pernah tinggal di rumah ini. Bukankah sekarang juga masih tinggal di sini. Tetapi mengapa juga aku tidak menemukan istri tersayangku?

"Silahkan Pak di minum tehnya, nanti keburu dingin." Aku mengikuti saran si wanita untuk meminum teh hangat yang diberikannya. Dengan tangan sedikit gemetar, aku mengangkat cangkir duralex yang orang tuaku juga suka mengoleksinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun