Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Polisi Tidak Tega Menilang Saya?

29 Januari 2015   18:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:09 1855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_393914" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - Operasi Zebra. (Kompas.com/Robertus Belarminus)"][/caption]

Tulisan ini tidak hendak latah membahas perseteruan Cicak Vs. Buaya jilid 2 yang saat ini sedang menjadi berita utama di hampir semua media dan warung kopi. Saya hanya ingin menampilkan sisi lain, bahwa polisi juga manusia dan yang pasti memiliki sifat kemanusiaannya.

Jimat Penangkal Polisi

Sering saya lihat di jalan, mobil-mobil ditempeli jimat-jimat penangkal polisi. Bentuknya bisa berupa stiker bertuliskan 'Keluarga Besar Polri', 'TNI-AD', 'TNI-AL' dan logo-logo lainnya yang mewakili lembaga pemilik kekuasaan. Beberapa lagi yang lainnya, menggantung pangkat polisi dan tentara di bawah kaca depan atau bisa juga berupa topi dengan logo dan tulisan tertentu, sebagai tanda kalau pemiliknya masih memiliki hubungan dengan dunia penegakan hukum. Tujuannya cuman satu, untuk menakut-nakuti orang lain agar tidak bikin perkara dengan pemilik mobil. Namun bila ada razia terpadu, jimat-jimat penangkal polisi tersebut dilepas oleh provost yang turut serta dilibatkan dalam razia.

Selain jimat berupa stiker, beberapa teman yang saya kenal, menggunakan kartu nama dan nomer telepon sebagai jimat dan mantra penangkal polisi. Ceritanya, secara tidak sengaja, seorang teman melanggar rambu lalu lintas. Saat akan ditilang oleh seorang polisi, dia menyerahkan SIM, STNK dan kartu nama seorang petinggi polisi yang dikenalnya sambil menyebut kalau dia masih ada hubungan keluarga. Di lain kesempatan, teman saya tersebut 'menakut-nakuti' polisi yang akan menilangnya dengan cara menggunakan handphone dan bilang kalau dia akan menghubungi pejabat polisi yang dikenalnya. Kedua cara tersebut ternyata cukup berhasil untuk menghindarinya dari tilang.

Menurut saya, orang yang menempelkan jimat di mobilnya atau menjadikan kartu nama polisi sebagai jimat, menandakan dia tidak percaya diri kalau dia bisa berperilaku benar. Dia juga tidak percaya kalau akan baik-baik saja tanpa menggunakan jimat stiker tersebut. Seharusnya cukup dengan doa dan memohon pertolongan dan perlindungan Allah saja, dari segala mara bahaya dan fitnah dunia yang mungkin akan menimpa di sepanjang perjalanan nanti.

Apa yang Ditakuti Polisi?

Saya sendiri terus terang tidak pernah menggunakan cara-cara di atas, walaupun kebetulan punya kenalan polisi yang berpangkat cukup tinggi di Polda Jatim. Rasanya cukup tahu diri dan malu untuk menekan dan menakut-nakuti polisi di lapangan dengan menggunakan nama polisi yang pangkatnya lebih tinggi. Saya juga anti untuk memasang stiker penangkal polisi, agar polisi tidak menilang saya saat saya baik sengaja maupun tidak sengaja melanggar aturan lalu lintas.

Saya paham bahwa polisi juga manusia yang punya harapan dan rasa takut. Apa yang ditakuti polisi? Tentu saja lembaga dan atasannya. Normalnya begitu. Walaupun ada juga polisi yang 'tidak normal' yang berani menilang motor atau mobil keluarga polisi lain, karena idealismenya. Itu pun saya rasa sulit ditemui, seperti yang ditulis di koran-koran sebagai sosok polisi ideal. Karena kultur polisi memang mengharuskan mereka untuk taat dan tunduk pada atasan.

Saya sendiri bukannya tanpa salah. Saya pernah tidak punya SIM dan nekat untuk mengemudi. Saat ada razia, saya pun memperlambat laju kendaraan dan berlalu dari puluhan polisi yang sedang merazia sambil menganggukkan kepala sok kenal sok akrab. Demikian juga saat ada razia menjelang tengah malam. Dua orang polisi berdiri di tengah jalan, menghadang motor saya untuk menepi. Saya pun memperlambat laju kendaraan dan tidak berhenti sambil melambaikan tangan. Saya tahu pasti mereka tidak akan mengejar saya, karena mereka berpikir saya juga polisi yang tidak perlu diperiksa. Saya tidak berharap Anda mempraktikkan apa yang pernah saya lakukan bila Anda tidak cukup tenang untuk mengendalikan rasa takut Anda, dikejar polisi karena tidak mau berhenti. Saya juga melarang keras Anda untuk mencobanya, karena akan membahayakan diri Anda.

[caption id="attachment_366513" align="aligncenter" width="268" caption="Polisi juga manusia. (https://twitter.com/bashroni_rizal)"]

1422504163796894494
1422504163796894494
[/caption]

Polisi Tidak Tega Menilang Saya?

Pagi ini (29/1/2015) saya terburu-buru untuk sampai di sebuah sekolah di Jalan Perak Barat Surabaya. Saat melewati perempatan Tugu Pahlawan dari arah Jalan Bubutan, seorang polisi berjalan cepat menghadang di depan mobil saya dan memberi isyarat untuk menepi. Saya tidak berpikir apa pun tentang kesalahan yang saya telah perbuat. Setelah menepikan mobil dan membuka kaca, polisi yang menghadang saya tadi menghampiri dan memberikan salam. Beliau memberi tahu kalau saya melanggar lajur. Katanya, lajur kiri hanya diperuntukkan untuk sepeda motor dan angkutan umum. Saya pun meminta maaf dan mengatakan kalau saya tidak begitu kenal jalan di daerah sekitar Tugu Pahlawan. Namun Pak polisi tersebut tetap meminta saya menemuinya di pos polisi sambil membawa STNK dan SIM saya.

Setelah mengunci mobil, saya bergegas ke pos polisi. Di sana sudah menunggu seorang polisi lainnya yang telah siap dengan surat tilang dan SIM-STNK yang dibawa polisi tadi. Pak Polisi bertanya mengapa foto di SIM saya berbeda dengan tampilan saya sekarang ini. Memang foto di SIM saya, rambutnya gondrong sebahu tanpa dan tanpa jenggot serta kacamata. Sedangkan tampilan saya sekarang justru rambut pendek, berjenggot dan berkacamata, serta tampilan berdasi. Saya bilang kalau itu foto saat saya gondrong.

Berikutnya, Pak Polisi yang kemudian saya tahu namanya Pak Heri bertanya profesi saya. Di SIM memang tertulis saya sebagai dosen. Beliau bertanya saya mengajar di mana. Saya sebutkan sebuah nama perguruan tinggi di daerah Surabaya Timur dan ternyata beliau cukup tahu kampus saya sambil menyebutnya berulang-ulang. Pak Heri menyebutkan pelanggaran yang saya lakukan. Saya pun meminta maaf kalau saya benar-benar tidak tahu jalan di area Tugu Pahlawan dan tidak terpikirkan untuk menempuh jalan damai. Pena Pak Heri mulai menuliskan beberapa data di form surat tilang. Beliau bilang, sidang saya nanti tanggal 13 Pebruari. Tiba-tiba Pak Heri berhenti menulis dan menyerahkan kembali SIM dan STNK saya sambil berkata, "Ya sudah Bapak boleh bawa kembali." Tanpa pikir-pikir panjang, sayapun mengambilnya dan menyalaminya sambil mengucapkan terima kasih, sebelum berlalu dari pos polisi tersebut. Saya tidak tahu apa yang membuat beliau berubah pikiran dan melepas saya pergi.

Sepanjang perjalanan, saya menduga-duga kalau Pak Heri tidak jadi menghadiahi saya surat tilang karena beliau memaafkan saya. Apalagi saya sudah meminta maaf dan menyadari kesalahan saya akan aturan kanalisasi jalur motor dan mobil. Bisa juga beliau kasihan melihat wajah saya yang lugu (bukan lucu gundek! :) ), sehingga tidak tega untuk memberi saya surat tilang. Saya pun hanya bisa membalas kebaikan Pak Heri tersebut dengan doa, agar beliau diberi kesehatan, umur yang barokah dan kelancaran dalam kariernya tetap pada jalan yang benar. Aamiiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun