Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air Mata Sang Pemuda

7 Februari 2015   00:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:41 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore ini aku memang ingin sedikit relaks setelah seminggu penuh mengikuti pelatihan dan ini hari terakhir, aku dinyatakan lulus uji kompetensi oleh asesor yang mengujiku. Itu artinya aku harus mentraktir diri sendiri dengan hangout di cafe langgananku di Galaxy Mall.

Suasana kafe cukup sepi saat aku masuk. Mungkin karena Surabaya diguyur hujan sejak siang tadi, sehingga orang-orang tidak banyak orang yang berjalan-jalan di mall ataupun datang ke cafe. Seperti biasa, aku memilih no smoking are yang terletak di ujuang cafe dengan view jalan raya.

Tampak di seberang mejaku, Hendra -- seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi di dekat mall tersebut yang duduk membelakangi mejaku. Tidak biasanya dia datang dan duduk sendiri. Biasanya dia selalu mojok bersama Nina -- kekasihnya. Aku cukup mengenal mereka berdua karena sering bertemu mereka di sini. Sesekali kami bertegur sapa, hingga akhirnya kami sempat berbincang akrab bertiga, menikmati menu cafe. Tetapi kali ini Hendra duduk tanpa Nina. Rasanya aneh saja. Sama anehnya dengan diriku yang menikmati suasana dalam kesendirian. Aku tersenyum menyadari keanehanku sendiri.

Setelah aku duduk, Andri -- waitress cafe tersebut melangkah menghampiri. "Menu seperti biasa Pak?"

"Iya seperti biasa. Eh tambah croissant isi kornetnya 2 ya Mbak. Sore ini lapar bingits nih," jawabku akrab.

"Emang Bapak baru lari-lari di mana kok laper pakek bingits?"Tanya Andri sambil tersenyum.

"Habis ujian Ndri. Dua hari persiapan ujian sampai lungset begini."

"Baik Pak. Siap dikirim ghak pakek lama." Andri membalikkan badan dan berjalan menuju bagian konter pemesanan.

Andri cukup hafal menu pesananku. Segelas cold cappucino, sebotol air mineral dan spagetti. Menu ala Italiano yang rasanya sudah nyaman di lidah Indonesiaku. Dia memang tipe gadis yang mudah akrab dengan siapapun. Dia juga tipe gadis yang punya cita-cita. Sudah 2 tahun ini katanya dia berusaha untuk menabung agar bisa membayar uang masuk kuliah.

Sambil menunggu aku memperhatikan Hendra yang masih duduk menyendiri. Beberapa kali dia memegang kepalanya. Gesturenya menunjukkan dia begitu resah. Apakah masalahnya begitu berat, sampai-sampai dia menangis. Apakah karena Nina? Ah ya pasti. Aku sudah biasa bertemu dengan anak muda yang galau karena cinta. Judulnya pasti tidak lepas dari konflik, marah-marahan, perasaan terluka, cemburu,  penghianatan dan sejenisnya. Andai benar Hendra ada masalah dengan Nina, aku juga tidak ingin mencampuri urusan mereka. Prinsipnya, "Jangan memberi saran pada orang yang tidak memintanya."

"Silahkan Pak. Selamat menikmati," ujar Andri setelah mengantarkan pesananku.

"Thanks Ndri."

Aku segera membuka botol air mineral terlebih dahulu sebelum melahap spagetti dengan berlahan. Aturan minimal 30 kunyahan. Kata dr Hiromi Shinya dalam buku The Myracle of Enzyme, berfungsi untuk mencampur enzym amilase dengan karbohidrat, sekaligus untuk meringankan organ pencernaan. Memang cukup lama, tetapi proses makan menjadi lebih bisa dinikmati. Membuat aku jauh lebih bersyukur atas segala nikmat makanan ini. Setelah 30 menit, tersisa 1 croissant dan setengah gelas cappucino dengan ice cube yang masih sebagian utuh berenang di antara sedotan.

"Pak..."

Aku menoleh ke arah suara yang tadi memanggilku Pak. Rupanya Hendra telah berdiri di sampingku.

"Oh Hendra... Silahkan duduk. Mau saya pesankan apa nih?" Aku mempersilahkan Hendra untuk duduk. Aku tahu dia pasti ingin menyampaikan kegalauannya.

"Ghak usah Pak. Saya sudah terlalu banyak minum kopi hari ini," sambil menunjuk ke mejanya tadi. Benar saja. 3 cangkir kopi dan 2 gelas ukuran besar dengan beberapa piring, menumpuk di sana. Rupanya Hendra tipe orang yang akan makan banyak bila sedang stress. Ada juga yang berperilaku sebaliknya. Dia merasa tidak enak makan saat kondisinya sedang stress. Entah karena ada keinginan untuk menghukum diri sendiri, ataupun karena memang pikirannya membuat motivasi hidupnya menurun.

"Ada apa?" Tanyaku mengawali pembicaraan. Aku harus membersihkan persepsi untuk menjadi pendengar yang baik. Tidak boleh mempersepsikan apapun sebelum mendengar, menerima, menganalisa dan mengaitkan antar fakta sebagai sebuah bangunan kesimpulan.

Hendra menarik kursinya untuk lebih merapat. Sepertinya dia tidak ingin apa yang ingin disampaikannya, bisa didengan oleh orang lain. Sambil setengah berbisik, diapun mulai menceritakan apa masalahnya. Beberapa kali aku meresponnya dengan anggukan dan terkadang gelengan kepala. Sesekali juga aku melontarkan pertanyaan untuk memperdalam informasi yang disampaikannya. Intinya memang tentang hubungannya dengan Nina yang baru saja berakhir setelah 1 tahun bersama.

"Empat belas pebruari ini, tepat saya dan Nina jadian setahun. Persis saat valentine tahun lalu aku menembaknya, Pak," ujar Hendra dengan wajah sedikit cerah saat mengenang kembali kebersamaannya dengan Nina.

Aku tersenyum saat memandang perubahan wajah Hendra dari sedih ke gembira dan berikutnya sedih kembali. Konflik asmara memang lebih sering membuat siapapun yang terlibat menjadi gila. benar-benar gila karena kehilangan akal sehatnya. Yang aku lihat di depanku saat ini adalah contoh korbannya. Matanya masih tampak sembab karena menangisi perpisahannya dengan kekasihnya yang katanya meninggalkannya untuk pria lain. Pasti sakitnya tuh di sini dan di mana-mana saat menjadi orang yang dicampakkan. Hanya karena Nina kepincut dengan mahasiswa kampus lain yang kemana-mana bawa mobil mewah, sedangkan Hendra walaupun agak kaya, namun hanya menggunakan motor sport. 'Jimat Jepang dan model stir lurus atau bunder, terkadang masih menjadi daya tarik dan pertimbangan bagi wanita untuk menentukan apakah seorang pria itu keren atau tidak.

"Lalu mengapa tadi nangisnya kok lama sekali?" Tanyaku sambil tersenyum saat melihat Hendra sudah mulai tenang dan bisa diajak bercanda.

"Lah ya itu Pak. Tempat ini sendiri begitu membawa kenangan, Bapak tahu sendiri saya sering ke sini sama Nina. Saat duduk tadi, ghak sengaja saya melihat kembali foto-foto kemeseraan kita selama jalan bareng. Ya jadinya melo Pak," jawab Hendra dengan wajah bersemu merah tanda dia cukup malu juga.

"Memang apa yang perlu ditangisi dari perpisahan kalian? Apa Nina begitu berharga untuk kamu pertahankan? Atau Hendra saja yang merasa tidak mampu mencari yang lebih baik lagi dari Nina? Atau apa?" Kali ini aku mencecar Hendra dengan pertanyaan untuk mencobanya berfikir kembali untuk apa dia bersedih dan menangis.

"Iya Pak... untuk apa ya? Saya ganteng. Tongkrongan juga ghak jelek-jelek amat." Hendra terdiam sambil memainkan jam tangannya. Aku tahu jam tangan itu adalah jam tangan dengan warna dan model yang sama seperti yang dipakai Nina, walaupun ukurannya lebih besar. Ya, semacam couple watch. Aku yakin sebentar lagi Hendra pasti akan sedih kembali. Barang-barang memorabilia alias penuh kenangan begitu memang akan sedikit banyak berpengaruh pada mengulik kenangan lama.

[caption id="attachment_367583" align="aligncenter" width="334" caption="Couple Watchs - Courtesy of www.76.my"]

14232186381765889934
14232186381765889934
[/caption]

Benar saja. Semenit kemudian, Hendra sedikit menunduk sambil memandangi jam tangannya dan matanya mulai berkaca-kaca kembali. Perasaannya mulai diaduk-aduk oleh kenangan bersama Nina kembali.

"Begini. Seharusnya Hendra bersyukur kalau sekarang ini Nina pergi hanya karena merasa mendapatkan yang lebih baik dari Hendra, daripada dia pergi saat sudah menjadi istri dengan beberapa orang anak. Hendra juga seharusnya bersyukur karena ini momentum yang pas untuk kembali memperdalam dan mengamalkan ajaran agama. Bukankah dalam Islam pacaran itu hukumnya haram. Kalau Hendra mampu, langsung saja menikah dan ghak usah pacaran terlalu lama. Lama pacaran tidak menjamin sepasang kekasih bisa saling mengenal dan menyesuaikan diri. Beberapa kali saya bertemu dengan orang yang pacaran 3-4 tahun. Menjelang pernikahan, mereka putus dengan meninggalkan luka perasaan yang jauh lebih dalam." Kali ini aku mengucapkan setiap kalimat dengan hati-hati, perlahan dan dengan intonasi yang jelas. Hendra mengangkat kepalanya kembali dan menatap ke arahku. Itu pertanda pesan yang aku sampaikan, cukup mengena dan mengusik pikirannyan.

"Seharusnya Hendra lebih menangisi dosa yang telah diperbuat selama bersama Nina. Bukankah berdua dengan yang bukah muhrimnya itu haram? Bukahkah berciuman dan berpelukan dengan yang bukan muhrimnya juga haram?" Aku diam sejenak saat Hendra dengan serius menatapku. Dia pikir bagaimana aku tahu kalau dia melakukannya dengan Nina. Ya tentu saja aku tahu karena aku juga dulu pernah muda.

Hendra mulai tersenyum mendengar penuturanku yang terakhir, hingga akhirnya berkata, "Iya benar. Seharusnya saya menangisi dosa kolektif yang telah saya lakukan bersama Nina. Saya juga seharusnya bersyukur karena dengan begitu, bisa tercegah dari perbuatan dilarang yang lebih dalam lagi. Bapak benar!" Serunya sambil bangkit dari kursi dan menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Sayapun menyalaminya dengan senyum mengembang.

"Terimakasih Pak. Saya mau pulang dulu."

Hendra bergegas ke meja kasir untuk membayar tagihannya sebelum akhirnya menghilang di balik pintu keluar cafe. Sementara aku, masih duduk sendiri untuk merayakan kegembiraanku dalam versi yang berbeda sambil mendengarkan lagu 'Alone' versi unplugged  dari Hearth yang terdengar lembut dari sound system cafe. "Ah mengapa lagunya benar-benar mewakili perasaanku?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun