Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air Mata Sang Pemuda

7 Februari 2015   00:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:41 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lalu mengapa tadi nangisnya kok lama sekali?" Tanyaku sambil tersenyum saat melihat Hendra sudah mulai tenang dan bisa diajak bercanda.

"Lah ya itu Pak. Tempat ini sendiri begitu membawa kenangan, Bapak tahu sendiri saya sering ke sini sama Nina. Saat duduk tadi, ghak sengaja saya melihat kembali foto-foto kemeseraan kita selama jalan bareng. Ya jadinya melo Pak," jawab Hendra dengan wajah bersemu merah tanda dia cukup malu juga.

"Memang apa yang perlu ditangisi dari perpisahan kalian? Apa Nina begitu berharga untuk kamu pertahankan? Atau Hendra saja yang merasa tidak mampu mencari yang lebih baik lagi dari Nina? Atau apa?" Kali ini aku mencecar Hendra dengan pertanyaan untuk mencobanya berfikir kembali untuk apa dia bersedih dan menangis.

"Iya Pak... untuk apa ya? Saya ganteng. Tongkrongan juga ghak jelek-jelek amat." Hendra terdiam sambil memainkan jam tangannya. Aku tahu jam tangan itu adalah jam tangan dengan warna dan model yang sama seperti yang dipakai Nina, walaupun ukurannya lebih besar. Ya, semacam couple watch. Aku yakin sebentar lagi Hendra pasti akan sedih kembali. Barang-barang memorabilia alias penuh kenangan begitu memang akan sedikit banyak berpengaruh pada mengulik kenangan lama.

[caption id="attachment_367583" align="aligncenter" width="334" caption="Couple Watchs - Courtesy of www.76.my"]

14232186381765889934
14232186381765889934
[/caption]

Benar saja. Semenit kemudian, Hendra sedikit menunduk sambil memandangi jam tangannya dan matanya mulai berkaca-kaca kembali. Perasaannya mulai diaduk-aduk oleh kenangan bersama Nina kembali.

"Begini. Seharusnya Hendra bersyukur kalau sekarang ini Nina pergi hanya karena merasa mendapatkan yang lebih baik dari Hendra, daripada dia pergi saat sudah menjadi istri dengan beberapa orang anak. Hendra juga seharusnya bersyukur karena ini momentum yang pas untuk kembali memperdalam dan mengamalkan ajaran agama. Bukankah dalam Islam pacaran itu hukumnya haram. Kalau Hendra mampu, langsung saja menikah dan ghak usah pacaran terlalu lama. Lama pacaran tidak menjamin sepasang kekasih bisa saling mengenal dan menyesuaikan diri. Beberapa kali saya bertemu dengan orang yang pacaran 3-4 tahun. Menjelang pernikahan, mereka putus dengan meninggalkan luka perasaan yang jauh lebih dalam." Kali ini aku mengucapkan setiap kalimat dengan hati-hati, perlahan dan dengan intonasi yang jelas. Hendra mengangkat kepalanya kembali dan menatap ke arahku. Itu pertanda pesan yang aku sampaikan, cukup mengena dan mengusik pikirannyan.

"Seharusnya Hendra lebih menangisi dosa yang telah diperbuat selama bersama Nina. Bukankah berdua dengan yang bukah muhrimnya itu haram? Bukahkah berciuman dan berpelukan dengan yang bukan muhrimnya juga haram?" Aku diam sejenak saat Hendra dengan serius menatapku. Dia pikir bagaimana aku tahu kalau dia melakukannya dengan Nina. Ya tentu saja aku tahu karena aku juga dulu pernah muda.

Hendra mulai tersenyum mendengar penuturanku yang terakhir, hingga akhirnya berkata, "Iya benar. Seharusnya saya menangisi dosa kolektif yang telah saya lakukan bersama Nina. Saya juga seharusnya bersyukur karena dengan begitu, bisa tercegah dari perbuatan dilarang yang lebih dalam lagi. Bapak benar!" Serunya sambil bangkit dari kursi dan menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Sayapun menyalaminya dengan senyum mengembang.

"Terimakasih Pak. Saya mau pulang dulu."

Hendra bergegas ke meja kasir untuk membayar tagihannya sebelum akhirnya menghilang di balik pintu keluar cafe. Sementara aku, masih duduk sendiri untuk merayakan kegembiraanku dalam versi yang berbeda sambil mendengarkan lagu 'Alone' versi unplugged  dari Hearth yang terdengar lembut dari sound system cafe. "Ah mengapa lagunya benar-benar mewakili perasaanku?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun