Siang menjelang senja ini mendung sudah menggantung, angin pun lambat bertiup membuat udara lembab dan panas. Cemilan yang paling hot dalam cuaca begini tentu saja rujak Yu Minah. Maka sebelum hujan turun, aku segera menyambangi warung Yu Minah yang sudah lamaaaa tak kudatangi
Seperti biasa Yu Minah menyambutku dengan suaranya yang membahana sedikit mendirikan bulu kuduk.
“Eaallaah Jeeeng, sampeyan kok baru kelihatan to? Tak pikir sudah pindah ke manaaa gitu!” serunya sembari tak lupa mendaratkan bibirnya yang selalu basah ke pipi kanan kiriku. Weeeks, begitu dia berbalik langsung kuusap pipiku dengan lengan baju.
“Gak pindah Yu, cuma repot banget sejak gak punya asisten nih. Kalo ada waktu luang ya buat beres-beres rumah. Tolong buatkan rujak ulek Yu, biasa ya pedes tapi gak banget.”
Dengan sigap Yu Minah segera menyiapkan bahan-bahan sambal dan buah-buahan. Dan aku seperti biasa langsung mendarat di bangku favorit, dekat meja uleknya Yu Minah. TV di ruang tamu Yu Minah tampak menyala meski tak ada yang menonton.
“Sampeyan lagi nonton apa to, Yu? Kok tumben volumenya kenceng sampe kedengeran dari sini?” tanyaku iseng sembari melihat kelincahan Yu Minah menggoyang ulekannya. Melihatnya mengulek memang selalu membuatku takjub. Seperti ada keanggunan sekaligus kegarangan dalam setiap gerakan menggerusnya. Seperti membalas dendam terhadap sesuatu yang pernah menyakitinya. Keras dan kuat dengan gaya yang anggun! Semua bahan langsung lumat dalam waktu singkat.
“Itu lho Jeng, acara investigasi apaa gitu. Reportase investigasi kalo ndak salah. Pokoke acara yang menjelek-jelekkan pedagang kecil deh!”
“Kok menjelek-jelekkan gimana to, Yu?” tanyaku heran. Sepotong nanas segar kucomot sebelum jatuh ke timbunan sambal pedas itu.
“Lha ya iya, coba team investigasi itu ke sana ke mari mencari kecurangan-kecurangan pedagang makanan. Tuh lihat, yang katanya pakai formalin lah, boraks lah, pewarna tekstil lah. Trus si pelaku diwawancara dengan suara disamarkan macam kartun gitu, muka dibikin siluet. Kan gak bener itu?”
“Gak benernya di mana, Yu? Kan bagus, mereka menginformasikan ke kita tentang kecurangan itu. Kita jadi berhati-hati membeli makanan, mengingatkan anak-anak supaya jangan jajan sembarangan. Lha bagus to itu?” tanyaku heran.
“Lhadalah Jeng, sampeyan kok ndak nangkep maksud saya to? Itu sama saja pembunuhan karakter! (hayah, bahasane Yu Minah) Coba, disebutkan dari delapan dagangan yang diteliti, terdapat empat yang positif mengandung formalin. Berarti kan masih fifty-fifty to? Tapi dampaknya apa? Kasihan yang fifty ndak pake formalin itu!” seru Yu Minah berretorika. Lagi-lagi aku cemas menatap mulutnya, jangan-jangan ada yang lompat ke rujakku. Hiiy.
“Terus gimana, Yu? Kalo gak ada acara ini kan kita jadi gak tau,” sanggahku.
“Gini lho Jeng, boleh-boleh aja bikin program kayak gitu tapi mestinya diganti kontennya. Misalnya tips membedakan bakso yang pakai formalin sama yang tidak itu cirinya apa, mencari tahunya gimana, trus menghindarinya gimana, kalo termakan resikonya apa. Gitu aja cukup, gak usah pake diliatin cara bikinnya. Lha itu kan sama aja memberi inspirasi buat pedagang lain yang berniat curang to?”
Hayah, menurutku Yu Minah agak lebay. Masa iya memberi inspirasi?
“Trus misalnya membuat cincau yang dicampur bedak keong itu, masa disiarin sampai detail cara bikinnya, campurannya, sampai perbandingannya. Lha itu sama aja ngajari to?” lanjut Yu Minah sambil mengaduk buah dan bumbu sambalnya.
“Lagipula Jeng, kalo niat si TV ini memang baik, sudah nemu pelakunya ya laporin polisi. Bukannya dijadiin kartun trus diwawancara, kalo sudah dikasih uang. Memangnya kita yakin, si tokoh kartun itu pelaku beneran ato justru orang bayaran? Saya kasihan sama pedangang lain yang jujur. Gara-gara tayangan ini kan jadi pukul rata. Semua pedagang dicurigai, padahal gak semua orang mampu makan di restoran mahal yang dijamin bersih dagangannya to?”
Waduh, Yu Minah ini kalau sudah terpancing bisa panjang lebar ceramahnya. Gayanya yang sok menggurui itu kadang membuatku tak ingin kembali. Tapi rujaknya lazzat banget!
“Yah, selama rating masih tinggi acara ini akan tayang terus, Yu. Kalo gak suka ya ndak usah nonton,” kataku.
“Bukan masalah nonton ndak nonton, Jeng. Wong acara ini yang nonton sak Indonesia Raya jeh. Saya kasihan sama Kang Supri, sepupu saya yang punya pabrik roti rumahan. Sejak ada kecurigaan roti pizza pakai formalin, peminat pizza nya turun drastis. Padahal dia jujur, wong hari ini bikin pizza kalo sampe malem gak laku yo basi kok. Saya nonton tuh acaranya di TV lain, bukan yang ini. Saya jadi heran, berarti semua TV menayangkan acara memojokkan ini ya?”
Yu Minah sudah mulai membungkus rujakku. Maka aku pun segera menyiapkan uang.
“Mungkin mereka menganggap cara ini yang paling tepat untuk mencerdaskan bangsa, Yu. Supaya masyarakat kritis dan sadar akan kesehatan,” kataku sok bijak.
“Ya ndak gitu caranya, Jeng! Masih banyak cara lain untuk mencerdaskan dan mengkritiskan bangsa dari bahaya bahan-bahan ini. Mosok segitu banyak orang pintar di TV gak ada yang punya ide lain?” Sergah Yu Minah sembari mengangsurkan rujak padaku.
“Eh Yu, rujak sampeyan aman kan? Ndak pake formalin kan?” Godaku sambil bersiap melarikan diri.
“Weelhadalaah, apanya yang mau di formalin, Jeng? Bengkoangnya, cabainya? Ngawur sampeyan ini!” Teriaknya kesal sambil mengacungkan ulekannya.
![:mrgreen:](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/552af6dd6ea83405638b4568.gif?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI