Rp 349 triliun gegerkan publik karena adanya transaksi janggal di Kementrian Keuangan pada Maret 2023, lalu. Dikutip dari Jakarta, CNBC Indonesia - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di Yogyakarta pada Rabu (8/3/2023) menjadi awal dari kronologi transaksi gelap yang sampai sekarang belum diketahui ujung ceritanya.
Kasus penganiayaan anak Rafael Alun Trisambodo menimbulkan konflik baru berupa transaksi besar di rekeningnya sebesar Rp 500 miliar. Mahfud juga menyebutkan adanya transaksi mencurigakan sebesar Rp300 triliun tak lain dari Kementerian Keuangan. Di hari yang sama, pukul 13.30 WIB, Kementerian Keuangan menggelar konferensi pers menanggapi pernyataan Mahfud pagi itu. “Memang sampai saat ini kami khususnya Irjen belum mengetahuinya, tapi kami juga belum mendapat informasi apa pun, nanti kami cek” tanggap Awan dalam kapasitasnya sebagai Irjen Kementerian Keuangan.
Pada hari yang sama, Mahfud kembali menyinggung data suratnya yang diduga dikirim sejak 2009, namun Irjen tak kunjung menindaklanjutinya. Memang, informasi sepanjang 2009 hingga 2023 menunjukkan ada lebih dari 160 laporan ke Irjen Kementerian Keuangan, termasuk transaksi mencurigakan yang menyeret lebih dari 460 orang di Kementerian.
Sri Mulyani Indrawati akhirnya menanggapi pemberitaan terkait laporan PPATK berjumlah 196 pada tahun 2009 hingga 2023, namun ia menegaskan telah menanggapi semua laporan yang disampaikan oleh PPATK sendiri dan laporan tersebut berasal dari permintaan Irjen Kementerian Keuangan. Dan lebih lanjut ditegaskannya, tidak ada satu pun surat pelaporan yang memuat angka Rp300 triliun. Ia mengatakan akan melakukan sinkronisasi data dari Pak Mahfud dan Pak Ivan pada angka 300 triliun rupiah.
Selasa (14/3/2023) Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mendatangi kantor Sri Mulyani di Gedung Juanda Kementerian Keuangan sekitar pukul 14.15 WIB. Mahfud memastikan transaksi mencurigakan itu bukan korupsi melainkan diduga tindak pidana pencucian uang. “Oleh karena itu, tidak benar muncul permasalahan di Kementerian Keuangan saat itu yang korupsi Rp 300 triliun. Ini bukan korupsi tapi pencucian uang, pencucian uang lebih besar dari korupsi tapi tidak mengambil uang negara,” tegas Mahfud.
Menkeu kembali menegaskan, Kementerian Keuangan akan terus menindaklanjuti dugaan terjadinya Tindak Pidana Asal (TPA) dan TPPU sesuai ketentuan UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, bekerjasama dengan PPATK dan aparat penegak hukum terkait. PPATK wajib melaporkan ketika ada kasus atau transaksi yang mencurigakan yang berkaitan dengan perpajakan dan kepabeanan.
“Kasus-kasus tersebut secara logika adalah kasus-kasus yang nilainya sangat besar yang kami sebutkan kemarin yaitu senilai Rp 300 triliun. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa ini bukanlah perilaku penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi yang dilakukan oleh pegawai Kementerian Keuangan” papar Ivan.
Digelarnya rapat pada Senin (20/3/2023), bersama Menkopolhukam Mahfud MD, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Ketua PPATK Ivan Yustiavandana. Kesimpulan rapat yang digelar hari ini, transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan sebelumnya berjumlah Rp300 triliun, namun setelah ditelaah lebih lanjut, transaksi mencurigakan tersebut bernilai lebih dari Rp349 triliun.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) MH Said Abdullah menanggapi kasus ini, ia memperkirakan dugaan kasus pencucian uang (TPPU) senilai Rp349,87 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak memiliki perpaduan data yang jelas. Said menjelaskan, terdapat kejanggalan data dibandingkan klarifikasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kementerian Keuangan, baik pada tingkat sebaran nominal total transaksi penjabaran senilai Rp349 triliun dan nama atau nomenklaturnya.
Sedangkan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kembali menegaskan bahwa tidak ada perbedaan data antara Menko Polhukam dengan Menteri Keuangan terkait transaksi agregat Rp 349 T, karena berasal dari sumber yang sama yaitu PPATK. Hal tersebut disampaikan Menkeu dalam Rapat Kerja bersama Komisi III DPR RI, Menko Polhukam, dan Kepala PPATK, Selasa (11/04).
Selain itu, Komisi III juga berencana membentuk panitia khusus untuk menindaklanjuti temuan transaksi janggal Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan. Tujuannya agar data yang ditemukan dapat diolah secara menyeluruh.
“Polemik transaksi janggal ini harus selesai dengan kepastian hukum karena telah menimbulkan keresahan publik. Dengan dibentuknya Satgas TPPU, saya harapkan kasus ini tidak jalan di tempat dan ada kepastian hukum,” ujar Willy Aditya selaku Anggota Komisi XI DPR RI.
Dalam hal perbedaan data antara Menko Polhukam dengan Menteri Keuangan terkait transaksi agregat Rp 349 T, sehubungan dengan asas akuntanbilitas di mana setiap hasil akhir dari kegiatan penyelenggara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Laporan dari hasil kegiatan atau kerja tersebut juga harus sesusai dengan memiliki perpaduan data yang jelas. Karena akuntabilitas merupakan salah satu asas dalam Good Public Governance yang diperlukan agar setiap lembaga negara dan penyelenggara negara melaksanakan tugasnya secara bertanggung jawab. Asas akuntabilitas mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi kepemerintahan dan cara mempertanggungjawabkannya. Kemudian asas tersebut juga terdapat pada Pasal 3 ayat (7) Bab III Undang-undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD juga membeberkan telah melakukan rapat khusus bersama Presiden Joko Widodo, di Istana Kepresidenan, Senin (27/3/2023). Salah satu yang dibahas adalah temuan transaksi janggal temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) senilai Rp 349 triliun.
Pada Rabu (7/6/2023) Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya buka suara terkait dengan daftar tersangka dan terdakwa kasus transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan senilai Rp 349 triliun yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Prastowo juga menekankan daftar tersangka yang dibacakan Ketua KPK Firli Bahuri saat rapat kerja dengan Komisi III DPR itu tidaklah seluruhnya merupakan pegawai Kementerian Keuangan, maka di situ menyiratkan adanya pengembangan.
Nominal transaksi mencurigakan yang diurus dari 33 LHA itu mencapai Rp 25,36 triliun. Rinciannya terdiri dari LHA yang tidak terdapat dalam database KPK sebanyak 2 laporan, dan yang telah masuk ke dalam proses telaah sebanyak 5 laporan. Adapun yang telah memasuki tahap penyelidikan sebanyak 11 laporan, yang masuk ke tahap penyidikan sebanyak 12 laporan, dan dilimpahkan ke Mabes Polri sebanyak 3 laporan. Dengan demikian total laporan yang masuk sebanyak 33 LHA.
Dari 12 LHA yang telah masuk ke tahap penyidikan, ia mengatakan sudah terdapat 16 nama tersangka dan terpidana. Ia pun menjabarkan secara rinci nama-nama orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan terpidana, termasuk jumlah transaksinya yang telah diketahui. Kendati demikian, dia menegaskan bahwa kasus yang menjerat mereka berdasarkan laporan hasil analisis (LHA) PPATK belum tuntas ditelusuri seluruhnya, khususnya terkait tindak pidana pencucian uangnya (TPPU). Maka pengusutannya harus tuntas setelah Satgas TPPU ia bentuk. Komite Koordinasi Nasional Pemberantasan dan Pemberantasan Pencucian Uang (Komite TPPU) telah dibentuk sejak awal Mei 2023 dan akan mengakhiri mandatnya pada Desember 2023.
Pemberitaan hasil analisis Rp 349 triliun atau kontroversi data LHA terkait Kementerian Keuangan harus segera dihentikan agar opini masyarakat tidak simpang siur. Solusi yang diusulkan adalah agar pejabat dari forum yang sama, yaitu Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dapat duduk bersama untuk menyusun data. Jangan biarkan ego industri antar organisasi menghalangi upaya pengungkapan kasus ini.
Mahfud Md menjelaskan progres terbaru di Jakarta Pusat, Senin (11/9/2023). terdapat kendala ketika mengusut kasus tersebut berupa dokumen hilang, dokumen dipalsukan, kasus pidana tidak diusut, sampai direksi pejabat tingginya. Terkait masalah dokumen hilang setelah dicari ternyata ditemukan pula dokumen yang tidak otentik atau palsu. Lalu, terkait dengan pidana yang tidak diusut dikerenakan kasus tersebut hanya diselesaikan oleh kementrian keuangan pada tingkattan sanksi administratif atau sanksi disiplin.
Dalam kasus ini kita mengetahui bahwa adanya kelalaian besar dalam rekap keuangan dan adanya ketidakjujuran dari para anggota mengenai transaksi yang sampai sekarang masih tercatat menjadi masalah. Seharusnya, kementrian lebih teliti lagi dan harus segera bertindak cepat untuk menyelesaikan masalah ini.
Dilain sisi, ia mengatakan, setidaknya ada delapan laporan yang diselesaikan dari total 300 surat terkait transaksi janggal itu. Dari delapan laporan itu, sebanyak delapan orang telah terkena sanksi pemecatan atau diberhentikan.
Dalam kasus ini mengandung asas kepastian hukum yang di mana dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. Kasus ini berjalan sesuai dengan kebijakan hukum dan memberikan informasi pembaruan kepada masyarakat untuk ikut serta mengawal kasus ini hingga tuntas. Seperti yang dikatakan Willy sebagai Anggota Komisi XI DPR RI. Ia meminta masyarakat bersabar dan ikut mengawal kasus transaksi janggal di Kemenkeu. Dengan adanya peran masyarakat, ia berharap kasus kejanggalan transaksi di Kemenkeu dapat terbuka dan ditemukan fakta sesungguhnya.
Terkait tanggapan masyarakat akan kasus ini pun berbeda beda, dikutip dari REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Lembaga Survei Indonesia (LSI) turut menyoroti terkait pernyataan anggota DPR yang menyatakan bahwa seharusnya informasi aliran dana tidak wajar lebih dari Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan tidak disampaikan ke publik oleh Menko Polhukam Mahfud MD. Hasilnya sebanyak 26,8 persen menyatakan setuju dengan pernyataan anggota DPR dan 14,6 persen menjawab tidak tahu atau tidak memberikan jawaban. Selain itu, mayoritas masyarakat yang mengikuti rapat antara Menko Polhukam Mahfud MD dengan Komisi III DPR pada 29 Maret 2023 pun menyatakan lebih percaya dengan keterangan Mahfud daripada DPR.
Akan tetapi adanya asas keterbukaan dalam hal ini, anggota DPR yang memaparkan terkait aliran dana kepada publik telah membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara.
Namun, terdapat dampak di era keterbukaan informasi seperti saat ini mempunyai dampak negatif berupa penyalahgunaan informasi oleh pihak-pihak tertentu demi mencapai tujuan pribadi atau kelompoknya. Adapun dampak positif dari asas keterbukaan ini, yaitu dengan keterbukaan dan transparansi informasi akan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat atau stakeholder meningkat dan pada akhirnya partisipasi stakeholder dam masyarakat meningkat.
Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik ini memberikan kebebasan masyarakat untuk mengakses informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat baik mengenai kebijakan Pemerintah atau Badan Publik maupun penyelenggaraan pemerintahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H