"Anda bisa membaca perasaan? Lucu bukan? Seharusnya Anda mengerti bahwa perasaan saya sudah hampir mati, gara-gara Anda."
"Sebentar lagi saya akan menikah. Tolong Anda jangan datangi hidup saya. Anda cuma lima belas tahun lalu dalam hidup saya. dan sekarang Anda bukan apa-apa lagi."
"Lebih baik seperti ini bukan ? Anda tetap menjadi Anda, dan saya tetap menjadi saya,"
"Saya sudah tidak bisa mengenali Anda lagi. Kenapa ? Karena Anda tetaplah Anda,"
"Anda mau kemana?"
Air matanya luruh, berbaur rintik hujan yang terkadang menjatuhi sisi atas kepalanya dari atap halte yang bolong. Ia menengadahkan wajahnya. Membiarkan rintik hujan sesekali mampir di wajahnya yang tirus. Membiarkannya jatuh membasahi pipinya. Lalu mengalir mengairi wajahnya yang tampak mengering selama beberapa tahun.
"Kamu tahu, saya cuma bisa bilang maaf."
"Saya tahu. Saya adalah Anda buat kamu, dan nggak bisa jadi apa-apa lagi, ataupun menjelma dalam wujud panggilan apa-apa lagi, selain Anda."
"Maaf. selamat tinggal."
"Dek, awas itu atapnya bocor. Sama aja kena hujan nanti." Bapak itu kembali peduli dengan sekitarnya, termasuk dengan perempuan itu-yang dilihatnya tambah basah kuyup.