Mohon tunggu...
Nindya Chitra
Nindya Chitra Mohon Tunggu... Novelis - Pengarang dan Editor Paruh Waktu

Hubungi saya di Instagram atau Twitter @chitradyaries

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

(Review Novel) Terdampar di Pulau Tak Berpenghuni dalam Kehidupan Liar Karya Michel Tournier

30 Juni 2022   19:30 Diperbarui: 30 Juni 2022   19:44 1330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul: Kehidupan Liar

Penulis: Michel Tournier

Penerjemah: Ida Sundari Husen

Jumlah Halaman: 135 halaman

ISBN: 978-602-424-142-1

Rating: 4.8/5.0

 

Blurb:

Kehidupan Liar mengisahkan dua pria yang datang dari dua “dunia” berbeda. Michel Tournier yang menerbitkan karyanya pada 1971 ini menonjolkan tokoh Vendredi dan perkembangan kejiwaan Robinson sebagai manusia yang hidup terkucil jauh dari apa yang disebut “peradaban”, dalam usahanya untuk tetap bertahan hidup dengan jiwa yang sehat.

Awalnya, aku tak punya ekspektasi apa-apa. Setelah mengintip bab pertama dan kelihatannya berat, kutaruh kembali dan selingkuh ke novel lain. Ketika tuntas, kubuka kembali novel ini. 

Seperti biasa, tanpa membaca blurb atau menebak isinya. Kata pengantarnya menarik karena katanya novel ini 50 % hasil terjemahan para mahasiswa Program D-4 Terjemahan, Program Studi Prancis, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia tahun 1989. Berbekal rasa penasaran tentang seperti apa novel yang diterjemahkan bersama-sama, aku mulai membaca dan ... jatuh cinta.

Babnya dikemas pendek-pendek, cocok untuk dibaca dalam rentang membaca singkat. Meski begitu, poin tiap bab jelas, gambaran pulau dan segala keindahan alamnya ajaib, mengingatkanku pada novel Yann Martel yang berjudul Life of Pi yang mana ceritanya hampir mirip: terdampar seorang diri karena kapal karam dan harus bertahan hidup. 

Bedanya, jika Pi Patel bertahan di sekoci bersama harimau benggala dewasa bernama Richard Parker, Robinson Crusoe terdampar di pulau tak berpenghuni yang penuh kekayaan alam. 

Pi tetap dalam keadaan awas dan waras berkat merawat harimaunya, Robinson bertahan dengan membuat peradaban untuk dirinya sendiri di pulau tak berpenghuni itu, menjaga disiplin dan menyibukkan diri dengan segala hal yang bisa dilakukan di pulau yang kemudian dia beri nama Speranza.

Dia punya banyak hal untuk merasa kerasan di Speranza: makanan yang lebih dari cukup, tempat bernaung, hasil panen yang melimpah, beberapa barang berharga dari bekas kapalnya yang tersangkut di karang—hanya satu yang tidak dia miliki dan sangat dia inginkan: seorang teman. 

Jadi, biarpun bisa tetap waras, kadang-kadang dia melakukan hal-hal di luar kesibukannya mengurus pulau demi mengusir rasa bosan: kadang masuk dan mendekam di gua, kadang berkubang di lumpur—yang mana keduanya dia sadari merusak jiwanya, membuatnya tenggelam dalam buai khayalan kehidupan ketika masih bersama anak dan istrinya atau bahkan dalam buaian ibunya ketika kecil dulu. 

Keadaan lengkap namun putus asa ini bertahan sampai kemudian dia bertemu seorang Indian yang secara tak sengaja dia selamatkan dari maut. Namanya Vendredi. Karena merasa berutang budi, Vendredi pun menjadi pelayan Robinson. 

Jika selama ini Robinson menjadi gubernur Pulau Speranza tanpa penduduk, sekarang dia punya satu orang! Pertemuan itu mengubah banyak hal dalam 28 tahun yang Robinson habiskan sebelum akhirnya ada kapal yang berlabuh di pulau itu.

“Sejak bencana terjadi kau ingin semua makhluk yang ada di Speranza memiliki kebebasan, dan tak ada lagi binatang piaraan. Tetapi, mengapa kau menahan Anda di dekatmu?”

“Anda bukan seekor binatang piaraan. Anda bebas. Kambing itu akan tetap bersamaku karena dia mencintaiku. Suatu saat jika Anda pergi, aku tak akan menghalanginya.”

Ada lagi bagian yang menarik. Setiap kali kesal pada satu sama lain, Robinson dan Vendredi punya cara-cara unik melampiaskan perasaan mereka tanpa merusak kasih sayang dan hubungan pertemanan. 

Hanya ada ketulusan, perasaan saling menjaga dan memiliki, juga akhirnya ... kebebasan. Mereka menunjukkan padaku bagaimana cara hidup dengan begitu ringan dan penuh syukur tapi tetap bersemangat. Sebuah kemurnian seperti Speranza.

Tidak ada yang tak aku sukai dari novel ini. Tapi kalau memang perlu, sebagai penyeimbang begitu banyak pujian, ada satu: kisah ini punya akhir yang menimbulkan semacam perasaan kosong dan renungan panjang. 

Setelah begitu banyak kebebasan dan petualangan, kesedihan itu datang secara mendadak dan tak terselesaikan. Mungkin penulis ingin para pembacanya menyelesaikan tanya dan kosong yang tersisa di benak masing-masing.

Novel ini cocok untuk kamu yang menyukai cerita petualangan yang tidak hanya seru, tapi juga mengandung banyak nilai kehidupan. Tertarik membacanya juga?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun