Mohon tunggu...
Chi Sin Gendon
Chi Sin Gendon Mohon Tunggu... profesional -

pertama melihat dunia di kota kretek midle java waktu subuh hari,mencari rizki yang semoga barokah di borneo land (Kalsel,Kalteng,Kaltim).............OutdooR ActivitY

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Berbagi Air Kencing Di Tower II Parang

23 September 2014   03:40 Diperbarui: 27 Agustus 2015   13:48 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Genap limabelas tahun yang lalu kami sebagai tim pemanjat tebing dari AR2PELA Kudus , melakukan Ekspedisi kecil yang kami beri nama “Ekpedisi Kemerdekaan ‘99”, Tim ini di tugaskan untuk memanjat tebing parang yang berlokasi di Kampung Cihuni Desa Suka Mulya, Kecamatan Tegal Waru Kabupaten Purwakarta Jawa Barat.

 

Saat bersih-bersih dan merapikan sekertariat AR2PELA di awal September kemarin, kutemukan sebuah catatan kecil yang dulu pernah di jadikan bahan presentasi pasca ekspedisi, catatan kecil inilah yang di bagikan kepada audien presentasi pada 10 Oktober 1999, dan catatan kecil ini pula yang mampu memutar ulang ingatan saya akan peristiwa berbagi minum air kencing di ketinggian tower 2 tebing parang.

 

Tim Ekspedisi ini terbagi menjadi dua bagian, di antaranya tim inti (pemanjat) yang di ketuai Muhlisin (Panjul/penulis), dengan anggota Hamdan Malik,Kristanto “Gundul” Eko Wibowo dan Hendro Busono (alm) yang meninggal empat tahun kemudian setelah ekspedisi ini. Dan tim pendukungnya adalah M. Mukhlis “Ndewo”, Unsiyyah dan tamu Dina Faraida dari Wapalhi Inisnu Jepara.

 

Dengan menumpang kereta senja utama dari stasiun poncol semarang, tim turun di stasiun karawang sekitar pukul Sembilan pagi, yang di lanjutkan dengan naik angkutan umum menuju desa Cihuni Purwakarta, saat turun dari kendaraan umum di sambutlah kami oleh seorang bapak berambut putih dengan kain sarung melingkar di perutnya dan sebuah parang terselip di pinggangnya, dengan suara ramah dan logat sundanya yang kental bapak tersebut mengulurkan tangan sambil menyebut namanya Rifa’i. bapak Rifa’i itulah yang kemudian membawa kami kerumahnya yang sejuk dan asri rumah, panggung dengan model khas sunda yang berdinding anyaman bambu dan juga berlantai kulit bambu, yang mana menurut pak Rifa’i anyaman bambu itu sudah berumur sekitar 50 tahun.

 

Rumah pak Rifa’i memang selalu menjadi base camp setiap orang yang datang untuk memanjat tebing parang, pak Rifa’i di jadikan juru kunci tebing parang dan setiap tamu yang akan memanjat tebing parang harus menulis buku tamu yang ada di rumah pak Rifa’i.

 

 

 

Hari Pertama ( 13 September 1999)

 

Senin pagi 13 september, yang di dahului dengan do’a bersama kami di antar pak Rifa’i menuju kaki tebing parang, puncak hanoman atau yang sering di kenal dengan tower 2 adalah tujuan pemanjatan kami, sekitar tigapuluh menit sampailah kami di bawah tebing yang kami maksud.

 

Sebagian tim membangun tenda untuk bermalam, dan sebagian tim yang lain mempersiapkan peralatan untuk pemanjatan, tepat sekitar pukul 09.45 pemanjatan di mulai dan Hendro dapat jatah sebagai leader (perintis jalur) pertama di hari itu, dengan memasang phyton vertical blade (paku tebing) sebagai tambatan pertama dengan tinggi 5 meter dari tanah, setelah yakin pengaman pertamanya kuat Hendro melanjutkan pemanjatan, tetapi jalur keatasnya blank (tanpa cacat pegangan) dan Hendro harus transfer bergerak ke arah kanan sekitar 7 meter menuju crack (celah tebing), dan berhasil menambah dua pengaman dengn ketinggian hampir satu pitch. (satu pitch rata-rata 40 sampai 50 meter).

 

Untuk menuju picth kedua Hamdan melanjutkan tugas Hendro sebagai leader, di pitch kedua ini harus benar-benar pemanjat yang lincah karena rute yang di lewati rute yng muskin pegangan dan pijakan, baru satu stooper (pengaman sisip) di pasang, khamdan sudah celingukan kesulitan mencari celah untuk memasang pengaman berikutnya karena yang di hadapai tebing vertical blank, saat berusaha transfer ke arah kiri Hamdan teriak PUUUULLLLL……sebagai Belayer (penambat pemanjat) aku pun sigap mengencangkan tali, itupun Hamdan masih terlempar sekitar 4 meter, setelah terdengar suara bersiul dan menyanyi akupun lega, artinya Hamdan baik-baik saja dan baru menghibur diri supaya tidak takut dan timbul semangat melanjutkan pemanjatan lagi, setelah tenang dan bangkit keberaniannya Hamdan pun mengulagi pemanjatan, setelah dengan usaha maksimal Hamdan pun berhasil mencapai crack (celah), dan melalui crack lurus ke atas itulah Hamdan beerhasil memasang 6 pengaman sisip sampai sekitar 45 meter yang di akhiri dengan sebatang pohon sebagai tambatan pitch 2.

 

Tepat saat bayangan ada di kaki, dan sang surya sedang onfire, saya kebagian jatah sebagai leader untuk membuka jalur pitch ke tiga dan hamdan sebagai belayer, kalau melihat permukaan tebingnya saya harus banyak banyak memasang pengaman, permukaan tebing jalur pitch 3 ini berwarna kuning kekarat karatan dan mengelupas batuannya, dengan palu ku pukul pukul permukaan tebing untung mencari celah yang kuat, tapi rata-rata saat kupukul suaranya cempereng yang berarti batuannya lapuk, ku dapati celah sempit ku masuki jari telunjuk ku bersihkan, lalu ku pasang chock stooper no. 3 ( pengaman sisip) untuk pengaman pertamaku, coba ku bebani dengan hentakan badan beberapa kali sudah kuat dan tak bergerak lagi pengamanku itu, setelah yakin pengaman tadi kujadikan pijakan untuk menambah ketinggian, tapi dengan sekeras suara ku teriakan PUUUULLL…..aku jatuh terlempar sekitar 5 meter,karena batuannya yang rapuh mengelupas saat ku bebani, dengan sigapnya Hamdan mengencangkan tali supaya aku tidak jatuh terlalu jauh, ku ulang lagi pemanjatan dengan ekstra hati-hati saya memasang pengaman dengan jarak yang relatif berdekatan, hingga sekitar 30 meter saya memasang sekitar 9 titik pengaman, dengan pelan saya menambah ketinggian tapi sampai tali habis tidak bisa maju lagi saya belum dapat tempaat untuk memasang pengaman terakhir sebagai anchor (tambatan), sekitar 7 meter di atas ku lihat ada celah yang bisa untuk membuat tambatan terakhir sebelum turun dan saya berhasil mencapainya dan berakhirlah pemanjatan hari pertama pukul 17.15 Wib, dengan ku belay dari atas Hamdan pun membersihkan beberapa pengaman yang telah ku pasang tadi, untuk malam ini kami semua turun lagi tidur di bawah ngumpul tim pendukung.

 

 

 

Hari Kedua (Selasa 14 September 1999)

 

Selasa 14 september pukul. 08.30 satu persatu kami Ascending (meniti tali) ke pitch 3, setelah semua kumpul di pitch 3, Hendro kebagian tugas sebagai leader (pembuka jalur) dan Kristanto “Gundul” Eko Wibowo sebagai belayer (pengaman leader), di awal pemanjatannya Hendro memasang pengaman dengan memasukkan tali prusik ke sebuah akar yang nonjol keluar dari dalam tebing, di rute pitch 4 ini pemanjatan relatif mudah karena permukaaan tebing scrambling dan cacat tebing lebih banyak sehinhgga pilihan pegangan lebih banyak, sehingga dengan cepat Hendro bisa menyelesaika pemanjatan dengan cukup memasang 6 titik pengamna saja, dengan meniti tali yang telah di pasang Hendro selanjutnya Gundul bertugas sebagai Cleaner (membersihkan semua pengaman yang di pasang) Hendro, dan di teruskan saya dan Hamdan Ascending ke Pitch 4, Karena Pitch 4 ini tempatnya agak teduh maka di putuskan untuk istirahat dan makan siang.

 

Setelah matahari agak condong ke barat sekitar pukul. 14.05 Wib, Hamdan memulai pemanjatan rute pitch 5 dengan Gundul sebagai belayernya, dalam pemanjatan ini hamdan mengalami kesulitan karena peralatan pemanjatan yang di sangkutan di pinggang kiri-kanan dan punggung tersangkut ranting pohon yang ada di sampingnya, dan sangat mengganggu pergerakan Hamdan untuk menambah ketinggian, dengan susah payah Hamdan mencoba lepas dari ranting yang mengganggunya dengan cara memasang pengaman terlebih dahulu baru membabat ranting yang nyangkut di punggungnya, dengan lepasnya ranting yang mengganggu, Hamdan berhasil menambah ketinggian sekitar 25 meter dengan memasang 6 titik pengaman.

 

Langit mulai redup saat Hamdan menyelesaikan Pitch 5, tetapi kami belum mendapatkan tempat yang nyaman untuk tidur malam ini, untuk mengejar waktu setelah ku lepas semua titik pengaman, saya pun melanjutkan tugas Hamdan melanjutkan pemanjatan, dan baru sempat ku pasang 2 titik pengaman sudah keburu terdengan suara adzan maghrib dari Mushola kampung Cihuni, inilah camp pertama yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari pitch 5, sampai terdengar suara adzan isya’ semua anggota tim belum bisa kumpul, karena Hamdan masih ascending yang nanti selanjutnya di susul Hendro dan Gundul, sekitar pukul 21.00 wib baru genap dan kumpul di camp untuk tidur semalam yang cukup hanya untuk menaruh pantat dan kaki menggantung, sebelum tidur kami harus nunggu cahaya senter dari teras rumah pak Rifa’i sebagai absen dari beliau,dan kami harus membalas cahaya senter itu dengan senter pula sebagai tanda bahwa kami baik baik saja, begitu terus tiap habis subuh dan habis maghrib.

 

 

 

Hari Ketiga ( Rabu 15 September 1999)

 

Petaka mengusik kelelahan kami di pagi hari, sebuah alat sebagai bukti yang menerangkan bahwa AR2PELA Kudus pernah memanjat di puncak Hanoman ini ngambek tidak mau kerja sama, yang mana kamera satu satunya kami ngadat tidak berfungsi, semua sepakat bahwa kamera memang rusak dan dokumentasi hangus, dan sepakat walaupun tanpa dokumentasi photo, pemanjatan harus tetap di lanjutkan, dan seperti biasa Hendro selalu menjadi leader di pagi hari, 07.00 Wib Hendro sudah mulai mencubit celah-celah batu panas yang disinari matahari pagi, dengan sabar dan pandangan waspada Gundul membelay Hendro yang dengan hati hati memijakan kakinya di celah celah tipis tebing parang, dengan sabar dan telaten Hendro berhasil menambah ketinggian sekitar 31 meter dengan 7 pengaman sisip yang di akhiri dengan 3 titik pengaman sejajar sebagai tambatan pitch 6.

 

Dengan meniti tali tetap yang di pasang Hendro di pitch 6 sayapun melepas semua pengaaman yang telah di pasang Hendro, dan kulanjutkan sebagai leader untuk merintis jalur pemanjatan ke pitch 7, ternyata permukaan tebing tidak bisa di panjat lurus ke atas, tetapi saya harus transfer ke kanan mengikuti barisan panjang rumput kering yang tumbuh di celah celah tebing, agar bisa memasang pengaman sisip, dengan satu tangan kiri saya harus mencabuti rumput yang ada, dengan memasang 3 pengaman menggunakan python vertical blade (paku tebing untuk celah vertical) dan 4 chock stooper (pengamaan sisip), sampai jarak rentang tali dinamis (tali lentur) yang terikat di harness (sabuk pengaman) habis, dan pengaman terakhir sekitar 6 meter jauh di bawahku tetapi belum jugaa ku dapatkan celah untuk anchor (tambatan) pitch 7, supaya saya bisa bergerak naik lagi dan mendapatkan celah untuk anchor, Belayer Hendro terpaksa meyambung dengan tali static (tali tidak lentur) hingga akhirnya saya bisa menambah ketinggian sekitar 9 meter dan bisa memasang anchor untuk tambatan pitch 7 dan hari ini saya menambah ketinggian sekitar 35 meter.

 

Di pitch 7 ini saya ada kesempatan istirahat lebih panjang, karena harus menunggu Hamdan melepas semua pengaman yang telah ku pasang, tambah lagi menunggu Hendro dan Gundul yang akan hauling logistik ke pitch 7 yang memakan waktu lama, setelah semua kumpul baru makan minum dan sedikit memanjakan bibir dan tenggorokan yang hitam kekeringan.

 

Semilir angin membelai bulu mata, tapi tak rasa ngantuk pun tak datang jua, karena batu tempat yang kami duduki ini serasa tungku di atas bara yang di bakar terik matahari 13.00 Wib. Dengan raut kusut kecapaian Hamdan tetap menjalankan tugasnya, dengan sabar mencumbu membelai dan mengelus muka kasar batu andesit tebing parang guna mencari pijakan kaki dan pegangan untuk menambah ketinggian, setengah jam sudah Hamdan merayapi mulusnya rute arah pitch 8, celingak celinguk kiri kanan tapi belum juga mendapatkan celah yang bisa di pasang pengaman, hanya satu cara supaya bisa memasang pengaman, Hamdanpun memasang pengaman sementara skyhook (jangkar pengait), handrill pun di pukul kuat-kuat dengan hammer demi sebuah lubang untuk baut hanger pengaman, dan kini satu persatu hanger telah terpasang, dan Hamdan bisa menambah ketinggian sekitar 35 meter setelah memakai 5 hanger dan satu python horizontal blade sebagai penutup rute pitch 8 ini.

 

Sambil istirahat, Hamdan menunggu Gundul yang bertugas menyapu pengaman yang di pasang Hamdan, dan lagi-lagi Hamdan harus menjadi leader pembuka jalur rute pitch 9, di jalur ini karakter permukaan tebing tetap sama dengan jalur pitch 8 tadi, sama-sama miskin celah untuk memasang pengaman sisip, untuk pemanjatan pitch 8 dan pitch 9 bagi Hamdan bukan masalah, tapi yang sangat merepotkannya dia harus memasang 6 hanger hingga ketinggian sekitqr 31 meter dari pitch 8 ini.

 

Selesai sudah Hamdan memasang pengaman terakhir yang juga sebagai anchor pitch 9, kulanjutkan dengan menyapu semua pengaman yang di pasang Hamdan, yang di barengi dengan redupnya cahaya matahari memantulkan bias kemerahan di kilapan air waduk jati luhur, dan malam ini kami harus tunduk pada alam, tanpa hak tawar atau negosiasi, maka kami harus tidur menggantung dengan kain sarung seperti bayi dalam ayunan bundanya, lokasi tidur malam ini jauh dari nyaman, di banding malam kemarin yang masih bisa dengan duduk sandaran tebing dan kaki menggantung.

 

Setelah malam mendinginkan badan kami yang seharian di panggang di atas panasnya batuan parang, dan kini kerlap kerlip cahaya kampung Cihuni menjadi perhatian kami, sambil menunggu cahaya yang lain muncul dari teras rumah bambo nan asri, cahaya itu sebagai cahaya absen dari pak Rifa’i bahwa kami masih sehat dan melanjutkan pemanjatan, dari pada lelah dan tergantung dalam nganggur semalaman, dengan di bantu Gundul dan di bantu gelapnya malam, dengan menggunakan dua lapis kain sarung, Hamdan mencoba membongkar kamera yang sempat ngadat seharian, hanya dengan cara meraba di dalam sarung yang berlapis, Hamdan dan Gundul berhasil memperbaiki kamera satu satunya yang sempat membikin kami ketar ketir seharian tanpa photo sebagai bukti jerih payah kami memanjat tebing parang ini.

 

 

 

Hari Keempat ( Kamis 16 September 1999)

 

Semakin hari tenaga kami makin berkurang di ikuti pula perbekalan air semakin menipis, satu botol M150 itulah sisa terakhir air kami, dan semakin tinggi kami memanjat semakin jauh pula kami meninggalkan rimbunnya hutan Cihuni di kaki tebing yang mampu membantu netralisir panasnya matahari yang dengan konsisten membakar gundukan batu raksasa tebing parang ini.

 

Berlomba dengan waktu supaya tidak kalah dengan sengatan matahari di siang bolong, pukul 07.00 Wib Hendro sudah mulai meraba dan menginjak celah-celah tebing yang masih bersahabat sebelum di bakar sang surya di siang nanti, tapi jalur menuju pitch 10 ini tidak ada bedanya dengan jalur pitch 8 dan pitch 9 yang di buka Hamdan kemarin, jalur ini sama-sama miskin celah untuk memasang pengaman sisip, semua alat artificial (pengaman buatan) tidak berfungsi, dan supaya bisa melewati rute ini Hendro pun harus memasang sekitar 3 hanger sampai mendapat tempat untuk anchor pitch 10 sebagai titik tertakhir Hendro memanjat, dengan menggunakan Jumar (alat pegas) Hamdan menyapu semua pengaman yang di pasang Hendro dan selanjutnya Hamdan akan menjadi leader menggantikan tugas Hendro membuka rute pitch 11.

 

Jam di tangan menunjukan pukul 10.15 Wib Hamdan sudah siap membuka rute pitch 11, tapi Hamdan mengurungkan niatnya untuk memanjat, dngaan alasan sudah tidak kuat memanjat di bawah terik matahari, saya pun menyuruh Gundul untuk menggantikan tugas Hamdan membuka rute pitch 9 , dengan terpaksa Gundul pun menyandang semua perlengkapan yang sudah siap di samping Hamdan, tapi akhirnya Gundul ku batalkan juga untuk memanjat, karena kesehatan anggota tim tidak sempurna untuk memanjat di siang ini, dan semua sepakat istirahat di antara gundukan batu sambil menyembunyikan kepala di dalam celah tonjolan tebing sambil meunggu matahari teduh atau pukul 14.00 Wib.

 

 

 

Sengatan Panas Yang Sempurna

 

Hari ke empat ini pemanjatan tidak banyak menambah ketinggian, banyak waktu yang terbuang sia sia hanya untuk berteduh dari sengatan matahari, semua anggota tim tak berdaya menyiasati sengatan matahari bulan September ini, di saat Hamdan dan Hendro sudah lebih dahulu sampai di pitch 10, saya dan gundul masih berkutat di bawah dengan membawa logistik menyusul ke pitch 10. Baru pukul 09.20 Wib panas matahari sudah membakar tebing dan memanggang kami atasnya, sambil menunggu kedatanganku di pitch 10, demi mengusir rasa haus yang menyengat lehernya, Hamdan dan Hendro terpaksa meminum air kencing masing masing.

 

Setelah ku rasa cukup waktu istirahatnya dan matahari mulai teduh tergelincir ke arah barat, pada pukul 13.45 Wib dengan di belay Gundul saya mulai memanjat rute pitch 11 yang sempat tertunda sekitar 4 jam tadi, masih seperti pitch sebelumnya permukaan tebing ini miskin celah untuk pengaman dan pijakan, sehingga harus kugunakan bor to bor rata rata satu meter satu hanger, hingga menambah ketinggian 20 meter dengan16 hanger yang terpasang, dan ku akhiri sampai di situ ku pasang anchor pith 11, setelah kupasang pengaman Gundul pun menyapu semua pengaman yang ku pasang, dan Gundul melanjutkan membuka rute pitch 12 dengan saya sebagai belayernya, jalur arah pitch 12 ini mempunyai kemiringan scrambling (miring sekitar 45 derajat) sehingga Gundul agak mudah memanjat meskipun dengan ekstra hati-hati dia bisa menambah ketinggian sekitar 36 meter dengan memasang 5 hanger sudah sampi titik akhir pitch 12, akupun segera menyapu semua pengaman yang di pasang Gundul, dan untuk kedua kalinya Gundul menjadi pembuka rute pemanjatan arah pitch 13, yang mana pada jalur ini Gundul memanjat dengan membabi buta karena di kejar merahnya langit di sebelah barat pertanda berakhirnya tugas matahari pada di sore ini, jalur sertinggi 31 meter hanya di pasangi sekitar 3 pengaman hanger yang di akhiri dengan sebatang pohon beringin sebesar lengan tanganku sebagai titik akhir pemanjatan dan pengaman pitch 12 sekaligus tempat berlindung dan bermalam untuk kami berempat stelah pukul 20.30 Wib anggota tim baru bisa genap ngumpul di bawah pohon kecil itu.

 

 

 

Hari Kelima ( Jum’at 17 September 1999)

 

Sebelum matahari pagi sukses memanggang kami, ku coba mendahuli menyelesaikan pemanjatan jalur neraka ini, tepat pukul 06.00 Wib dengan di belay Hamdan, mungkin karena pengaruh cape dan tekanan mental ke titik rendah dengan nekat ku bawa perlengkapan yang minim supaya tidak terlalu berat dan tidak mengganggu pergerakanku saat memanjat nanti, supaya tidak usah memasang pengaman dengan memanfaat pohon pohon yang bertumbuhan di permukaan tebing ku lalui jalur ini denga zig-zag di antara pohon, supaya kalau saya jatuh masih tersangkut di antara pohon, dalam waktu sekitar 30 puluh menit berlalu, dengan lantang dan berair mata ku teriakkan PUNCAAAAKKKKKK….., yang berikutnya di susul teman teman meniti tali tetap yang sudah ku pasang, kemudian menyayikan kagu Indonesia raya dan syukur serta pembacaan Khamdalah bersama.

 

Dengan double rop (dua tali ) pukul 07.30 Wib Hamdan mendahului turun dan di ikuti Hendro, Gundul lalu saya paling terakhir, kami harus turun secepatnya, karena hari ini kami sudah tidak punya air minum, air minum terakhir sudah kami bagi tadi pagi sebelum pemanjatan dengan satu tutup botol M150 perorang, di saat turun menjelang lintasan keempat sambil menunggu Hamdan dan Hendro selesai memakai tali, dengan wajah yang lelah terbakar matahari,gundul tiba-tiba ngomomg kalau dia kepanasan dan haus, untuk menghilangkan panas dan hausnya itu Gundul meminta supaya aku kencing di bandana, lalu air kencing itu di minum dan sisanya di buat cuci muka supaya tidak terlalu panas, akhirnya akupun turut meminumair kencingku sendiri untuk menghilangkan cekikan dahaga di leher ini.

 

Supaya kami bisa berteduh dan bisa menghindari terik matahari maka di putuskan turun ke arah celah antara tower 2 dan tower 3, setelah sampai celah sekitar pukul 09.00 Wib maka kami putuskan istirahat di antara bebatuan yang sejuk terlindung pohon, sampai suhu badan turun dan kami bisa komunikasi dengan normal, dalam istirahat dan tiduran telanjang memeluk batu yang sejuk, Hendro dan Gundul menemukan kapulogo (sejenis empon empon) yang tumbuh di antara semak bebatuan, kemudia kapulogo itu di tumbuk halus pakai hammer lalu airnya di peras dan di campur nutrisari sachet, dan di bagi 4 dengan takaran satu tutup botol M150 perorang.

 

Pukul 14.10 Wib setelah istirahat dan di rasa suhu tubuh mulai normal, Hamdan mulai membuka jalur turun lagi yang kemudian di ikuti Hendro dan Gundul sedangkan saya sendiri turun paling terakhir karena mendapat tugas sebagai penyapu jalur. Tiga jam kemudia semua pemanjat sampai di bawah dan mendapati tim pendukung dengan ekspresi muka pucat, cemas, menangis dan tersenyum, di karenakan terputusnya komunikasi HT, sehingga tim pendukung tidak tahu bagaimana kondisi tim pemanjat dan di mana berada tim pemanjat sejak hari keempat tim pendukung sudah tidak bisa melihatnya. (AR2.930039)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun