Malam itu, setelah selesai memeriksa kondisi Kevin dan Rani, Dinda duduk di bangsal, merenung tentang pekerjaannya. Ia tahu, pekerjaan ini menuntut banyak, baik secara fisik maupun emosional. Terkadang, Dinda merasa sangat lelah. Bukan hanya karena jam kerja yang panjang, tetapi karena beban emosional yang ia rasakan. Setiap kali ia mendengar kabar bahwa kondisi salah satu pasiennya memburuk, hatinya ikut sakit. Ada rasa tanggung jawab yang berat, seolah-olah ia harus melakukan lebih untuk meringankan penderitaan mereka.
Namun, di saat-saat seperti itu, Dinda selalu ingat akan mengapa ia memilih jalan ini. Sejak kecil, ia selalu ingin membantu orang lain. Menjadi perawat adalah mimpinya, dan meskipun jalan ini penuh tantangan, ia merasa ini adalah panggilan hidupnya. Ia ingin membuat perbedaan, sekecil apa pun, dalam kehidupan anak-anak yang sedang berjuang melawan kanker.
Pagi berikutnya, Dinda datang lebih awal dari biasanya. Kevin sudah menunggunya, kali ini dengan bola yang sama di tangannya. “Kak Dinda, hari ini aku mau latihan, ya? Ayo main bola!” seru Kevin dengan antusias, meskipun napasnya terdengar agak terengah.
Dinda menahan air mata. Ia tahu, Kevin selalu membawa bola itu sebagai simbol harapan. Setiap kali ia mengangkat bola itu, ia sedang bermimpi tentang hari di mana ia bisa kembali berlari di lapangan, bermain bersama teman-temannya. Meskipun Kevin mungkin tahu bahwa mimpinya mungkin tidak terwujud dalam waktu dekat, ia tetap berpegang pada harapan itu.
“Kita akan main bola, Kev. Suatu hari nanti, kita akan main,” jawab Dinda dengan senyum tulus.
Hari-hari berlalu, dan di bangsal anak, suka dan duka terus bergulir. Ada momen-momen ketika anak-anak menunjukkan kemajuan yang luar biasa—mereka mulai tertawa lebih sering, berjalan lebih jauh, atau bahkan mulai makan dengan lebih baik. Dinda selalu merasa sangat bahagia ketika melihat anak-anaknya semakin kuat.
Tetapi ada juga hari-hari gelap, ketika satu atau dua pasien harus pergi terlalu cepat. Kehilangan adalah bagian yang paling sulit dalam pekerjaan ini. Dinda selalu merasa ada bagian dari dirinya yang ikut pergi bersama mereka. Malam-malam setelah itu selalu terasa panjang, dengan pikiran yang berputar tentang apa yang bisa ia lakukan lebih baik, bagaimana ia bisa lebih membantu.
Namun, setiap kali ia merasa putus asa, Dinda selalu kembali ke satu hal yang membuatnya terus bertahan: cinta. Cinta pada pekerjaannya, cinta pada anak-anak yang ia rawat, dan cinta pada harapan. Ia percaya bahwa selama ia bekerja dengan cinta, ia sudah melakukan yang terbaik.
Suatu pagi, ketika Dinda sedang bersiap untuk bertugas, seorang dokter menghampirinya dengan senyum di wajah. “Kevin kondisinya mulai membaik, Din. Dia menunjukkan respons yang baik terhadap pengobatan terakhirnya.”
Dinda merasakan hatinya melompat. Setelah berminggu-minggu melihat Kevin berjuang keras, akhirnya ada kabar baik. Dinda berlari ke kamar Kevin dan menemukan bocah itu tersenyum lebar, dengan bola merah kecil di tangannya.