Insiden ini juga terjadi menjelang Pemilihan Umum 2019 dan Pemilihan Presiden 2019. Partai-partai politik sudah mulai bergerak untuk mencari dukungan terhadap calon legislatif maupun calon presien yang mereka usung. Tidak heran jika kejadian atau insiden tertentu dapat dijadikan sarana kampanye atau propaganda partai politik secara tidak langsung melalui aksi massa.
Namun, insiden kali ini menimbulkan multi tafsir mengenai makna bendera tersebut: apakah bendera itu adalah bendera bertuliskan kalimat Tauhid semata atau bendera tersebut merupakan Bendera Hizbut Tahrir Indonesia, yang merupakan organisasi terlarang di Indonesia, yang kebetulan menggunakan kalimat Tauhid di benderanya? Perkembangan politik dan opini publik pasca-Aksi Bela Islam 2016 juga memengaruhi hal ini.
Lagi pula, dalam Islam (terutama mazhab Syafii yang umum di Indonesia) diajarkan bahwa untuk menjaga kesucian suatu mushaf (lembaran) Alquran maka lebih baik agar mushaf tersebut dibakar hingga jadi abu daripada dibuang atau disobek sehingga dianggap menghinakan tulisan Alquran. Alasan inilah yang digunakan oknum dari ormas tersebut untuk membakar benderanya daripada dibuang ke air comberan sehingga bisa sangat menghinakan kalimat tauhid di dalamnya.
Berbagai argumen di atas mungkin dapat dijadikan prediksi bagi kita semua mengenai apakah akan ada Aksi Bela Islam gelombang kedua yang berskala nasional atau tidak. Meskipun akan ada aksi ataupun tidak, penulis berharap bahwa kita harus tetap menjaga toleransi antar umat beragama, membina persatuan dan kesatuan, serta menghindari dan mencegah munculnya hasutan-hasutan berbau SARA dan perpecahan terutama menjelang masa-masa mendekati pemilihan umum dan presiden.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI