"Bukan tidak boleh. Tapi sesuaikan dulu dengan keadaanmu."
"Maksudmu apa, Tib?"
"Kamu pelajari dulu tentang akidah, mengenal Tuhanmu secara benar. Kepada siapa kita beribadah harus jelas dan terarah alias betul-betul paham tentang ketauhidan. Kemudian belajar pula tata cara ibadah-ibadah lahiriyyah. Tata cara bersuci dari hadats kecil, hadats besar, tata cara shalat san sebagainya, alias belajar fikih. Kemudian setelah itu baru kamu mendalami dunia ini," ujarnya sambil mengangkat buku yang tadi diambilnya, "dunia sufi, dunia hati," lanjutnya.
"Memangnya bahaya jika aku langsung mendalami ini?" tanyaku pelan.
"Tidak bahaya sebetulnya jika cuma sekedar membaca," ia nyumet rokoknya sebelum melanjutkan, "Jika mendalami ini langsung tanpa pendalaman tauhid dan fikih, maka itulah cerminan nafsu dalam belajar, nafsu dalam bertuhan."
Aku diam.
"Kamu ingin jadi baik bukan?"
"Ya," aku mengangguk.
"Kamu tahu orang baik itu seperti apa? Bagaimana?"
Aku tak menjawab meski ada yang ingin kuungkapkan sebagai jawaban. Takut salah.
"Kalau kita mengaku islam, bahkan diluar islam pun mengakui, bahwa orang terbaik adalah Nabi kita Muhammad. Maka, orang baik adalah orang yang segalanya bercermin kepada beliau."