[caption caption="FC/kompasiana.com"][/caption]
Rabu, 13 April 2016
Â
Dear Diary,
Kamu setia menampung segala kesahku yang tertahan selama ini. Rasa yang terpendam, kata yang tak terucap kutuang melalui tinta yang sama dan padamu pula.
Kini goresan- goresan itu membuatku tergelak. Diksi liris yang mencitrakan perasaan yang kental. Mulai dari benci, jijik, tak suka, sedih, marah, bahagia, takjub, sampai bingung ada di lembaran- lembaranmu. Air mata, coretan, lukisan, tekanan goresan yang menyobek kertasmu, semua emosiku terluap di sini. Aku berhasil empati pada diriku sendiri! Ini adalah keajaiban. Sungguh menakjubkan :)
Â
Diary,
Aku ingin mengajukan permintaan. Kupastikan tak ‘kan ada penyesalan apapun dari pengajuan ini.
Â
Diary,
Kita putus.. Putus hubungan.
Jangan sesali aku. Kau telah bersedia menyimpan setiap rasa dengan sepenuh hati. Oleh karena itu, terimalah permintaan maafku yang sepenuh hati pula.
Â
Rendy. Nama yang selalu kusebutkan itu, yang tak jenuh tersenyum dungu itu, yang selalu berusaha hadir di kisahku, yang selalu berkamuflase di belakangku, yang selalu memberi bumbu jengkel pada kisahku, yang selalu siap menjadi tempatku berlabuh –mengenai pilihan kata terakhir itu, aku tak bercanda, Diary –ternyata adalah seorang yang kubutuhkan.
Keadaan rumah yang nyaris retak membuatku putus asa. Ide untuk mengistirahatkan jantung yang berdetak ini sudah terbersit di benakku tadi siang. Mau bagaimana, Diary? Aku selalu mengalah dan berusaha mempertahankan mereka dengan sepenuh hati dan perjuangan. Namun mereka tak satu pun yang ikut berusaha. Aku melakukannya untuk Ayah dan  Ibu, tapi mengapa mereka tidak mau melakukan apapun untuk mereka sendiri? Aku merasa semua upayaku sia- sia. Aku lelah, tak berdaya.
Aku rindu kedua Kakekku main catur bersama. Aku rindu semua Bibi dan Omku tertawa bersama. Aku rindu kami –Ayah, Ibu dan Aku –makan malam bersama, lagi.
 [caption caption="unknown/oneworldnews.com"]
Tangisku pecah di pundaknya. Semua keluh kesah tertahan kini dapat mengalir deras padanya. Ia menampung semua masalahku, tentu saja kini aku memercayainya. Diary, tahukah kamu? Alih- alih mengganggu dan membuatku semakin gusar, dia memberi respon; solusi, pendapat, atau paling tidak kata- kata yang menyejukkan dan menyegarkan jiwaku yang sering kering ini. Dialah pelabuhan kesedihan dan kebahagiaanku kini, wahai Diary.
Silakan menertawakanku, aku pantas mendapatkannya. Jiwa sekaratku yang tak berdaya itu, entah bagaimana, yang mengangkat katarak pada mataku. Mata hati. Kini dapat melihat jernih kebaikan- kebaikan di sekitarku.
Keajaiban telah terjadi. Sekian lama aku tak merasakannya lagi, Aku melihat.
Iya, kini aku tersipu malu. Mengapa baru sekarang aku menyadari itu. Namun aku juga bersyukur, daripada tidak pernah sama sekali, kan, Diary?
Diary, aku merasa bodoh. Selama ini aku dilanda gulana dan keresahan seakan meragukan Tuhan yang kumiliki. Satu buah emas yang baru saja kupetik: Tuhan sudah menyediakan yang kubutuhkan di sekitarku. Aku hanya perlu menyadari, melihat, dan membuka hati.
Diary, terakhir ini aku baru sadar, engkau bagaikan air tenang yang bersedia menampakkan bayanganku sendiri –cermin.
Kehidupan rasanya kian nyata. Segar. Seolah aku baru saja bangun dari tidur panjangku yang lelap; bebas dari batasan dunia mimpi. Dan kini, hidupku baru saja akan dimulai.Â
Â
Terimakasih.
Terimakasih, Diary.
Terimakasih, bayanganku.
Â
Â
Selamat Tinggal!
Aku tak akan merindukanmu.
Â
--------------------------------------------
Lihat juga Diary Rendy di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H