Mohon tunggu...
Chika Azizah Purtanto
Chika Azizah Purtanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjalanan Hidup dan Pemikiran Abu Mansur Al-Hallaj

1 April 2022   20:19 Diperbarui: 1 April 2022   20:25 4515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BIOGRAFI ABU MANSHUR AL-HALLAJ

Abu Mansur Al-Hallaj ialah salah seorang ulama sufi keturunan Persia yang terkenal di kalangan para sufi pada abad ke-9 dan ke-10. Nama lengkapnya ialah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Mansur bin Muhammad Al-Baidhawi. Namun, lebih dikenal dengan sebutan Al-Hallaj. Ia lahir pada tahun 244 H / 858 M di kota Baidha yang merupakan sebuah kota kecil di wilayah Persia. Ia terkenal karena ucapannya yang memicu kontroversi dan banyak ditafsirkan sebagai klaim keilahian, yakni : 

"Akulah Kebenaran" (Ana al-Haqq)

Masa kecil Al-Hallaj lebih banyak dihabiskan di kota Wasith yang berdekatan dengan Baghdad. Ia berada di kota Wasith hingga usia 16 tahun kemudian pergi ke negeri Ahwaz untuk berguru kepada seorang ulama sufi besar, yaitu Sahl bin Abdullah Al-Tustur. Selepas ia menuntut ilmu di negeri Ahwaz, ia melanjutkan perjalanan untuk belajar lagi di Bashrah dengan bimbingan Amr Al-Makki.

Memiliki keinginan dan semangat belajar yang begitu tinggi untuk terus menggali lebih dalam mengenai ilmu tasawuf, ia melanjutkan belajar tasawuf kepada seorang ulama sufi besar di kota Baghdad, Al-Junaid, pada tahun 264 H. Selain menuntut ilmu, ia juga telah menunaikan ibadah haji di Mekkah berkali-kali.

Tatkala ia tiba di Mekah pada tahun 897 M, ia akhirnya memutuskan untuk mencari jalan sendiri yang ia yakini. Ia mengembangkan pemikirannya dari ilmu-ilmu yang selama ini ia pelajari. Pada masa-masa itu, Al-Hallaj telah mulai mengembangkan pemahamannya lebih dalam tentang konsep dan proses penyatuan dengan Tuhan.

Ketika ia menyampaikan ajaran dan pemahamannya kepada orang-orang bahwa ia telah menemukan cara untuk bersatu dengan Tuhan, ia dianggap telah gila dan keluar dari agama Islam (murtad). Ajaran yang ia sampaikan dinilai tidak sesuai syariat Islam dan bahkan diancam untuk dibunuh oleh penguasa Mekah pada saat itu.

Al-Hallaj bersahabat dekat dengan kepala rumah tangga istana pada saat itu, yakni Nashr Al-Qusyairi. Mereka berdua kerap melakukan perbaikan dalam sistem pemerintahan agar menciptakan pemerintahan yang bersih. Tak jarang pula mereka melontarkan kritik apabila ada penyelewengan yang terjadi di dalam pemerintahan saat itu.

Pada waktu yang sama, mulailah berkembang berbagai aliran tasawuf dan keagamaan. Hal ini semakin membuat pemerintah begitu khawatir atas pengaruh para sufi dalam struktur politik dan kenegaraan. Oleh sebab itu, ucapan "Akulah Kebenaran" (Ana al-Haqq) dijadikan alasan penangkapan Al-Hallaj dan memenjarakannya. Perkataan tersebut dipandang sebagai bentuk kemurtadan dan tidak bisa dimaafkan.

Al-Hallaj telah mengembara ke berbagai kawasan Islam seperti Ahwaz, Khurasan, India, Mekah, dan Turkistan. Ia memiliki banyak pengikut yang mendukung ajarannya. Kemudian pada tahun 296 H / 909 M, ia kembali ke Baghdad dan mendapatkan lebih banyak pengikut.

KARYA AL-HALLAJ

Berbicara mengenai karya dari Al-Hallaj, dikarenakan para penguasa di zaman tersebut yang melarang penyebaran ajaran yang dibawakan oleh Al-Hallaj, maka dilakukanlah pemusnahan pada karya tulisan dan kitab yang ditulis oleh Al-Hallaj. Sehingga hanya satu kitab yang bisa ditelusuri dan ditemukan hingga kini karena disimpan oleh Ibnu Atha', yaitu salah seorang pendukung atau pengikutnya. Judul kitab tersebut ialah Thawasin al-Azal yang berisi ajaran dan pemikiran Al-Hallaj dalam tasawuf falsafi.

AJARAN AL-HULUL YANG DIPELOPORI OLEH AL-HALLAJ

Al-Hallaj merupakan pelopor suatu ajaran yang disebut Al-Hulul. Secara etimologi, kata Al-Hulul berasal dari bentuk masdar dari fi'il : -- yang memiliki makna "bertempat tinggal di". Sedangkan menurut terminologi, Al-Hulul merupakan suatu konsep ajaran mengenai proses penyatuan antara sifat kemanusiaan dan sifat ketuhanan. Al-Hallaj ini menyatakan bahwa Tuhan dapat memilih tubuh manusia untuk melakukan penyatuan di dalam tubuh tersebut setelah hilangnya sifat-sifat kemanusiannya (nasut) yang ada pada manusia tersebut.

Al-Hallaj dianggap sebagai sosok yang bertanggung jawab dalam perkembangan tasawuf falsafi dengan ajaran Al-Hulul yang telah dikenalkan dalam ajaran tasawufnya. Menurutnya, manusia mempunyai sifat-sifat dasar ketuhanan (lahut) di samping sifat kemanusiaannya. Begitu pula dengan Tuhan, di samping sifat Ketuhanan-Nya, Tuhan memiliki sifat kemanusiaan (nasut).

Apabila sifat ketuhanan dalam manusia dan sifat kemanusiaan dalam diri Tuhan pada akhirnya dapat menyatu di suatu tubuh manusia, maka inilah yang disebut dengan hulul. Akan tetapi, agar dapat mencapai hingga pada tingkatan tersebut, maka harus dihilangkan atau dilenyapkan dahulu sifat-sifat kemanusiaannya tersebut melalui sebuah proses fana.

Al-Hallaj menyatakan bahwa ia telah mampu dan memperoleh pengalaman penyatuan tersebut. Ia menjelaskan pada saat ia telah berhasil berada pada tingkatan hulul, tubuhnya tidak hilang atau menjadi hancur. Akan tetapi, dua wujud tersebut bersatu di dalam satu tubuh. Proses penyatuan ini dapat terjadi dengan cara Tuhan yang turun ke bumi dan memilih tubuh Al-Hallaj untuk melakukan penyatuan.

Menurut pandangan beberapa kalangan, dari konsep ajaran Al-Hulul ini dapat diambil dua poin. Pertama, berdasarkan untaian kata dan syair-syair penuh cinta yang dikemukakan Al-Hallaj, terlihat bahwa Al-Hulul merupakan pemikiran yang berkembang dari konsep "mahabbah" yang dibawakan tokoh sufi Rabi'ah al-Adawiyah.

Kedua, konsep Al-Hulul dianggap hampir seperti konsep ittihad atau penyatuan dengan Tuhan yang dipelopori oleh Abu Yazid. Akan tetapi, menurut Harun Nasution, konsep bersatunya manusia dengan Tuhan yang dialami oleh Abu Yazid itu tidak sama dalam prosesnya dengan apa yang dialami oleh Al-Hallaj.

Perbedaan antara ittihad dengan Al-Hulul ialah saat Abu Yazid naik ke langit untuk melakukan proses penyatuan dengan Tuhan. Sementara itu, pada konsep Al-Hulul, jalan Tuhan yang turun ke bumi dan akhirnya bersatu di dalam dirinya. Perbedaan lainnya adalah apabila Abu Yazid bersatu dengan Tuhan-Nya, dia merasakan bahwa dirinya telah hancur sehingga hanyalah terdapat satu wujud dan hanya sifat Tuhan yang ada. Sedangkan pada paham Al-Hulul ini, meskipun saat Al-Hallaj mengalami penyatuan dengan Tuhan, ia mengaku tubuhnya tidak hancur.

Ajaran Al-Hulul yang dibawa al-Hallaj beserta ungkapan-ungkapan syairnya yang begitu mendalam ini tidak bisa diterima oleh orang-orang pada saat itu. Serta menuai banyak kejanggalan dan kontroversi bagi ulama-ulama lain, termasuk Syekh Abu Nashr as-Sarraj, serta para ulama fikih (fuqaha) dan ulama kalam.

Pada akhirnya Al-Hallaj dituduh bahwa ia menyimpang, anti syariat, dan dianggap sebagai pelanggar batas-batas agama (murtad). Di sisi lain, beberapa kalangan juga memandang bahwa ini merupakan kesalahan Al-Hallaj dikarenakan ia telah membuka tabir rahasia-rahasia keilahian yang sebaiknya tidak perlu dibuka. Ajaran tasawuf al-Hallaj mengenai konsep hulul ini masih sering disalahpahami pada masa kini dan dinilai sebagai jalan yang mengantarkan pada kemurtadan karena pelopor ajarannya dieksekusi dengan tuduhan murtad.

Namun, beberapa kalangan menelaah dengan begitu hati-hati dan memandang bahwa konsep hulul yang dibawakan oleh Al-Hallaj ini tidak lebih dari sekadar bentuk luapan perasaan emosional yang Al-Hallaj rasakan pada saat ia merasa memperoleh limpahan kehadiran Sang Ilahi. Perasaan yang Al-Hallaj rasakan itu sebagaimana para ulama sufi yang lain rasakan melalui pengalaman tasawufnya. Perasaan tersebut akan muncul di suatu titik dimana para sufi telah berhasil merasakan kehadiran Ilahi.

WAFATNYA AL-HALLAJ

Sepanjang perjalanan hidupnya dengan pemikiran dan ajarannya di bidang tasawuf, ia sering keluar masuk penjara disebabkan oleh beberapa pemikiran yang saling bersinggungan dengan ulama lainnya. Karena pemikiran Al-Hallaj dianggap keluar dari batas syariat Islam. Saat dipenjara, ia dapat melarikan diri karena dibantu oleh salah seorang sipir penjara. Setelah itu, ia melarikan diri ke wilayah Sus di Ahwaz. Ia berdiam di kota tersebut kurang lebih selama empat tahun untuk bersembunyi dan mencari pengamanan bagi dirinya. Selama itu pula ia tetap berpegang teguh dan tidak mengubah pendirian serta pemikirannya tentang konsep Al-Hulul.

Beberapa waktu kemudian ia dipenjara kembali selama delapan tahun. Pada tahun 309 H atau 921 M, para ulama yang berada di bawah kekhalifahan kerajaan Bani Abbas yang dipimpin oleh Khalifah Mu'tashim Billah, mengharuskan mereka untuk mengadakan persidangan. Persidangan tersebut untuk membahas dan menentukan hukuman yang tepat untuk dijatuhkan kepada Al-Hallaj. Akhirnya hasil persidangan menentukan bahwa Al-Hallaj akan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 18 Dzulhijah.

Arberry menyatakan bahwa sebelum proses hukuman mati dilaksanakan, Al-Hallaj terlebih dahulu telah dipukuli, dilempari batu, dan dicambuk berkali-kali. Sebelum ia disalib, ia meminta waktu untuk melakukan sholat dua rakaat terlebih dahulu. Kemudian, ia disalib sekaligus dipotong kedua tangan dan kakinya. Bahkan, lehernya pun dipenggal dan dipancung. Setelah itu, kepalanya dibawa dan digantung di pintu gerbang kota Baghdad untuk dipertontonkan. Hal ini dimaksudkan penguasa sebagai peringatan serius bagi para sufi lainnya yang memiliki pemikiran seperti Al-Hallaj.

Muhammad Ghallab menceritakan bahwa saat Al-Hallaj dinaikkan ke atas menara oleh para algojo, orang-orang mengerumuninya dan melempari batu kepadanya. Saat diberi berbagai hukuman kejam pun Al-Hallaj selalu mengulang-ulang kalimat : "Ana Al-Haqq" dengan terus tersenyum. Lebih lanjut, dikatakan bahwa Al-Hallaj menoleh dengan tersenyum kepada orang-orang yang akan melakukan salib padanya seraya mendoakan mereka.

Di dalam doanya, Al-Hallaj justru mendoakan agar orang-orang yang akan membunuhnya tersebut diberi ampunan dan rahmat oleh Allah SWT. Kemudian ia mengatakan bahwa jika anugerah yang Allah berikan kepadanya ini diberikan juga kepada orang-orang tersebut, maka tentu mereka takkan melakukan hal seperti ini.

Bahasan mengenai proses wafatnya Al-Hallaj ini meskipun dengan keputusan hukuman mati yang telah disepakati bersama, sampai sekarang masih banyak perdebatan mengenai persoalan dan sebab-sebab mengapa Al-Hallaj dibunuh dan bagaimana proses pembunuhan sebenarnya.

Menurut versi yang lain, yaitu berdasarkan perspektif Harun Nasution, sebab pembunuhan Al-Hallaj bukanlah karena ajaran atau pendapat Al-Hallaj yang berbeda dengan pemikiran dengan para fuqaha. Akan tetapi, Al-Hallaj dibunuh karena tuduhan bahwa Al-Hallaj memiliki hubungan dengan gerakan Qaramitah yang merupakan gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

Kematian tragis Al-Hallaj tidak membuat gentar para pengikutnya. Setelah satu abad, ajaran dan pemikiran Al-Hallaj ini masih tetap diikuti dan berkembang di sekitar wilayah Irak. Terdapat sekitar 4.000 orang yang mengikuti ajaran Al-Hallaj dan menyebut dirinya hallajiah atau berarti pengikut Al-Hallaj.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun