Mohon tunggu...
Chika Amare Amodia
Chika Amare Amodia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa jurusan ilmu komunikasi, saya tertarik dengan bidang broadcasting.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perbandingan Strategi Kampanye Prabowo-Gibran dengan Strategi Politik Bongbong Marcos: Pencitraan dalam Politik di Era Media Sosial

27 Desember 2024   01:13 Diperbarui: 27 Desember 2024   01:12 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perbandingan Strategi Kampanye Prabowo-Gibran dengan Strategi Politik Bongbong Marcos: Pencitraan dalam Politik di Era Media Sosial

Dalam sepuluh tahun terakhir, komunikasi politik Indonesia telah mengalami transformasi yang signifikan. Transformasi ini terjadi meskipun dominasi teknologi digital dan media sosial sebagai alat untuk menyampaikan pesan politik. Sekarang, platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok menjadi penting bagi politisi untuk menjangkau pemilih, terutama generasi muda yang aktif di internet. Dengan menggunakan media sosial, politisi dapat membangun pencitraan, mempengaruhi persepsi publik, dan bahkan secara langsung mengendalikan wacana politik tanpa bergantung pada media konvensional.

Pasangan politik Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah secara strategis menggunakan media sosial dalam kampanye mereka. Penampilan mereka sering dibandingkan dengan cara Bongbong Marcos—putra mendiang diktator Filipina Ferdinand Marcos—melakukan hal yang sama. Strategi pencitraan kedua belah pihak menggunakan simbolisme keluarga, cerita nostalgia, dan penggunaan media digital untuk menciptakan gambaran yang positif bagi masyarakat.

Dalam esai ini, kita akan melihat bagaimana Prabowo-Gibran dan Bongbong Marcos membuat pencitraan politik di era media sosial. Fokus utama adalah metode pencitraan yang mereka gunakan di berbagai platform digital, bagaimana hal ini berdampak pada persepsi publik, dan apakah metode ini mampu mengurangi polarisasi politik atau membangun hubungan yang lebih inklusif antara rakyat dan politisi.

Evolusi Peran Media Tradisional dan Digital dalam Politik

Media konvensional seperti televisi, radio, dan surat kabar sangat penting untuk menyebarkan pesan politik sebelum era digital. Untuk menjangkau khalayak luas melalui kampanye iklan, wawancara, atau liputan berita, politisi bergantung pada media ini. Namun, keterbatasan media konvensional dalam menyampaikan pesan secara langsung dan interaktif telah mendorong pergeseran ke arah media digital.

Kemampuan untuk menyampaikan pesan secara personal dan real-time adalah salah satu keunggulan unik media sosial. Media sosial digunakan dalam kasus Prabowo-Gibran untuk membangun citra yang lebih dekat dengan masyarakat. Misalnya, Gibran sering muncul dalam video santai di TikTok, menampilkan sisi informal yang menarik perhatian generasi muda, sementara Prabowo sering menampilkan sisi kebapakannya dalam video yang memperlihatkan interaksi langsung dengan masyarakat pedesaan.

Strategi Bongbong Marcos serupa. Media sosial telah menjadi alat penting untuk mempromosikan narasi politik di Filipina. Bongbong menggunakan Instagram untuk menciptakan gambar keluarga yang rukun dan mapan, dan dia juga menggunakan YouTube untuk menerbitkan video yang mengkritik era kepemimpinan ayahnya. Strategi ini berhasil menarik perhatian generasi muda Filipina, yang sebagian besar tidak memiliki pengalaman langsung dengan rezim Marcos.

Media digital tidak lepas dari masalah di Filipina dan Indonesia. Algoritma media sosial sering membuat "ruang gema", juga dikenal sebagai "ruang gema", di mana pengguna hanya dapat melihat konten yang sesuai dengan perspektif mereka. Karena kelompok-kelompok yang berbeda tidak memiliki kesempatan untuk berbicara secara konstruktif, ini berpotensi memperburuk polarisasi politik.

Teknik Pencitraan di Era Media Sosial

Apa yang ditampilkan dan bagaimana pesan disebarkan membentuk pencitraan politik di era internet. Strategi pencitraan Prabowo-Gibran dan Bongbong Marcos sangat mirip. Prabowo-Gibran menggunakan metode yang menggabungkan prinsip-prinsip tradisional dan kontemporer. Sementara Gibran digambarkan sebagai inspirasi dan semangat muda, Prabowo digambarkan sebagai tokoh senior yang tegas dan berpengalaman. Kombinasi ini diperkuat dengan penggunaan platform seperti TikTok dan Instagram untuk menyajikan cerita yang menarik bagi audiens yang lebih muda. Misalnya, Gibran sering muncul dalam konten yang menunjukkan bahwa dia sederhana dan dekat dengan masyarakat.

Sebaliknya, Bongbong Marcos memanfaatkan nostalgia sebagai komponen utama kampanyenya. Meskipun kisah ini bertentangan dengan kenyataan, ia mengatakan bahwa pemerintahan ayahnya adalah masa kejayaan Filipina. Bongbong berhasil membentuk citra yang positif di mata generasi muda Filipina dengan menggunakan video, infografis, dan konten media sosial yang menyentuh. Banyak orang yang tidak mengalami pemerintahan Marcos langsung cenderung menerima cerita ini tanpa banyak mempertanyakan kebenaran.

Di Indonesia dan Filipina, buzzer dan influencer menjadi bagian penting dari strategi pencitraan. Influencer menarik, terutama bagi generasi muda yang lebih percaya pada figur yang asli. Dalam kampanye Prabowo-Gibran, bekerja sama dengan figur publik di media sosial membantu menyebarkan pesan mereka ke lebih banyak orang. Marcos juga menggunakan strategi serupa dengan menggandeng orang-orang terkenal di Filipina untuk menyebarkan cerita yang mendukungnya.

Dampak Pencitraan terhadap Persepsi Publik

Persepsi publik sangat dipengaruhi oleh pencitraan politik. Pencitraan di media sosial memungkinkan hubungan yang lebih intim antara politisi dan masyarakat. Postingan Instagram atau video TikTok yang menampilkan politisi dalam suasana santai dan informal dapat memberi kesan bahwa mereka adalah "bagian dari rakyat". Ini terlihat dalam kampanye Prabowo-Gibran, di mana mereka sering menggambarkan hubungan mereka dengan masyarakat sebagai emosional dan humanis.

Namun, ada sisi buruk pencitraan politik juga. Penyebaran hoaks dan manipulasi informasi sering terjadi di media sosial. Di Filipina, kampanye Bongbong Marcos dikritik karena dianggap mengubah sejarah. Ia sering menutupi pelanggaran HAM dan korupsi yang terjadi selama pemerintahan ayahnya di media sosial. Strategi pencitraan Prabowo-Gibran di Indonesia juga mendapat kritik karena terlalu menekankan pada "kulit" daripada substansi yang sebenarnya.

Selain itu, pencitraan politik yang muncul di era media sosial memiliki potensi untuk mempertajam polarisasi masyarakat. Mereka yang mendukung dan mereka yang menentang cenderung membentuk kelompok yang saling bertentangan. Algoritma media sosial seringkali meningkatkan bias ini dengan hanya menampilkan konten sesuai dengan preferensi pengguna. Akibatnya, ketegangan sosial meningkat, dan diskusi politik yang konstruktif sulit terjadi.

Studi Perbandingan: Prabowo-Gibran dan Bongbong Marcos

Jika Anda melihat strategi kampanye Prabowo-Gibran dan Bongbong Marcos, Anda akan melihat bahwa mereka keduanya menggunakan narasi dan simbolisme yang sama. Namun, cara yang digunakan setiap negara dipengaruhi oleh keadaan budaya dan politiknya.

Kampanye Prabowo-Gibran di Indonesia lebih berfokus pada kerja sama antar generasi. Gibran, sebagai representasi generasi muda, membawa citra modern dan progresif, sementara Prabowo tetap menjadi representasi ketegasan dan pengalaman. Untuk menarik dukungan dari berbagai kelompok usia, kempanye mereka memanfaatkan cerita tentang "harmoni antar generasi".

Di sisi lain, Bongbong Marcos menonjolkan citra keluarganya sebagai simbol kemakmuran dan stabilitas di Filipina. Ia menggunakan nostalgia sebagai alat utama untuk membangun narasi politiknya, meskipun banyak pihak berpendapat bahwa narasi tersebut tidak menggambarkan keadaan sejarah sebenarnya. Untuk menarik perhatian generasi muda, yang biasanya tidak tahu banyak tentang masa lalu, pendekatan ini sangat efektif.

Kedua pendekatan ini menunjukkan bahwa pencitraan politik dapat disesuaikan dengan konteks lokal, tetapi risikonya sama. Pencitraan sering mengalihkan perhatian dari masalah substantif seperti kebijakan publik atau visi pembangunan.

Polarisasi dan Masa Depan Komunikasi Politik

Di era internet, polarisasi politik semakin diperburuk oleh media sosial. Ini terjadi karena politisi semakin bergantung pada media sosial untuk menciptakan citra mereka, sehingga masyarakat terjebak dalam lingkaran informasi yang sama. Ini membuatnya sulit untuk berbicara dengan orang-orang dari berbagai partisipan politik.

Media sosial, bagaimanapun, juga menawarkan kesempatan untuk komunikasi politik yang lebih inklusif. Media sosial dapat menjadi platform untuk diskusi yang sehat dan terbuka jika diatur dengan benar dan orang-orang belajar menggunakan teknologi. Ini berarti, di Indonesia, lebih sedikit buzz politik dan lebih banyak orang yang terlibat dalam diskusi kebijakan.

Contohnya adalah Prabowo-Gibran dan Bongbong Marcos, keduanya menunjukkan bagaimana pencitraan politik di media sosial dapat membantu memikat pemilih. Meskipun demikian, keberhasilan ini harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk menghindari penyebaran informasi yang tidak benar.

Sangat penting untuk memperhatikan bagaimana perkembangan media sosial telah mengubah cara publik berinteraksi dengan politik. Di masa lalu, percakapan politik biasanya terjadi di tempat fisik seperti balai kota, pasar, atau tempat komunitas berkumpul. Namun, dengan munculnya situs web online seperti Twitter dan TikTok, ruang diskusi telah beralih ke dunia maya. Ini membuka peluang dan tantangan baru. Salah satu masalah terbesar adalah kecepatan dan kedalaman media sosial, yang seringkali memprioritaskan konten viral daripada konten substansial. Pencitraan politik yang dibuat oleh pasangan Prabowo-Gibran dan Bongbong Marcos dalam kasus ini sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk menghasilkan momen yang menarik perhatian publik secara instan, meskipun pesan yang disampaikan tidak begitu mendalam.

Sebagai contoh, pendekatan yang digunakan Gibran di TikTok untuk menampilkan kehidupan sehari-harinya secara santai menunjukkan bahwa itu dimaksudkan untuk menarik pengikut muda yang lebih suka cerita visual yang tenang. Metode ini berhasil menciptakan kesan bahwa dia adalah orang yang akrab dan mudah didekati, dan bahwa dia adalah representasi dari generasi politik baru. Namun, ada kemungkinan bahwa penekanan pada konten jenis ini dapat mengalihkan perhatian dari diskusi kebijakan publik yang lebih penting. Strategi serupa juga digunakan oleh Bongbong Marcos di Filipina, menggunakan metode cerita yang menciptakan citra keluarga yang harmonis. Terlepas dari kenyataan bahwa ini berhasil, pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah: sejauh mana gambar-gambar ini benar-benar nyata atau hanya alat untuk mendapatkan dukungan publik?

Lebih jauh lagi, algoritma media sosial sangat penting. Algoritma ini seringkali membuat konten kontroversial, emosional, atau yang membangkitkan nostalgia mendapat perhatian lebih besar. Dalam situasi seperti ini, Bongbong Marcos menggunakan cerita nostalgia seperti "mengembalikan kejayaan Filipina" sebagai alat politik yang sangat efektif. Dengan cara yang sama, Prabowo-Gibran memperkuat citra mereka dengan menggunakan elemen emosional seperti nasionalisme dan nilai keluarga. Namun, banyak pakar komunikasi mengatakan bahwa berkonsentrasi terlalu banyak pada cerita emosional tanpa diskusi kebijakan dapat membuat kampanye politik tidak lagi bermanfaat bagi masyarakat.

Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya masyarakat memiliki literasi digital. Masyarakat harus memiliki kemampuan untuk membedakan antara manipulasi informasi dan pencitraan politik yang sah. Pendidikan literasi digital tidak hanya mempelajari teknologi tetapi juga mengajarkan siswa untuk berpikir kritis tentang apa yang mereka lihat. Tanpa ini, publik rentan terhadap manipulasi yang dilakukan oleh politisi dan buzzer politik lainnya melalui media sosial. Sebaliknya, peraturan yang lebih ketat diperlukan untuk mencegah hoaks dan kampanye negatif untuk menjaga integritas proses demokrasi.

Media sosial sebagai alat komunikasi politik dapat berbahaya jika tidak digunakan dengan benar. Di satu sisi, ia memungkinkan transparansi dan kedekatan antara politisi dan rakyat; namun, di sisi lain, ia juga memiliki potensi untuk memperkuat perbedaan pendapat, mendorong cerita yang manipulatif, dan merusak dasar demokrasi yang kuat. Akibatnya, penting bagi politisi, pemilih, dan platform media sosial untuk bekerja sama untuk menciptakan lingkungan komunikasi politik yang lebih aman dan inklusif.

Di era media sosial, perspektif politik telah mengubah cara politisi berinteraksi dengan masyarakat. Politisi dapat lebih dekat dengan pemilih dengan menggunakan platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok. Kasus Prabowo-Gibran di Indonesia dan Bongbong Marcos di Filipina menunjukkan bagaimana media sosial dapat memengaruhi persepsi publik dan membangun citra yang kuat.

Tetapi pencitraan politik juga berbahaya. Dalam era digital saat ini, manipulasi informasi, penyebaran hoaks, dan polarisasi masyarakat menjadi ancaman nyata. Selain itu, ketika kita terlalu bergantung pada pencitraan, kita berisiko mengabaikan masalah besar yang lebih penting bagi masa depan negara kita.

Untuk masa depan komunikasi politik di Indonesia, penting untuk mengembangkan regulasi yang mengawasi penggunaan media sosial dalam kampanye politik. Selain itu, masyarakat harus didorong untuk menjadi pemilih yang kritis, mampu mengevaluasi informasi secara objektif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun