Mohon tunggu...
Chika Amare Amodia
Chika Amare Amodia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa jurusan ilmu komunikasi, saya tertarik dengan bidang broadcasting.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perbandingan Strategi Kampanye Prabowo-Gibran dengan Strategi Politik Bongbong Marcos: Pencitraan dalam Politik di Era Media Sosial

27 Desember 2024   01:13 Diperbarui: 27 Desember 2024   01:12 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Polarisasi dan Masa Depan Komunikasi Politik

Di era internet, polarisasi politik semakin diperburuk oleh media sosial. Ini terjadi karena politisi semakin bergantung pada media sosial untuk menciptakan citra mereka, sehingga masyarakat terjebak dalam lingkaran informasi yang sama. Ini membuatnya sulit untuk berbicara dengan orang-orang dari berbagai partisipan politik.

Media sosial, bagaimanapun, juga menawarkan kesempatan untuk komunikasi politik yang lebih inklusif. Media sosial dapat menjadi platform untuk diskusi yang sehat dan terbuka jika diatur dengan benar dan orang-orang belajar menggunakan teknologi. Ini berarti, di Indonesia, lebih sedikit buzz politik dan lebih banyak orang yang terlibat dalam diskusi kebijakan.

Contohnya adalah Prabowo-Gibran dan Bongbong Marcos, keduanya menunjukkan bagaimana pencitraan politik di media sosial dapat membantu memikat pemilih. Meskipun demikian, keberhasilan ini harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk menghindari penyebaran informasi yang tidak benar.

Sangat penting untuk memperhatikan bagaimana perkembangan media sosial telah mengubah cara publik berinteraksi dengan politik. Di masa lalu, percakapan politik biasanya terjadi di tempat fisik seperti balai kota, pasar, atau tempat komunitas berkumpul. Namun, dengan munculnya situs web online seperti Twitter dan TikTok, ruang diskusi telah beralih ke dunia maya. Ini membuka peluang dan tantangan baru. Salah satu masalah terbesar adalah kecepatan dan kedalaman media sosial, yang seringkali memprioritaskan konten viral daripada konten substansial. Pencitraan politik yang dibuat oleh pasangan Prabowo-Gibran dan Bongbong Marcos dalam kasus ini sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk menghasilkan momen yang menarik perhatian publik secara instan, meskipun pesan yang disampaikan tidak begitu mendalam.

Sebagai contoh, pendekatan yang digunakan Gibran di TikTok untuk menampilkan kehidupan sehari-harinya secara santai menunjukkan bahwa itu dimaksudkan untuk menarik pengikut muda yang lebih suka cerita visual yang tenang. Metode ini berhasil menciptakan kesan bahwa dia adalah orang yang akrab dan mudah didekati, dan bahwa dia adalah representasi dari generasi politik baru. Namun, ada kemungkinan bahwa penekanan pada konten jenis ini dapat mengalihkan perhatian dari diskusi kebijakan publik yang lebih penting. Strategi serupa juga digunakan oleh Bongbong Marcos di Filipina, menggunakan metode cerita yang menciptakan citra keluarga yang harmonis. Terlepas dari kenyataan bahwa ini berhasil, pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah: sejauh mana gambar-gambar ini benar-benar nyata atau hanya alat untuk mendapatkan dukungan publik?

Lebih jauh lagi, algoritma media sosial sangat penting. Algoritma ini seringkali membuat konten kontroversial, emosional, atau yang membangkitkan nostalgia mendapat perhatian lebih besar. Dalam situasi seperti ini, Bongbong Marcos menggunakan cerita nostalgia seperti "mengembalikan kejayaan Filipina" sebagai alat politik yang sangat efektif. Dengan cara yang sama, Prabowo-Gibran memperkuat citra mereka dengan menggunakan elemen emosional seperti nasionalisme dan nilai keluarga. Namun, banyak pakar komunikasi mengatakan bahwa berkonsentrasi terlalu banyak pada cerita emosional tanpa diskusi kebijakan dapat membuat kampanye politik tidak lagi bermanfaat bagi masyarakat.

Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya masyarakat memiliki literasi digital. Masyarakat harus memiliki kemampuan untuk membedakan antara manipulasi informasi dan pencitraan politik yang sah. Pendidikan literasi digital tidak hanya mempelajari teknologi tetapi juga mengajarkan siswa untuk berpikir kritis tentang apa yang mereka lihat. Tanpa ini, publik rentan terhadap manipulasi yang dilakukan oleh politisi dan buzzer politik lainnya melalui media sosial. Sebaliknya, peraturan yang lebih ketat diperlukan untuk mencegah hoaks dan kampanye negatif untuk menjaga integritas proses demokrasi.

Media sosial sebagai alat komunikasi politik dapat berbahaya jika tidak digunakan dengan benar. Di satu sisi, ia memungkinkan transparansi dan kedekatan antara politisi dan rakyat; namun, di sisi lain, ia juga memiliki potensi untuk memperkuat perbedaan pendapat, mendorong cerita yang manipulatif, dan merusak dasar demokrasi yang kuat. Akibatnya, penting bagi politisi, pemilih, dan platform media sosial untuk bekerja sama untuk menciptakan lingkungan komunikasi politik yang lebih aman dan inklusif.

Di era media sosial, perspektif politik telah mengubah cara politisi berinteraksi dengan masyarakat. Politisi dapat lebih dekat dengan pemilih dengan menggunakan platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok. Kasus Prabowo-Gibran di Indonesia dan Bongbong Marcos di Filipina menunjukkan bagaimana media sosial dapat memengaruhi persepsi publik dan membangun citra yang kuat.

Tetapi pencitraan politik juga berbahaya. Dalam era digital saat ini, manipulasi informasi, penyebaran hoaks, dan polarisasi masyarakat menjadi ancaman nyata. Selain itu, ketika kita terlalu bergantung pada pencitraan, kita berisiko mengabaikan masalah besar yang lebih penting bagi masa depan negara kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun