Mohon tunggu...
Chika Amare Amodia
Chika Amare Amodia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa jurusan ilmu komunikasi, saya tertarik dengan bidang broadcasting.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perbandingan Strategi Kampanye Prabowo-Gibran dengan Strategi Politik Bongbong Marcos: Pencitraan dalam Politik di Era Media Sosial

27 Desember 2024   01:13 Diperbarui: 27 Desember 2024   01:12 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebaliknya, Bongbong Marcos memanfaatkan nostalgia sebagai komponen utama kampanyenya. Meskipun kisah ini bertentangan dengan kenyataan, ia mengatakan bahwa pemerintahan ayahnya adalah masa kejayaan Filipina. Bongbong berhasil membentuk citra yang positif di mata generasi muda Filipina dengan menggunakan video, infografis, dan konten media sosial yang menyentuh. Banyak orang yang tidak mengalami pemerintahan Marcos langsung cenderung menerima cerita ini tanpa banyak mempertanyakan kebenaran.

Di Indonesia dan Filipina, buzzer dan influencer menjadi bagian penting dari strategi pencitraan. Influencer menarik, terutama bagi generasi muda yang lebih percaya pada figur yang asli. Dalam kampanye Prabowo-Gibran, bekerja sama dengan figur publik di media sosial membantu menyebarkan pesan mereka ke lebih banyak orang. Marcos juga menggunakan strategi serupa dengan menggandeng orang-orang terkenal di Filipina untuk menyebarkan cerita yang mendukungnya.

Dampak Pencitraan terhadap Persepsi Publik

Persepsi publik sangat dipengaruhi oleh pencitraan politik. Pencitraan di media sosial memungkinkan hubungan yang lebih intim antara politisi dan masyarakat. Postingan Instagram atau video TikTok yang menampilkan politisi dalam suasana santai dan informal dapat memberi kesan bahwa mereka adalah "bagian dari rakyat". Ini terlihat dalam kampanye Prabowo-Gibran, di mana mereka sering menggambarkan hubungan mereka dengan masyarakat sebagai emosional dan humanis.

Namun, ada sisi buruk pencitraan politik juga. Penyebaran hoaks dan manipulasi informasi sering terjadi di media sosial. Di Filipina, kampanye Bongbong Marcos dikritik karena dianggap mengubah sejarah. Ia sering menutupi pelanggaran HAM dan korupsi yang terjadi selama pemerintahan ayahnya di media sosial. Strategi pencitraan Prabowo-Gibran di Indonesia juga mendapat kritik karena terlalu menekankan pada "kulit" daripada substansi yang sebenarnya.

Selain itu, pencitraan politik yang muncul di era media sosial memiliki potensi untuk mempertajam polarisasi masyarakat. Mereka yang mendukung dan mereka yang menentang cenderung membentuk kelompok yang saling bertentangan. Algoritma media sosial seringkali meningkatkan bias ini dengan hanya menampilkan konten sesuai dengan preferensi pengguna. Akibatnya, ketegangan sosial meningkat, dan diskusi politik yang konstruktif sulit terjadi.

Studi Perbandingan: Prabowo-Gibran dan Bongbong Marcos

Jika Anda melihat strategi kampanye Prabowo-Gibran dan Bongbong Marcos, Anda akan melihat bahwa mereka keduanya menggunakan narasi dan simbolisme yang sama. Namun, cara yang digunakan setiap negara dipengaruhi oleh keadaan budaya dan politiknya.

Kampanye Prabowo-Gibran di Indonesia lebih berfokus pada kerja sama antar generasi. Gibran, sebagai representasi generasi muda, membawa citra modern dan progresif, sementara Prabowo tetap menjadi representasi ketegasan dan pengalaman. Untuk menarik dukungan dari berbagai kelompok usia, kempanye mereka memanfaatkan cerita tentang "harmoni antar generasi".

Di sisi lain, Bongbong Marcos menonjolkan citra keluarganya sebagai simbol kemakmuran dan stabilitas di Filipina. Ia menggunakan nostalgia sebagai alat utama untuk membangun narasi politiknya, meskipun banyak pihak berpendapat bahwa narasi tersebut tidak menggambarkan keadaan sejarah sebenarnya. Untuk menarik perhatian generasi muda, yang biasanya tidak tahu banyak tentang masa lalu, pendekatan ini sangat efektif.

Kedua pendekatan ini menunjukkan bahwa pencitraan politik dapat disesuaikan dengan konteks lokal, tetapi risikonya sama. Pencitraan sering mengalihkan perhatian dari masalah substantif seperti kebijakan publik atau visi pembangunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun