Mohon tunggu...
Frichicilia Grace Stahlumb
Frichicilia Grace Stahlumb Mohon Tunggu... Lainnya - No Sound Without Silence =)

We don't live our lives hoping to be understand by others. We just do our best to make the right choice. Catch me on: instagram: chicigrace || twitter: @chicigrace || email: chiciracetia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahagia Itu Bukan Seberapa Banyak yang Kita Miliki, tetapi Seberapa Banyak yang Kita Nikmati

31 Desember 2020   15:37 Diperbarui: 29 April 2021   07:06 1531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bahagia itu kalau kita hidup kaya raya dan banyak uang."

"Bahagia itu kalau kita bisa liburan ke berbagai negara di dunia."

"Bahagia itu kalau kita punya pekerjaan dan karir yang stabil."

"Bahagia itu kalau kita udah punya uang yang banyak, terus kita bisa berbagi ke orang-orang yang tidak mampu tanpa kuatir dengan kondisi keuangan kita sendiri."

"Bahagia itu kalau kita sehabis lulus kuliah bisa bekerja di perusahaan ternama."

Mungkin diantara kita semua ada yang pernah mendengar atau mengucapkan sendiri kalimat-kalimat di atas bukan? Buat saya tidak ada yang salah dengan definisi bahagia di atas. Setiap orang memiliki definisi bahagianya sendiri. 

Tetapi di jaman sekarang arti kebahagiaan mulai mengalami pergeseran makna. Bahagia tampaknya adalah sesuatu yang harus dicapai dan dikejar, apalagi di jaman sekarang yang serba dinamis banyak sekali standar 'bahagia' yang ditampilkan masyarakat. 

Akibatnya, jika standar tersebut tidak tercapai artinya tidak ada pengakuan dari orang-orang di lingkungan kita. Akhirnya esensi bahagia itu menjadi hilang dan seakan menjadi beban tersendiri bagi diri kita sendiri.

Ada sebuah pepatah berkata:

"Mengejar kebahagiaan adalah ungkapan yang paling konyol, jika kamu mengejar kebahagiaan, kamu tidak akan pernah menemukannya. Yang kamu perlukan adalah menciptakan kebahagiaan itu sendiri."

Saya sangat setuju dengan pepatah ini. Karena kenyataannya memang banyak orang yang beranggapan bahagia itu harus dikejar semaksimal mungkin. 

Apalagi di jaman sosial media dimana orang-orang ramai 'menampilkan' kebahagiaannya, otomatis terlintas di benak kita bahwa 'aku harus bisa lebih bahagia dari mereka'. Sehingga menurut saya yang dikejar bukanlah bahagia dari diri sendiri, tetapi pengakuan bahwa kita adalah yang paling bahagia tanpa mengetahui apa isi hati kecil diri kita sendiri.

Menciptakan Kebahagiaan Versi Diri Sendiri

Jika orang-orang bertanya apakah saya sudah bahagia, saya akan menjawab saya bahagia meskipun memang belum sempurna. Karena menurut saya kebahagiaan adalah suatu hal yang tidak ada batasnya. 

Bagi saya yang terpenting diri saya harus bahagia terlebih dahulu, maka secara otomatis kebahagiaan yang lain akan datang dengan sendirinya. Saya ingin bahagia yang saya rasakan bisa dirasakan oleh orang-orang disekitar saya, oleh karena itu saya memiliki prinsip: saya ingin memberi kebahagiaan pada orang disekitar saya.

Dahulu saya berpikir kalau untuk memberi dan berbagi kebahagiaan dengan orang lain itu harus memiliki uang yang banyak, pencapaian yang besar, atau hal-hal yang menakjubkan lainnya. Kenyataannya tidak seperti yang dipikirkan, bahagia itu datang dari hati kecil kita yang bergerak untuk memberi sesuatu yang berkesan bagi orang di sekitar kita.

Pernah mendengar pepatah 'bahagia itu sederhana' bukan? Buat saya, pepatah ini mengubah pandangan saya tentang arti kebahagiaan itu sendiri. Setiap hal-hal atau tindakan kita sekecil apapun, secara tidak langsung akan ada orang-orang yang merasa bahagia dengan perbuatan kita. Singkatnya kita memberi positive vibes bagi orang lain.

Contoh nyata yang sangat sering saya alami adalah interaksi dengan pengemudi ojek online. Mungkin kelihatannya biasa saja bagi sebagian orang, tetapi perbuatan dan sikap kita kepada para pengemudi bisa mendatangkan kesan sendiri bagi mereka. 

Buat saya memberi kebahagiaan kepada pengemudi ojek online saya lakukan dengan bersikap sopan dan ramah ke pengemudi (meskipun terkadang ada pengemudi yang terkadang membuat saya kesal), tidak membuat kesulitan pengemudi (kalau memesan barang dan makanan), memberi mereka tip meskipun nominal tip-nya tidak besar, kadang-kadang saya memberi sebagian rejeki saya kepada pengemudi (dalam bentuk makanan, minuman, snack), atau dengan ucapan terimakasih serta memberi penilaian dan komentar yang positif di aplikasi mereka. 

Saya tidak pernah menyangka perbuatan kecil saya ini bisa mendatangkan impact yang besar kepada para pengemudi ojek online. Bahkan saya ingat ada salah satu pengemudi yang membuat saya makin semangat untuk memberi hal positif ke orang lain karena ia berkata sikap saya membuat beliau merasa terbantu dengan petunjuk arah yang saya berikan ke lokasi tujuan, serta sikap saya yang buat beliau sangat menghargai para pengemudi. Padahal saya hanya melakukan yang sewajarnya saja. Jadi impact dari bahagia itu benar-benar nyata bukan dalam sekecil hal apapun?

Atau kisah saya dengan para kurir pengantar yang selama pandemi ini selalu siap siaga mengantar paket pesanan tanpa lelah. Saya sadar, peran mereka begitu besar selama masa pandemi ini. Apalagi karena saya cukup sering belanja online, saya mengenal beberapa kurir yang sering mengantar pesanan saya. 

Bahkan sebelum masa pandemi ini, jika ada pesanan yang akan diantar tetapi saya sedang tidak berada di rumah, saya akan menghubungi kurir tersebut dan mengatakan bahwa saya tidak ada di rumah dan pesanan lebih baik diantar keesokan harinya. 

Oleh karena itu, ketika saya dapat notifikasi kurir akan segera mengantar pesanan ke rumah, saya berusaha membantu mereka dengan tetap stay di rumah, handphone selalu aktif, dan siap menunggu kurir datang. 

Saya tidak ingin menyulitkan mereka, karena saya sesekali melihat beberapa tetangga saya kadang susah dihubungi dan dipanggil oleh sang kurir, sehingga mereka jadi menunggu lama tanpa kepastian. Kadang saya merasa kasihan dan jadi ikut merasakan apabila di posisi itu. 

Jika ada rejeki lebih, saya memberikan tip kepada kurir tersebut sebagai bentuk apresiasi kerja mereka. Dengan tidak membuat kesulitan kepada para kurir serta melihat para kurir yang terbantu dengan sikap kita, saya rasa itu sudah membuat mereka bahagia.

Cerita lainnya yaitu berbagi setitik kebahagiaan di lingkungan tempat saya tinggal. Di lingkungan tempat saya tinggal ada banyak penjual keliling yang setiap hari melewati rumah saya, bahkan saya mengenal dengan baik beberapa penjual keliling tersebut. 

Biasanya setiap tiga atau empat bulan sekali saya memberikan pakaian yang sudah tidak muat dipakai tapi layak dipakai kepada para penjual keliling tersebut. 

Karena menurut saya daripada pakaian yang tidak muat dibiarkan bertumpuk-tumpuk di lemari mending saya berikan kepada para penjual keliling, hitung-hitung saling membantu dan berbagi satu sama lain. 

Saya sangat senang ketika melihat mereka bersyukur dengan pemberian kecil saya, bahkan terkadang ada yang sampai mendoakan saya dan keluarga saya. Saya tidak menyangka ketulusan saya bisa mendatangkan ketulusan dan kebaikan yang jauh lebih besar dari orang-orang yang sangat tangguh buat saya.

Memang pencapaian saya belum seperti orang-orang yang menyantuni anak-anak di panti asuhan atau ikut komunitas-komunitas berbagi untuk orang yang tidak mampu, meskipun dari hati kecil saya ingin sekali melakukan kegiatan itu suatu hari nanti. 

Tapi saya percaya dan yakin, bahwa hal-hal kecil yang saya lakukan, apabila saya melakukannya dengan tulus dan ikhlas, pasti orang-orang akan senang menerimanya. Melihat orang lain tersenyum dan optimis karena perbuatan saya, buat saya itu adalah kebahagiaan terbesar saya hingga menciptakan kesan tersendiri yang tak akan bisa dilupakan.

Terima Diri Kita Apa Adanya, Nikmati dan Sebarkan Bahagiamu Kepada Orang Terkasih

Bahagia itu datang dari diri kita sendiri dan kitalah yang menciptakan bahagia itu. Bagaimana bisa? Kuncinya sederhana saja, menerima diri kita apa adanya, mau menerima kekurangan kita, dan bersyukur dengan keadaan sekarang. 

Di jaman sekarang banyak orang yang membuat standarisasi bahagia seakan-akan jika kita belum melakukan hal tersebut makan belum disebut bahagia. 

Ibarat kata setiap hal yang kita lakukan dan nikmati, jika belum sesuai standar orang-orang pasti akan dijadikan bahan perbincangan dan pergunjingan. Padahal yang tahu seberapa bahagia kita adalah diri kita sendiri. 

Jadi, ciptakan bahagia versi kita sendiri dan nikmatilah meskipun orang lain menentangnya karena bahagia diri kita belum tentu bahagia mereka begitu juga sebaliknya.

Satu hal lagi, bahagia itu sederhana. Apapun yang kita punya meskipun nilainya kecil jika kita memberikannya dengan hati yang tulus dan ikhlas saya rasa kebagiaan itu datang berkali-kali lipat tanpa kita sadari. Bukan hanya untuk diri sendiri saja, tetapi untuk orang di sekitar kita seperti kata pepatah dibawah ini:

"Kamu akan lebih mudah untuk merasakan kebahagiaan dengan menerima kekuranganmu daripada mencari bahagia dengan berusaha menjadi orang yang sempurna."

 

"Yakinlah bahwa dengan bersyukur, maka kebahagiaan akan terus dan terus bertambah."

Jadi, buatlah dan ciptakan bahagia versimu sendiri. Nikmati dan bagikan kebahagiaanmu bersama orang-orang yang kamu kasihi. Itulah kebahagiaan sejati.

(Saya dedikasikan artikel ini untuk JNE Indonesia yang sedang merayakan hari jadinya yang ke-30. Jaya dan sukses selalu serta tetaplah memberi kebahagiaan bagi masyarakat Indonesia.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun