Mohon tunggu...
Dede M. Yunus
Dede M. Yunus Mohon Tunggu... Freelancer - IRT

Ibu rumah tangga yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tumbal

27 Oktober 2023   14:57 Diperbarui: 27 Oktober 2023   14:59 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tumbal

Dede M. Yunus

Hari itu, kamu harus lembur, menyesaikan semua pekerjaan yang terbengkalai selama satu minggu belakang karena kamu sakit. Jam di dinding berdetak lebih lambat, keadaan sekitar sudah sepi, tidak ada seorang pun di sana, kecuali kamu dan satpam yang berjaga di depan gedung betingkat itu. Suara ketukan keyborad beradu dengan deru napasmu. Semakin cepat jarimu mengetik, semakin cepat pula suara napasmu.

Pukul sebelas malam lewat empat puluh menit, kamu bergegas menyelesaikan pekerjaan, merapikan peralatan, dan mematikan layar komputer. Kamu ingat, malam itu adalah hari Jumat dan tanggal 13. Setiap bulan pada tanggal dan hari itu, akan ada kejadian di gedung tersebut.

Tergopoh-gopoh kamu berjalan di koridor menuju lift yang terletak di ujung. Suara derap langkahmu menggema, hawa dingin mulai terasa. Kamu berdiri di depan lift dan menekan tombol panah ke bawah, tetapi pintu tersebut tidak kunjung terbuka. Angka di pintu menunjukan lantai lift itu berada. Lantai XV, tempat saat kamu berdiri saat itu. Beberapa kali kamu tekan tombol itu, pintu tetap tidak terbuka.

Angin dingin menerpa tengkukmu. Saat kamu menoleh ke belakang, tidak ada apa pun di sana, hanya ada kegelapan. Jantungmu semakin memacu aliran darah saat sebuah siluet terlihat dari ruangan yang ada di belakangmu. Tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka, padahal angka di atasnya belum berubah. Kamu melihat sisi kiri lift yang merupakan lorong menuju pintu tangga darurat. Kamu berjalan cepat, membuka pintu yang terbuat dari besi, kemudian menuruni anak tangga dengan cepat.

Suara siulan dan gesekan benda tajam terdengar dari belakang, semakin cepat kamu menurunu tangga, semakin cepat pula saura itu mengikutimu. Di depan pintu bertuliskan angka 13, kamu mencoba untuk mendorongnya. Pintu itu terbuka, kamu berlari ke arah lift yang ada di seberang pintu darurat itu. Kamu menekan tombol turun, berharap benda itu dapat berfungsi, tetapi tidak ada tanda benda kotak itu akan terbuka. Kamu kembali berlari ke arah tangga darurat saat mendengar suara derit pintu terbuka dari ruangan yang berada di sebelah lift.

Beberapa langkah berlari kecil, tiba-tiba kamu berhenti. Kakimu terasa berat dan kaku. Kamu menoleh ke belakang, sosok wanita bergaun merah menuju ke arahmu. Suara siulan dan gesekan benda tajam, kembali terdengar dari pintu yang akan kamu masuki. Napasmu semakin memburu, keringat mulai bercucuran. Semakin dekat sosok wanita bergaun merah itu, semakin jelas terlihat.

Tuhan, selamatkan aku, rapalmu dalam hati.

Malam ini sunyi sepi 

Kau terlena dalam mimpi 

Kau tersenyum kedamaian 

Menikmati cinta kita

Sosok itu terus melantunkan tembang yang menjadi soundtrack salah satu film Suzana. Kamu menutup telinga setiap kali wanita bergaun merah menembang dengan suara lirih dan menyayat. Suara siulan dan gesekan benda tajam, mengiringi nyanyian itu, terasa semakin memekakkan telingamu.

Kakimu semakin terasa berat seperti tertimpa batu. Sekuat tenaga kamu mencoba menariknya, semakin kuat dan terasa nyeri di pergelangan kaki. Air matamu mulai membasahi wajah saat kamu dapati sepasang tangan tengah memegang kedua kakimu.

Malam ini sunyi sepi 

Bermimpilah tentang cinta 

Kuingin selalu bersamamu 

Di sisimu

Suara isakan terdengar dari sela-sela lantunan lirik yang kamu dengar, semakin pilu dan menyayat. Jarak sosok wanita bergaun merah hanya beberapa jengkal darimu, suara siul dan gesekan benda tajam terasa menyayat, kamu menoleh ke arah wanita yang semakin mendekat itu. Dari balik pintu yang kamu lalui tadi, pria tua dengan satu bola mata, berjalan terseok, membawa sebuah besi yang runcing di ujung sisi. Benda itu terseret di lantai dan hingga terlihat goresan di setiap langkah.

"Tidak ... aku tidak mau! Jangan aku! Kumohon untuk kali ini, bebaskan aku," pintamu.

"Sesuai perjanjian, batas waktumu adalah malam satu Suro. Dan malam ini adalah waktunya, kau telah berjanji kepada kami," ujar sosok berbaju merah yang kini telah berada di hadapanmu.

Jari-jari lentik dengan kuku yang panjang menari-nari di wajahmu. Sesekali, ia menggoreskan kuku itu ke kulit wajahmu yang mulus. Matamu memejam, menahan perih dari sayatan yang diberikan. Darah mengalir dari sana, sosok itu menjilat wajahmu dengan lidah yang hitam dan panjang. Ia menikmati setiap tetes darahmu yang keluar.

"Aku janji. Kali ini, aku akan mencarikan gantinya. Aku mohon beri aku kesempatan," pintamu.

"Sudah terlalu lama aku menunggu. Bulan lalu di tanggal 13, kau menjanjikan santapan lezat untukku. Akan tetapi, kau hanya memberikan aku janin yang kecil," ujar sosok itu dengan mata merah melotot kepadamu yang tampak gemetar.

"Aku janji. Kali ini, akan aku berikan semua yang kau inginkan, tapi tolong lepaskan aku," kamu memohon dengan air mata yang terus mengalir.

"Semua yang kuinginkan?" tanya sosok itu sambil menjilat darah yang terus keluar di pipimu.

"Iya, semuanya!" ujarmu.

"Termasuk janin yang ada di dalam perutmu?" Sosok itu menatap tajam.

"Ja--janin?" ujarmu terbata.

"Aku mau janin yang kau kandung, juga suamimu!" ujar sosok itu lagi.

"Tidak! Jangan mereka, akan aku berikan janin yang banyak asal kau tidak mengambil mereka!" pintamu.

Wanita bergaun merah itu menatapmu tajam penuh amarah, lalu memegang kepalamu dan memelintir dengan kuat. Seketika suara patahan leher terdengar. Kamu menggelepar seperti ayam yang baru saja dipotong. Pria tua dengan besi di tangan, menacapkan beda itu ke arah jantungmu, lalu merobek dengan beringas. Mereka menikmati setiap organ yang berada di dalam tubuhmu, lalu pergi ke bawah dan tersenyum.

"Sudah selesai lemburnya, Bu?" tanya satpam itu yang mengira dia adalah dirimu.

***

Sepuluh tahun yang lalu, setelah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, kamu mencoba melamar pekerjaan di suatu perusahaan. Bermodalkan nilai dengan predikat terbaik, kamu mendatangi perusahaan yang sangat terkenal di kotamu. Wajahmu yang kusam karena tersengat matahari, dengan kemeja lusuh bermotif bunga, dipadukan rok hitam setengah betis yang warnanya mulai pudar, membuat penampilanmu tidak menarik dan ditolak. Tidak ada satu pun perusahaan yang mau menerimamu.

Kamu terus mencoba hingga akhirnya diterima di perusahaan yang sekarang kamu pegang. Tiga bulan bergabung di sana, kamu jatuh hati kepada anak pemilik perusahaan, sadar dengan keadaan dan kondisimu yang tidak menarik, perasaan itu kamu pendam. Semakin hari, perasaan itu semakin menganggu. Kamu memberanikan diri untuk mengutarakan itu, tetapi hinaan dan cacian yang kamu dapatkan karena penampilamu yang tidak menarik.

Terlahir dari keluarga petani miskin, kamu mulai merutuki keadaan karena laki-laki itu tidak hanya menghinamu, tetapi juga menghina harga dirimu dengan mengatakan kalau derajat kamu dan laki-laki itu berbeda. Kamu hanya Upik Abu sedangkan laki-laki itu adalah Sultan.

"Kanapa aku harus terlahir di kelurga miskin dan memiliki rupa yang tidak menarik seperti ini?! Apakah semua orang hanya menilai dari fisik?" kamu berteriak dan meracau.

Kedua orang tuamu hanya bisa diam dan menitikan air mata.

Saat itu, terbesit sebuah hasrat yang membuatmu melakukan pekerjaan terkutuk. Kamu mendatangi sebuah gubuk di kaki gunung. Kamu duduk di hadapan wanita cantik dan anggun. Wajah wanita yang sudah banyak guratan keriput, masih tampak segar dan enak dipandang. Kamu berdecak kagum dengan penampilan wanita tua itu. Kamu menceritakan semua kejadian yang dialami. Kamu mengutarakan niat kedatanganmu.

Wanita itu merapalkan mantra, menyemburkan air ke wajahmu. Sesekali, tangan halus wanita itu mengusap pucuk kepalamu sambil terus membacakan mantra. Ia duduk bersimpuh dan mengambil sebuah kristal kecil, kemudian memasukkan benda itu ke dalam kening, pipi, dan bibirmu.

"Selesai. Semua susuk sudah aku letakkan di tubuhmu. Tidak ada lagi yang akan menghina penampilanmu. Tapi, ingat! Setiap tanggal 13, kamu harus menyerahkan tumbal, darah dari wanita perawan. Setiap hari Jumat, kamu juga harus menyiapkan 5 janin manusia. Jika tidak, kamu akan jadi tumbalnya!" ujar wanita itu kepadamu.

Kamu bangkit dan meninggalkan gubuk itu dengan hati senang.

***

Desamu mulai ramai dan dilanda ketakutan. Setiap malam Jumat, akan ada anak perawan yang hilang, keesokan paginya, kembali dengan tubuh kurus, hanya tulang berbalut kulit dengan mata cekung. Tidak hanya itu, wanita hamil pun takut jika harus keluar dari rumah.

Saat itu, tepat hari Jumat dan tanggal 13, kamu mulai mencari mangsa. Dengan merapalkan mantra dari sang dukun, kamu mencoba menyirep semua warga desa. Setelah mereka tertidur, mengedap-endap kamu masuk ke rumah warga yang memiliki anak perawan, kemudian kamu membawanya ke gubuk dalam hutan yang tidak jauh dari rumahmu.

Di dalam gubuk itu, kamu membaringkan dan menyerahkan gadis tersebut kepada sosok yang mendiami tubuhmu. Mereka menghisap sari kehidupan melalui mulut dan hidung, kemudian beralih ke kemaluan. Kamu meninggalkan anak perawan itu sedirian di sana dan kembali.

Keesokan hari, kamu mencari wanita hamil. Kamu teringat dengan tetangga belakang rumah yang baru saja menikah dan hamil muda. Kamu medatanginya dan berpura-pura memberi makanan.

"Aku jadi pengen juga, semoga cepat dapat jodohnya," ujarmu tersenyum ramah sambil mengusap perut wanita itu.

Wanita di hadapanmu membalas senyum tanpa curiga, lalu mengaminkan ucapanmu. Kamu kembali, tidak lama terdengar suara gaduh para warga kehilangan anak perawan. Kamu berpura-pura berbaur dan mencari gadis itu. Namun, belum selesai dengan kegaduhan itu, dari arah rumah yang kamu singgahi, terdengar suara terikan. Sebagian warga dan juga kamu berlari ke sana.

Semua orang terkejut melihat wanita hamil itu terjatuh di belakang rumah. Darah mengalir dari sela selangkangan. Orang-orang panik dan membawa wanita hamil itu ke dalam.

Sejak saat itu, setiap hari Jumat, kamu akan mencari darah perawan dan menyerahkan darah tersebut kepada makhluk-makhluk itu. Kamu semakin menikamti hasilnya. Wajahmu menjadi daya tarik kaum laki-laki. Tidak hanya itu, anak pemilik perusahaan yang menghinamu, kini datang dan meminta kamu menjadi istri. 

 ***

Selama 10 tahun tidak ada yang mengetahui ritual yang kamu lakukan. Akan tetapi, di bulan Suro, kamu tidak dapat menyiapkan tumbal lagi karena kamu sedang mengandung anak yang telah lama kamu idamkan. Selama ini, kamu takut hamil, kamu takut jika janin yang di perutmu akan mereka ambil sehingga kamu menunda kehamilan.  

Seiringnya waktu, uang yang berlimpah dan suami yang tampan, telah kamu dapat. Perusahaan itu pun telah menjadi milikmu. Kamu ingin meninggalkan semua ritula itu, tetapi perjanjian tetaplah perjanjian. Sesuatu yang telah mengikat di dirimu, tidak bisa dilepaskan.

Kini makhluk itu telah merenggut semuanya darimu. Makhluk itu telah menukar posisimu. Sosok bergaun merah itu menyeringai dan menatapmu yang terjerat di ikatan benang merah. Sosok itu berbahagia hidup bersama suami dan anakmu.

Bumi Sriwijaya, 09 Oktober 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun