Hari ini aku akan mencoba untuk menulis jujur dalam setiap catatanku. Seorang penulis mengatakan itu berkali-kali padaku di warung buntu.
Mestikah semua tulisanku menjadi sebuah ajang pengakuan dalam setiap tindakan dan peristiwa yang aku alami. Apakah ini tidak terlalu kejam, seseorang menulis hanya untuk membuatnya menjadi seorang seniman yang bisa menghasilkan karya. Sedangkan aku hanya penulis biasa, yang hanya menulis ketika mendapatkan sebuah ide untuk kemudian dituangkan dalam sebuah manuskrip biasa yang entah siapa yang akan membacanya.
Sekarang aku harus jujur-sejujurnya dan mengatakan yang sebenar-benarnya. Aku menulis karena aku tidak mempunyai sosok yang bisa diandalkan dalam pendengaran, mereka mendengar namun seketika itupula ia menjadi seorang pemberontak yang merasa dirinya dibungkam karena tirani dari setiap ucapan yang aku utarakan. Aku hanya butuh seorang pendengar yang mampu mendengarkan semua ucapanku, tidak untuk mempraktikannya dalam sebuah tindakan atau perjalanan fikiran mereka. Aku hanya butuh pendengar dan tidak butuh lawan bicara, yang selalu melawan ketika diajak bicara.
*****
Sudah beberapa hari ini aku tidak menulis, semua waktuku kuhabiskan untuk mencoba semua hal yang baru. Aku mendapatkan pengalaman yang sangat luar biasa, menyaksikan sebuah fenomena yang biasa diutarakan oleh mereka yang berteriak sambil membawa spanduk dan bendera. Tapi kali ini sedikit berbeda, mereka tidak berpakaian rapih, memakai kemeja putih dan celana bahan yang berwarna gelap. Mereka tidak membawa bendera dan spanduk, melainkan sebuah surat yang dialamatkan entah kemana.
Setiap jawatan ia masuki dan dengan membawa bukti kebanggaannya sewaktu di bangku kuliah. Dan seperti mengharap sebuah pengakuan dari setiap jawatan yang ia datangi. Apakah ini tidak terlalu menarik untuk kalian, ini adalah angka yang sangat sulit untuk didapatkan, bahkan aku harus rela membagi waktu istirahatku dengan menjadi kuli hanya demi mendapatkan angka ini. Ini akan sangat berharga jika kalian tahu bagaimana aku berjuang untuk mendapatkan lembaran ini dengan angka yang bagi kalian tidak berniali ini. Lihatlah ada fotoku di dalamnya, sebuah foto dengan seragam yang bagus meskipun itu pinjaman. Bukankah itu sudah menjadi bayangan untuk kalian kalau aku juga pantas untuk berpakaian seperti yang kalian kenakan. Dengan dasi dan Jas Hitam yang membungkus tubuhku yang mulai hitam terbakar sinar matahari.
Tiga lembar isi dalam amplop mereka, amplop cokelat yang sangat kontras dengan warna baju yang mereka kenakan. Surat pertama adalah sebuah lembaran yang berisi tentang sebuah riwayat kehidupan yang dialaminya selama ini sampai ia keluar masuk jawatan di sepanjang jalan sudirman. Isi dari lembaran itu adalah tentang keinginannya. Entah apa yang mereka inginkan, mungkin juga sama denganku yang mencoba untuk mencari sosok pendengar sejati yang tidak berubah seketika menjadi pemberontak atas semua ucapanku. Yah, aku mencari orang yang benar-benar merdeka dalam mendengarkan tidak ada bising dan suara lain dalam mendengarkan semua ucapan yang dia dengar. Tapi, apakah rombongan yang memakai kemeja putih dan celana berwarna gelap itu juga menginginkan sebuah kemerdekaan, lalu mereka merdeka untuk apa? Merdeka untuk melakukan tugas yang dipikir pantas ia kerjakan dan menerima semua hasil dari keringatnya. Bukankah dengan ia mendatangi semua jawatan yang ada di sepanjang jalan ini saja mereka sudah merasakan betapa payaunya rasa keringat mereka yang tak terbendung sampai masuk ke dalam mulut mereka.
*******
Apakah kalian tahu, aku mengarang semua ini. Aku tidak berhasil mendapatkan nilai yang tertera dilembaran itu. Lembaran itu adalah lembaran palsu yang sengaja kubuat agar aku bisa seperti kalian. Aku tidak berhasil menadapatkan nilai itu karena untuk dapat mempertahankan itu semua aku harus berhenti menjadi kuli dan kemudian tidak dapat memperoleh makanan. Meskipun makanan itu adalah makanan gratis tapi kalian tahu kan bahwa untuk mendapatkan lembaran itu uang gajiku sebagai kuli tidak cukup, semuanya hanya habis untuk membayar sewa kamar yang aku tinggali. Untunglah ada kawan yang baik mau membuatkanku lembaran yang menjadi kebanggaanku itu.