Itu bukan melon, itu adalah kiwi buah yang berwarna hijau dengan biji hitam diantara cairan getah bening yang manis dan segar. Itu buah yang masih jarang ditemukan di pasar karena memang para pedagang tidak ada yang menjual buah itu, buah itu diimpor dari new zeland dan sampai sekarang masih sama seperti yang lain. Tidak ada satupun buah yang asli dari negeri ini.
Sedangkan itu adalah buah yang selalu dijadikan sebagai senjata para tiran untuk memperpanjang masa kepemimpinannya. Dialah Go Ji yang dipakai oleh para raja untuk memperpanjang umurnya, sampai cucunya mempunyai cucu lagi pun dia masih menjabat sebagai raja di antero cina. Go ji beri adalah buah yang manis dan mengandung banyak antioksidan tapi bukan dari negeri ini.
Sekarang sudah saatnya aku menentukan sebuah pilihan, apa yang harus aku panjat dan aku petik dari semua pohon itu. Pohon itu tidak ada yang terasa di lidahku, semangka yang mereka katakan manis, kurma yang sarat dengan mistik dan sakral, apel yang renyah dan segar, jeruk yang kaya akan vitamin c, buah Goji yang kaya akan anti aging dan anti oksidan atau kiwi yang melebihi apel dan jeruk. Masih saja belum aku temukan sebuah pohon yang benar-benar tertancap di tanah ini yang tumbuh subur tanpa harus dibantu dengan ramuan kimia agar terlihat hijau dan merona. Singkong, ubi kayu atau apalah mereka menyebutnya, itulah yang aku cari. Tanaman yang tangguh dan tidak manja, hanya perlu ditaruh dan dicabut kembali. Mengandung lebih banyak karbohidrat ketimbang gandum dan dijadikan bahan pokok bagi kaum negeri ini untuk mencukupi dari lapar. Kenapa pohon ini yang aku cari,karena aku sadar bukan air yang aku butuhkan sehingga tidak pergi dahagaku ketika sibotol tak lagi bisa membantuku mengusir dahaga. Ternyata rasa laparlah yang mengarahkan otakku untuk ber fatamorgana di tengah hutan yang rimbun dengan sejuta lumut.
Lapar membuat kita melakukan apasaja, lapar membuat lumut itu menjalar di semua lahan kosong untuk dijadikan inangnya, lapar yang membuat pohon jati itu mati karena tamunya yang meminta makan dari sang inang. Lapar, lapar,lapar, dan lapar. Andaikan aku bisa menemukan singkong di hutan ini mungkin aku tidak akan menghabiskan waktu begitu lama menjelajahi rimba yang penuh dengan arwah para pilosof ini.
Itulah yang membuat saya sampai saat ini menjadi bingung dan tidak mengerti sama sekali tentang apa yang mereka bicarakan. Sampai harus rela mengaku dyscalculia atau bahkan idiot agar bisa makan buah dari pohon yang tumbuh di dalam pot itu. Apakah mereka fikir semua yang diimport itu lebih baik dari semua buah lokal. Bandingkan Apel Fuji dengan Apel Malang, Jeruk Mandarin dan Jeruk dari Brastagi(sumut), kurma yang muncul setahun sekali, pinus yang buahnya bahkan tidak bisa dikonsumsi.
Ah, semua ini membuat aku ingin sekali mengakhiri semua ini dan segera keluar dari hutan ini. Namun, perjumpaan aku dengan orang bijak itu membuat aku tidak menyerah untuk segera mencari pintu keluar mencari hutan baru atau datangi toko buah untuk membeli singkong. Petuah itu membuatku berniat untuk terus mencari dan mencari dengan modal peta dan petuah dari sang kakek ini.CMIW (warbun, Minggu, 10 Juli 2011)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H